Thursday, May 6, 2021

Sastra Daerah di Panggung Festival

Ahmadun Yosi Herfanda
Republika
 
Hingga kini, kita masih mewarisi begitu banyak sastra (di) daerah, yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Sastra-sastra daerah tersebut mengendap di dasar memori kolektif suku-suku setempat, dalam bentuknya yang tradisional, seperti puisi (pantun, geguritan, parikan), prosa (cerita rakyat, dongeng, hikayat, legenda). Di dalam sastra-sastra daerah tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal, yang tidak jarang dimensinya universal.
 
Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.
 
Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.
 
Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.
 
Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.
 
Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.
 
DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.
 
Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.
 
Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.
 
Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.
 
Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.
 
Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).
 
Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.
 
Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.
 
Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber).
***

http://sastra-indonesia.com/2010/09/sastra-daerah-di-panggung-festival/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar