S. Jai
INI malam ke ribuan kali. Orang-orang tua itu menghajar mejanya dengan
kartu. Bukan untuk mengenang masa silam yang kelam karena matanya, pikirannya
cuma tertahan pada angka enam. Kakek-nenek itu tanpa bosan membariskan domino
melukis totol macan. Tiada yang diacuhkan. Yang penting malam berlalu tanpa
harus tahu untuk apa sebenarnya melaju.
Malam itu telah benar-benar miliknya hingga tak sadarkan diri dipeluknya
menjadi bagian hidupnya. Ataukah telah dirangkul malam, menjadi anak kandungnya
yang manja bermain kartu di bawah lampu yang sinarnya berbinar jatuh di raut
muka?
Diam-diam mengurungnya kembali jadi anak-anak tanpa tahu diri pernah jadi
anak-anak. Kakek-nenek itu menemukan lagi arti hidupnya -suatu keasyikan
bermain. Mereka lupakan penantian, perburuan, ambisi. Bahkan keputusasaan
menghilang. Walau umur yang hampir seratus tahun mengajari itu semua telah
saling berhimpitan. Juga kematian.
“Sudahlah, Man Sapar. Bila sudah capai istirahatlah,” ujar lelaki yang
biasa dipanggil Abah Matkur.
“Huh, jangan singgung yang satu itu. Kalau sudah mati pasti berhenti,” Man
Sapar tersinggung diusik keberadaannya. “Kamu sendiri seperti sudah terima
sinyal nggak mau hidup enak. Eh, sudah bau tanah ya?”
“Lho, kalian yang ribut kok aku yang dibawa-bawa. Apa kurang hidangan
kopinya? Tiap malam aku yang bikin kopi kok nggak mati-mati,” Sergah Nyi Tanah
yang namanya diseret-seret.
Keasyikan mereka terhambat. Permainan pun melambat.
“Aku juga heran. Kenapa kita tidak mati-mati?”
“Ya..ya..”
“Mati aku! Lewat Man.”
“Ngomong apa tadi, Nyi Tanah?”
“Aku mat?”
“Aku jadi tahu sekarang. Nyi Tanah paling takut mati diantara kita.
Kartunya banyak dan karena dia perempuan.”
“Apa hubunganya?” protes Nyi Tanah.
“Lho, mati di alam sana giliran Nyi Tanah terima warisan paling sedikit
diantara kita.”
“Modar kowe, Bah!”
“Ora biso.”
Di mata tiga orang tua masa lalu tak pernah terungkap sungguh. Sekalipun
perlu sekadar hiburan, semisal ketiban sial mengocok kartu dan jadi bahan
olok-olok. Masa lalu yang dirangkumnya kuat-kuat dikisahkan atau pun tidak.
Bosan? Mungkin ya, barangkali pula tidak. Setidaknya, yang terungkap dari
tempat duduknya saban malam, duduk mereka di kursi itu-itu juga. Tak pernah
lukir karena bosan, tak sempat hadir di sela hari, jam, detik, peristiwa yang
menghampirinya.
Tidak ada hal penting, juga kejadian, pada malam-malam itu saban hari. Lalu
untuk apa ini semua? Pengisi waktu belaka? Penantian? Kebingungan? Man Sapar,
Nyi Tanah dan Abah Matkur memang sedang tidak mengerti apa-apa. Lantas, tahukah
dirinya tengah dilanda azab bernama kebingungan? Mengapa menghabiskan malam-malam
percuma bukannya rehat melepas capai oleh sebab esok pagi juga musti kerja?
Apakah mereka melakonkan manusia yang dikutuk penyakit menua insomnia,
alzaimer, agar bisa melupakan dunia dan seluruh isinya, juga di mana ia pernah
berperan?
Hanya mereka yang tahu. Wajar bila sepatah saja tak meloncat kata-kata
jawab. Bukan lantaran mereka tak sudi mengungkap segala tanya, tapi karena
kesulitan untuk berkata. Mereka tak sanggup merawat kepercayaan pada kata yang
bisa saling dipahami sesamanya. Sekantong kata dalam ingatannya ludes
digerogoti virus di otaknya.
Pemandangan dahsyat bila itu benar terjadi. Duduk bersanding para tetua
yang tidak perlu kata. Hidup di usia tua jadi menggumpal, njlimet seperti akar
yang menjulur meresapi sari-sari makan untuk batang tubuh, daun dan buahnya. Di
luar umurnya yang tinggal sisa, mereka malah merasa menanggung penantian tanpa
putus seperti kartu domino yang sambung-menyambung. Mengejar buruannya yang
hingga kini belum tertangkap.
Sampai di tempat paling terdekat dirinya dengan rumah masa
depannya?orangorang tua itu memilih tempat terakhir hidupnya dekat-dekat dengan
kuburan?bukan cuma agar diri mereka setiap saat bisa mengingat mati.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Perburuan. Ya, perburuanlah yang menjerat mereka di sini. Bahkan mereka
punya sumbangsih Menyebut jalan ini dan diberinya nama Jalan Tuhan.” Ungkap
orang tua yang banyak menyingkap masa lalu serikat kakek-nenek itu. “Kukira
tentang ‘Jalan Tuhan’ itu telah banyak yang tahu, orang-orang kampung di sini,
terlebih yang telah lanjut usia.”
“Oya? Jadi kita patut cium tangan, dong demi rasa hormat terhadap karya
agungnya. Bukankah dengan nama itu seolah tunjukkan pintu langit?”
“Ya, pasti. Banyak orang sependapat dengan kamu. Sekarang lihat, kuburan
itu tak hanya dihuni orang kampung sini. Warga kampung sebelah banyak juga
dikubur di sini.
Kampung lain pun pesan tempat bila kelak mati. Sampai kuburan sesak dan orang
khawatir tak kebagian petak.”
“Ah, atau sebaiknya aku juga pesan mulai sekarang ya, Pak Tua?”
“Ha..ha.. apa nggak sebaiknya kamu pakai bagianku saja. Biar kita bisa
ngobrol sama-sama. Minum kopi segelas berdua, biar kamu bisa jawab pertanyaan
malaikat untukku, anak muda. Sebab kudengar bahasa Arabmu lumayan juga.” Pak
Tua itu meledek. Giginya remuk seperti tonggak bambu ambruk. “Bila orang tahu
benar asal mula ‘Jalan Tuhan’ itu, orang bakal lebih hebat tawanya.”
“Begitukah? Ceritakan kepadaku tentang ‘Jalan Tuhan’ itu, Pak Tua.”
“Perjumpaan Nyi Tanah, Man Sapar dan Abah Matkur bermula keinginannya
menagih janji Tuhan. Awalnya karena keduanya tahu jodoh itu di tangan Tuhan.
Waktu umurnya nyaris tutup, sang jodoh tak kunjung datang. Sebab itu dimulailah
perburuan sampai di sini, sampai bertahun-tahun, sampai menyentuh batas harapan
dan putus asa. Di sini terus senantiasa hidup sendiri tanpa suami atau istri.
Semuanya mereka punya, rumah, pekerjaan. Tapi tidak ada, suami atau istri jodoh
yang langgeng, hidup bersama seia-sekata sampai tua untuk kelak di penghidupan
yang berikutnya, belum pernah tiba (meski bukan tak pernah mencoba). Kini, saat
hari-hari ketiga orang tua itu adalah tapal ambang perburuan dan penantian.
Suatu yang belum aku dan kamu mengerti. Barangkali antara menjemukan dan
menggairahkan. Atau perpaduan keduanya?,” kisah orang tua yang berbaik hati
itu.
“Masalahnya, mengapa orang-orang itu membunuh waktu di meja, bukan di
tempat lain”
“Itu tak kumengerti jawabnya. Sekadar reuni, mengatur strategi? Semuanya
bisa benar.”
“Reuni?”
“Ya, siapa tahu. Biar kembali lagi ingatan kemudaannya. Menebar kisah lama
yang ingin didengar di kalangan mereka sendiri. Ya, siapa tahu bila bocor ke
kuping orang lain, berubah kisah sedih, sentimentalia, meski bukan mustahil
jadi lelucon. Tapi bagi kuping sendiri malah suatu kegairahan, bermakna justru
di usia tuanya. Ya, siapa tahu. Karena mustahil kita mencari tahu pada orang
tua yang tak mempercayakan hidupnya pada kata-kata,” paparnya.
“Lantas?”
“Itulah misterinya keberadaan mereka.”
“Ayolah Pak Tua, ceritakanlah padaku apa yang engkau tahu tentang mereka.”
“Kenapa engkau jadi begitu percaya pada ceritaku? Padahal aku tak tahu isi
kepala mereka. Kenapa kamu nggak menduga aku cuma mengarang cerita saja, anak
muda?” tutur orang tua itu.
“Ayolah bapak banyak makan jalan. Jadi aku percaya.”
Saat terdesak, Pak Tua kembali bercerita. Jadilah kurang lebih seperti ini
kisahnya:
Nyi Tanah, perempuan di meja domino itu pemilik rumah. Dulunya ia wanita
terpandang, terkaya. Banyak mata berpandan jalang karena sisa kekayaannya masih
tak terbilang.
Sebagai pendatang di kampung ini, Nyi Tanah dikenal pekerja keras, banting
tulang dan justru tak wajar buat perempuan kebanyakan. Kebiasaannya berkebaya,
berganti daster dan penutup kepala?ciri wanita karir di zamannya. Usaha
dagangnya melesat maju, makin melambungkan namanya nyaris terbang. Usaha pupuk
untuk petani kampung secepat memupuk ekonomi ditingkat subur. Di luar kendali
Nyi Tanah tumbuh kukuh jadi juragan. Seorang pendatang, segera menanamkan
kukunya. Bermula dari seorang pendatang, ia pun sanggup mendirikan tiga rumah
dengan dibangun dari kayu termahal.
Satu lagi kecerewetannya. Kecerewetan malah mengukuhkan jati dirinya yang keras
kemauan dan berwatak baja -seorang yang tidak gampang menaruh kepercayaan pada
orang lain, apalagi sampai jatuh pada pelukan orang. Bagi lelaki tentu ini kengerian.
Sekalipun suaminya sendiri, terbit rasanya jadi pelayan untuk juragannya.
Nyi Tanah beberapa kali menikah, beberapa kali si suami pergi tak kembali. Ada
kalanya terusir, sisanya atas permintaan sendiri tanpa disertai ungkapan duka,
apalagi arimata Nyi Tanah. Selepas pria keempat atau kelima, Nyi Tanah tanpa
basa-basi menyingsingkan lengan bertangan besi. Dia ber diri demi bertahan
hidup menyendiri hingga menyongsong usia ke seratus tahun.
Nyi Tanah betah sonder direcoki upaya percobaan bunuh diri. Meski bukan tak
lepas dari pasang surut. Nyi Tanah pernah mengubah diri serendah-rendah umat.
Melucuti semua baju lembar demi lembar dari yang membungkus kulitnya,
kekayaannya, menjatuhkan, meluruhkan kekerasan hatinya, keangkuhannya, pasrah
diri demi demi mendapat lelaki yang ia harapkan menjadi jodoh hidupnya. Segala
upaya tak ada guna.
Lelaki itu Man sapar, pejantan yang mendapati dirinya, kehebatannya, arti
hidupnya, jiwanya, kebebasannya, semangatnya, hiburannya, nafsuny;a serta
leluconnya saat terdampar di ladang yang bernama tempat pelacuran. Meski justru
Man Sapar ditemukan orang lain di kampungnya, tubuhnya yang kecil, pelamun
airmuka merah tegang tak ketinggalan, jauh dari kesar berwatak sosial seperti
yang dia obral sendiri.
“Ayolah Man Sapar, kau tak perlu lagi keluar banyak duit untuk pergi ke
sana. Bila kamu mau tinggal di sini?” Nyi Tanah mendesah, sanggup merajuk
seperti bocah mengantuk.
“Kalau Nyi Tanah maksudkan aku jadi suami, maaf aku tidak bisa,” Man Sapar
tegas tanpa perlu meresapi alasannya yang keluar juga. “Kalau mau jujur, Nyi
sebenarnya menyinggung perasaanku Nyi. Itu sama artinnya dengan keinginan Nyi
Tanah untuk membunuhku. Tapi kalau keinginan Nyi Tanah di luar itu aku masih
mempertimbangkan jawabannya.”
“Maksud Man Sapar kumpul kebo?”
Tak terungkap benar kesungguhan kata Man Sapar. Juga kesahihan kumpul
kebonya Nyi Tanah. Man Sapar justru buka mata pasang telinga mengumbar kata
perihal keburukan paras dan kebawelan janda kaya itu dasar segala penolak bala.
Bahkan tanpa kepergok yang empunya cerita hingga bertahun lamanya sampai
umurnya hampir seratus tahun.
Laiknya perempuan itu memendam kebohongan Man Sapar tanpa sepengetahuan
yang bersangkutan -pelacuran adalah tembok tebal bagi Man Sapar untuk menutupi
segala aib seolah seluruh pelacur di komplek itu membutuhkan kejantanannya.
Saat seperti itu seringkali terbayang di benak Nyi Tanah tubuh mungil Man Sapar
tenggelam di balik paha perempuan jalang berlemak, gempal, lebih murah
dibanding harga sekilo daging kambing congek. Ini semua cuma bayang-bayang dan
omong kosong. Kenyataannya, tak ada jodoh yang awet di tempat tidur dan di
segala zaman, di saat dibutuhkan maupun tak lagi diperlukan?semisal ketika
sepasang kakek-nenek telah sama-sama mengidap amnesia.
Man Sapar pun menyudahi kebiasaannya keluar masuk pelacuran. Ia berhenti
karena malu. Merasa diri hidup tak berguna dan keliru menabung perbuatan baik:
membayar pelacur demi menyambung hidup anak-anaknya. Dirasanya pula justru
membantai hasratnya untuk berjodoh, menggauli istri yang kelak melahirkan anak
lewat rahimnya. Jalan sudah kebablasan ditempuh, kadang berjumpa satu-satunya
kehebatannya, keahliannya itu. Maka pilihan pun dijatuhkan. Suatu ketika Man
Sapar memutar otak. Didorong oleh malu dan kemaluannya, ia terinspirasi alih
profesi sebagai pembor, tukan bor pembuat sumur tanah.
Berkat berpikir keras, hasilnya pun berubah gemilang. Sebuah perhitungan
yang matang. Ia berpikir tiap orang butuh air bersih saban hari. Rumah, sawah,
tegal dan ladang juga minta air untuk mengairi tanaman. Terlebih bila musim
kemarau terulur panjang.
Beberapa pipa, sejumlah mata bor didesain khusus. Lalu mesin disel untuk
mendorong air menyemburkan tenaga pada pipa-pipa itu agar matabor gampang
menusuk bumi dengan kenikmatan luar biasa. Maka jayalah usahanya. Man Sapar
punya dua-tiga anak buah yang lincah.
Kampung itu tidak kesulitan air. Justru Man Sapar yang susah mengatur jatah
waktu menyusul membludaknya tawaran ngebor hingga kampung sekitar. Terlebih
ketika arus listrik gampang didapat, dan mesin pompa air tinggal ambil di
toko-toko.
Di luar dugaan, berkat itu mengantar Man Sapar cepat berumah, menyenangkan
anak buah dan terpenting bermanfaat bagi orang banyak, memajukan warga kampung
setelah berjalan bertahun-tahun.
Kesibukan kerja yang luar biasa, kian mematikan hasratnya terhadap
perempuan. Sampai ke titik nadir tak terpikir. Melintas batas pun tidak. Betapa
dahsyat, kerja bagi hidup Man Sapar menebas kepentingan sendiri, lalu mengambil
jalan pintas melayani orang banyak. “Uang bukanlah segalanya,” ungkapnya suatu
ketika. “Apalagi demi memuaskan diri pribadi, maaf itu jauh dari pikiranku, dan
kehidupanku yang sekarang.
Saya sendiri tidak tahu, barangkali inilah reinkarnaasi dalam diriku. Sebab
itu bagiku, kepuasan diriku adalah pada saat bisa melayani kebahagiaan orang
lain, orang banyak,” cetus Man Sapar.
Sampai suatu saat ia teruji. Begitu diusik perihal nikah, Man Sapar
mendadak jengah. Dia bingung dan tersinggung. Geram dan susah payah meramban
jawab. Walhasil justru Man Sapar balik merangkai kata tanya tak terduga. “Lho,
mengapa tak engkau perhatikan sungguh benda ini?? pinta Man Sapar sembari
melempari sejumlah buah matabor yang tampangnya sengaja dibuat persis kelamin
pria pejantan. ?Kau tahu kenapa mata bor ini kubuat seperti ini?”
Yang bertanya menggeleng.
“Karena ini adalah kenikmatanku sendiri. Gairah cintaku yang mengaliri
darahku, mengejangkan seluruh ototku, melayangkan segala imajiku, terbang
meliuk menukik melampaui awan lembab. Bumi hanyalah perumpamaan daging-daging
segar. Aku berbahagia menikahinya, karena kuasa menyetubuhinya.”
“Dasar wong edan!” gerutu si penanya berakhir sumpah serapah tak karuan
disertai ancaman, “Tuhan belum mengujinya dengan seonggok waktu bernama
kesunyian.”
Sialnya, tuan serba tahu itu telanjur menembakkan ancaman. Edannya lagi
teror buat Pak Tua usil itu diam-diam terbukti. Ketika ia bicara babakan waktu,
umurlah yang menggerogoti tubuh Man Sapar. Otot-ototnya melumpur, kulitnya
berpetak umpet.
Nyatalah waktu pula yang menghabisi nyalinya, kemampuannya menyetubuhi
bumi. Tibalah saat ia merasa dihampiri perasaan asing, zombie berwujud
kesunyian. Ia mulai petualangan barunya melawan dirinya sendiri, menaklukkan
waktu dan menundukkan rasa jemu penantiannya. Dan yang pasti mengerahkan sisa
kekuatannya untuk menghalau makhluk langka lainnya yang mewabah -keputusasannya.
Sebab itulah pilihan dijatuhkan sebagai Tujuan, yakni meja domino. Di sana
tersisa satu-satunya yang masih bisa dikendarai di jalan hidupnya: Menagih
janji Tuhan akan jodohnya. Ya untuk itu dia perlu sesekali merayu atau
mengajaknya canda tawa?
***
“HALO anak muda, apakah masih percaya seluruh ceritaku?” Pak Tua itu asyik
mengusik.
“Kenapa tidak? Pak Tua belum cerita soal Abah Matkur. Kenapa juga nyanggrok
di ?Jalan Tuhan? dan meja bertotol macan?”
“Ada apa kamu ini? Mengapa kau tak berhenti memaksaku mengisahkan mereka,”
keluh Pak Tua. “Baiklah. Memang musti kukatakan yang kutahu, kisah-kisah
mereka. Sebelum kau berontak tak lagi percaya. Lalu mencapku tukang omong
kosong.”
“Jangan berbasa-basi. Cepat teruskan!”
“Begini,” Pak Tua itu kembali bertutur. Ada getar rasa kini dibawah
tekanan. “Abah Matkur itu orang biasa. Penampilan biasa, rumah biasa dan gaya
hidup yang serba biasa. Ya, jadi tad ada hal istimewa yang mengiringnya kemari.”
Ia terdengar kebingungan mengarang cerita. Kalimatnya tak berbaris rapi.
Suaranya bergoyang. “Tapi tak disangka serba biasa itu jadi penyebab dia
perjaka seumur-umur -pilihan hidup yang sanggup ditempuh sedikit orang. Yang
banyak tersedia, orang merekayasa diri agar tak disebut lelaki biasa soal
penghasilan, pekerjaannya supaya bisa memperistri wanita malang pilihannya.
Abah Matkur tak sudi menipu diri. Ia jujur mengakui dihidupi seekor sapi. Bukan
berarti perlu izin sapinya bila ingin memelihara seorang lagi menjadi istrinya”
Itu mustahil dilakukan.
Itu yang membuatnya tak punya nyali menjebol tembok aturan -ambillah
perempuan-perempuan untuk menjadi istri bagimu yang telah mampu. “Ya, dia
dihidupi sapi jantan Brahma dengan menjual kejantanannya paling tidak dua tiga
kali sehari, agar induk sapi-sapi betina beranak pinak. Hasilnya bisa menopang
hidup setelah dipotong jatah rumput gajah, dan jaum kuat untuk sapi. Jadi bila
Abah Matkur ditanya siapa paling berarti bagi kehidupannya, di dunia ini sudah pasti
jawabnya seekor sapi. Begitulah telah berlalu bertahun lamanya dengan sapi-sapi
paling tokcer. Sampai-sampai buntutnya, wanita-wanita yang menaruh hati padanya
harus puas mengurung niatnya. Yang tertinggal cuma ketakutannya bakal
diserahkan kehormatannya pada kejantanan seekor sapi. Lalu perempuan-perempuan
itu hanyut di laut kengeriannya sendiri mengandung bayi-bayi yang kelak lahir
berbadan manusia dengan berkepala sapi. Suatu yang sebelumnya tak terbayang di
benak lelaki serba biasa, Abah Matkur,” katanya.
“Jadi dia tetap membujang sampai sekarang, Pak Tua?”
“Ya.”
“Lalu, untuk apa dia di sana? Apa yang dia tagih kepada Tuhannya?”
“Itu yang sedang kupikirkan sekarang. Ia menagih seekor sapi betina ataukah
seorang perempuan jodohnya.”
“Lho, kok bisa?”
“Itu yang tidak aku tahu.”
“Bagaimana sih?”
“Aku betul-betul tidak tahu dan mustahil aku menceritakan padamu apakah
Abah Matkur seorang yang impoten ataukah seorang yang sebenarnya jatuh cinta
pada sapi betina, apalagi sapi jantan.”
“Terus?”
“Jadi jangan lagi desak aku mengisahkan yang tak kutahu. Karena aku
sekarang sedang memikirkan diriku sendiri.”
“Okelah, tapi sebentar pertanyaanku belum kelar. Pak Tua serba mengaku
tahu, dan mengudal kisah sepanjang waktu. Tapi Pak Tua belum jelaskan padaku
bagaimana kisahnya bisa seperti itu,” selidik anak muda itu.
Pak Tua itu mulai benar-benar sibuk dengan dirinya sendiri. Ia tampak
kesulitan menjawab pertanyaan yang memang tak cukup mudah untuk dimengerti.
“Katamu karena aku lebih tua darimu. Karena aku setua mereka jadi aku tahu
perjalanan yang mendera hidup mereka.”
“Tapi bukankah Pak Tua tak pernah bersinggungan dengan mereka. Bagaimana
bisa anda kisahkan sedetail itu, bahkan lebih detail dari hidup mereka yang
sederhana. Kenapa itu?” desaknya.
“Oh, begitu.” Pak Tua itu kini betul-betul terpojok, satu lagi puluru tajam
bakal merobohkannya.
“Ya, siapa anda sebenarnya yang begitu leluasa memata-matai keseharian
mereka di meja domino itu, bahkan sampai merasuki ke dalam ruh hidup dan jiwa
mereka. Siapa?”
“Jangan menuduhku segegabah itu anak muda,” Pak Tua itu pun mulai
mengeluarkan senjata penangkisnya.
“Habis, sepertinya Pak Tua amat berkepentingan dengan mereka.”
“Soal itu, kuakui memang iya. Karena aku seorang dalang wayang kulit yang
sulit mendapatkan lagi tawaran main, jadinya aku banting setir jadi pengarang
cerita yang syukurlah cukup memukau anak muda seperti anda. Berikutnya, aku
tinggal menyusunnya ke dalam kata-kata yang aku yakin makin membuatmu terpesona
dan tak habis pikir takjub begitu tahu bagian akhir cerita.”
“Apa itu?”
“Jadi apa perlu aku buka kartu sekarang?”
“Ya, sebagai jaminan agar jantungku tak berhenti berdetak karena kaget yang
luar biasa.”
“Sabar dulu, jangan terburu nafsu,” pinta Pak Tua itu bermaksud meledek. “Em..tapi
baiklah. Jangan dikira aku tak bersinggungan dengan kakek-nenek di meja domino
itu.
Biarpun aku tak pernah ke sana karena tak bisa bermain domino atau karena
tak terangkum dalam serikat orang tak berjodoh. Sesekali kupikir perlu kesana
untuk menitip tanya pada Tuhan. Tapi ini bukan tagihanku. Apakah laki-laki
seperti aku yang beristri sebelas orang wanita bisa mendapat kepastian siapa
diantara mereka atau siapa sebenarnya yang menjadi jodohku. Ya, seperti halnya
mereka, di usia tuaku seperti ini, aku sangat memerlukan kepastian jawaban atas
pertanyaanku itu. Apalagi dari sebelas istriku itu semuanya muda-muda dan luar
biasa cantiknya. Justru karena itu sebagai seorang seniman yang tahu dunia
dalam, aku tak ingin jatuh dalam dunia yang penuh dengan tipuan ini. Sebab itulah,
sudah kupikirkan sejak mula, aku akan mengajakmu pergi ke meja domino itu untuk
mengajukan pertanyaan penting. Barangkali diantara mereka lebih dulu bertemu
dan menghadap Tuhannya. Kau kubawa serta sebagai saksi bahwa kelak kamu juga
akan setua mereka, segelisah mereka, sesabar mereka atau bahkan lebih bodoh
dari mereka,” ungkap Pak Tua itu terus menyibukkan diri dalam dunianya, alam
pikirannya, perasaannya juga batinnya, harapannya, ketakutannya.
Segalanya beraduk dalam satu belanga sebelum menjelma menjadi kata.
Jelas ini suatu siksaan hebat karena Pak Tua itu tak lagi berkuasa atas
tangannya untuk memainkan wayang seperti biasa.
***
MALAM ini udara gerah. Kemarau hampir pergi ditandai awan tebal yang sering
memayungi angkasa. Panas bumi tak leluasa lepas dan murung di atap-atap rumah
penduduk sesekali lepas lantas terpantul lagi ujung payung angkasa. Di sana
pula rumah kayu Nyi Tanah tersekap. Beruntung keluasannya luar biasa dengan
atap genteng menjulang seolah hendak terbang.
Pak Tua tak ingkar janji. Diajaknya serta anak muda hadir di perjamuan
domino kakek-nenek tak berjodoh itu. Selaku saksi, anak muda itu tak
berkata-kata. Tapi ia musti khidmat menjalani suatu upacara yang tak
dimengerti.
Usai upacara basa-basi, sesepuh-sesepuh terlihat bicara singkat dan tentu
saja padat. Tanpa makna yang tertangkap anak muda malang itu.
Lantas, Mereka tertawa lepas. Gelak tawa sekuat tenaga, sampai lupa diri
abai dan menyingkirkan segala nama, bahkan hidupnya.
Ya, mereka memang terlampau banyak mengendapkan misteri. Juga ketika
tiba-tiba langkah kartu mereka bertiga sama-sama mati. Mungkin ada yang khilaf.
Barangkali ada yang curang. Atau bisa jadi ini semua telah menjadi kehendak
sang dalang agar kehadirannya segera dimengerti oleh serikat kakek-nenek tak berjodoh
itu. Sebaliknya bukan mustahil kematian langkah adalah suatu hal yang biasa dan
itu tak berarti apa-apa.
Kisah ini pun tak lebih menguatkan kepercayaan anak muda itu pada sosok
dalang. Sosok dalam suluk yang menyingkapkan diri simbol ketuhanan dan kuasa
menghidupkan wajah-wajah wayang ke dalam ruh jiwa manusia. Sayang, kini rasa
itu kini tengah menuju kerapuhannya.
“Ya, dalang sekarang ini sebagaimana tukang cerita, sulit dipercaya,” pikir
anak muda itu.
[]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment