Agus R. Sarjono *
newspaper.pikiran-rakyat.com
SUASANA hening dan mencekam–hingga jika saat itu ada jarum jatuh,
dentingnya akan nyaring terdengar– saat Rendra membacakan sajaknya “Khotbah”,
di Festival Puisi Internasional, Rotterdam. Usai pembacaan, ruang meledak oleh
gemuruh tepuk tangan. “Bravo!” ucap seseorang dari barisan penonton, sambil
menghampiri Rendra dan memeluknya erat di hadapan para hadirin. Orang itu
bernama Pablo Neruda.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh penyair Taufiq Ismail yang berada dalam
festival itu bersama Rendra berpuluh tahun lalu. Saya yang diceritai kisah itu
hanya bisa membayangkannya saja. Namun, beberapa tahun lalu, saya menyaksikan
dengan mata kepala sendiri penerimaan publik asing atas pembacaan puisi Rendra.
Dalam festival puisi Berlin, Rendra tampil di panggung terbuka yang didirikan
di tengah jalan khusus untuk keperluan festival. Para penonton memenuhi kursi
yang dipasang berjajar sepanjang jalan dan sedikit naik ke trotoar. Sementara
itu, para pejalan kaki masih bisa berlalu lalang di trotoar dan sebagian
duduk-duduk di kursi kafe atau restoran yang ada di sepanjang jalan itu.
Derek Walcott, penyair masyhur pemenang Hadiah Nobel, membacakan sejumlah
puisi di sana, dan tepuk tangan penonton bisa dikatakan ala kadarnya. Selepas
itu, Rendra tampil membacakan hanya satu puisi, yakni “Khotbah”. Tepuk tangan
penonton membahana mengiringi Rendra turun dari panggung hingga akhirnya dia
naik lagi ke atas panggung dan memberi salam berkali-kali. Tepuk tangan yang
panjang dan lama, rupanya tidak berhasil membujuk Rendra membacakan sajak
tambahan.
Waktu itu, Rendra tentulah tidak semuda saat ia membaca puisi di Rotterdam.
Namun daya cekam dan pesonanya masih kuat dirasakan para penonton yang
jumlahnya ratusan orang, termasuk para pejalan kaki yang berhenti untuk
menikmati puisi yang dibacakan Rendra sampai selesai.
Derek Walcott tidak naik ke panggung untuk memeluk Rendra saat itu. Karena
saya bukan pemenang Hadiah Nobel, saya hanya memberi selamat dan memeluknya di
bawah panggung. Ternyata, bukan hanya di Indonesia, di mancanegara, Rendra
adalah pembaca puisi yang hebat. Banyak orang lupa bahwa membaca puisi di
hadapan publik, termasuk penonton yang berbondong-bondong membeli karcis untuk
menonton pembacaan puisi, pertama kali dipopulerkan oleh Rendra.
Sebagai penyair, nama Rendra sudah dikenal sejak dia masih duduk di bangku
SMA, menulis sajak-sajak yang kemudian terkumpul dalam “Balada Orang-orang
Tercinta”. Di tengah dominasi sajak-sajak liris ala Chairil Anwar, kehadiran
sajak-sajak balada Rendra memberi angin segar pada perpuisian Indonesia saat
itu. Berturut-turut kemudian muncul kumpulan puisinya, seperti “Empat Kumpulan
Sajak”, “Sajak-sajak Sepatu Tua”, “Blues untuk Bonnie”, dan “Potret Pembangunan
dalam Puisi”.
Sajak-sajaknya dalam kumpulan “Blues untuk Bonnie”, merupakan
sajak-sajaknya yang terkuat. Meskipun begitu, kumpulan sajaknya yang paling
kontroversial adalah “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Terbitnya buku itu
membuat rakyat dan mahasiswa bersorak, para kritikus kecewa, para pemuja puisi
lirik sewot, dan para penguasa meradang berang.
Kekecewaan para kritikus dan sewotnya pencinta lirik dapat dipahami karena
mereka merasa kehilangan sajak-sajak master piece Rendra, seperti “Nyanyian
Angsa”, “Khotbah”, atau “Blues untuk Bonnie”, dan digantikan oleh sajak-sajak
yang oleh Rendra sendiri disebut sebagai “Pamplet Penyair”. Rakyat dan
mahasiswa bersorak karena sajak-sajak ini menyuarakan kegelisahan dan protes
mereka yang selama ini dibungkam. Para penguasa, sudah barang tentu berang
karena dengan sajak-sajak itu, mereka “dibongkar” segala kebobrokannya dengan
lantang oleh Rendra.
Rendra, di mata para pencinta liris dikenal sebagai penyair keindahan alam
dan panasnya asmara, berkat sajak-sajaknya, seperti “Surat Cinta” dan “Stanza”.
Kini menjadi penyair rakyat berkat sajak-sajak protesnya. Ini mengingatkan kita
pada sosok Neruda yang dicintai wanita dan Asmaraman dengan kumpulan sajaknya
“40 Sajak Cinta dan Satu Sajak Dukalara”; dan dielu-elukan seluruh rakyat Chile
sebagai penyair rakyat berkat kumpulan sajak raksasanya “Canto General”.
Sekalipun begitu, baik skala maupuan gaya perpuisian Rendra, berbeda dengan
Neruda.
***
SELAIN sebagai penyair, Rendra dikenal luas sebagai seorang dramawan. Ia
menulis naskah drama, mendirikan Bengkel Teater Rendra, menyutradarai sejumlah
pertunjukan, baik repertoir asing maupun karangannya sendiri. Sebagaimana
dengan puisi-puisinya dalam “Potret Pembangunan dalam Puisi”, drama yang ia
pertunjukkan pun sarat dengan kritik dan renungan sosial, seperti Mastodon dan
Burung Kondor, Sekda, atau Panembahan Reso.
Baik pembacaan puisi maupun pertunjukkan teaternya, senantiasa dipadati
penonton, bahkan ada suatu masa penonton harus membeli tiket dari calo dengan
harga berlipat hanya untuk dapat menonton Rendra baca puisi atau bermain
teater. Berbagai pencekalan sudah dilakukan terhadap Rendra, bahkan ia sempat
mendekam di penjara karena dianggap pembangkang oleh pemerintah. Semua itu tak
bisa menahan Rendra menjadi sang pembangkang paling terkemuka saat itu. Saat
itu, ia menjadi idola di mana-mana, khususnya di kalangan muda.
Di masa tua, ia makin jarang berpentas teater. Puisi-puisi makin jarang
pula ditulisnya. Politik Indonesia sudah mengalami pergantian dan pergeseran.
Rendra masih berada pada keprihatinan yang sama. Reformasi yang terjadi– dan
bagaimanapun harus diakui, dia salah satu tokoh utama penyadaran masyarakat
jauh sebelum reformasi–rupanya di mata Rendra belum memberi perbaikan
signifikan bagi nasib rakyat Indonesia. Di pembaringan rumah sakit pun, ia
masih memprihatinkan nasib dan kedaulatan rakyat Indonesia yang dianggapnya
mulai dilupakan bersama makin asyiknya para elite bermain politik-politikan.
Keterbukaan yang membuat segala sesuatu boleh disuarakan, di satu sisi, dan
dominasi kebanalan industri konsumerisme di sisi lain, membuat sajak-sajak
protes sosial tak lagi menjadi suara alternatif bagi banyak orang. Dalam hal
itu, keprihatinan atas kondisi nyata harus terus disuarakan oleh penyair yang
sadar dan terlibat dengan nasib masyarakatnya. Rendra bagaimanapun harus
mencari jalan menjawab persoalan ini. Namun, Tuhan berkehendak memanggilnya
dari tengah kita. Boleh jadi, Tuhan Yang Mahapengasih menganggap sudah banyak
yang dia korbankan bagi bangsa ini, dan tidak tega membiarkannya masih berkutat
memprihatinkan bangsa yang memprihatinkan ini. Sembari melihat dengan mata
kepala sendiri, mereka yang sama sekali tak pernah bertungkus lumus melawan
rezim, kini bertampilan sebagai pahlawan dan bergelimang kemakmuran dari
situasi sosial politik yang tak ikut mereka perjuangkan.
Mbah Surip meninggalkan kita, presiden berbelasungkawa, bangsa Indonesia
kehilangan nyanyian pop riang sederhana. Rendra meninggalkan kita, bangsa
Indonesia kehilangan salah satu pilar kesadaran berkebudayaannya.
Rendra telah berpulang. Ia sudah selesai bertugas di dunia. Kita yang
ditinggalkan berkewajiban menjadikan warisan sastrawi dan pemikiran Rendra
sebagai warisan bersama, agar tidak seperti sekarang ini. Semua mengenal Rendra
dan kaget kehilangan Rendra, namun tak banyak yang mengenal karya-karyanya.
***
*) Penyair dan esais.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment