Thursday, May 27, 2021

Teks yang Partikular

Arif Hidayat *
lampungpost.com
 
Foucault (dalam Sarup, 2003: 102) “menghargai sastra transgresi—sastra yang berusaha merong-rong pembatasan yang diberikan oleh bentuk wacana karena kelainannya.” Ia melihat teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan.
 
Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi lain, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora, maupun permainan simbol, yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan. Makna dan pesan yang disampaikan lebih membukakan berbagai kemungkinan untuk dipahami sebagai pengetahuan.
 
Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman. Namun, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati memublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan, di dalamnya ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan.
 
Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran, tetapi itu diterima dalam multi-interpretable. Tapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986) telah menulis esai berjudul La Mort de L’auteur (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada. (Barthes, 2010: 145). Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar interpretasi tidak percaya secara penuh disampaikan pengarang diluar teks. Pengarang boleh saja berbicara. Namun, yang dibicarakan oleh pengarang sudah menjadi bagian dari sekian banyak pemaknaan.
 
Kebanyakan puisi di kalangan akademik dipahami antara intrinsik dan ekstrinsik yang bertaut. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-sendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks “dibedah” kemudian “dijahit” ulang sesuka pembaca. Dalam memahami hal seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks.
 
Sementara itu, Ignas Kleden (2004: 71) menekankan upaya kritik kebudayaan terhadap teks sastra dilakukan “bukan sekadar refleksi intelektual”. Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan diri konsisten dangan gejala-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, tetapi mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai nilai, maka akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse) untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bias digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha memosisikan teks sebagai hasil produksi penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang.
 
Sifat arbitrair bahasa di dalam puisi yang berusaha menerobos pemaknaan secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden (2004: 212-213), penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya dengan menghadapi “kata-kata untuk mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.” Dalam hal ini, berarti sekalipun penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, memiliki kerangka konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Penyair—lewat puisi—berusaha memproduksi wacana dalam dinamika kebudayaan.
 
Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa rumit, dapat menjadi mekanisme bahasa. Puisi memiliki kekuatan mampu bergerak melalui kekuatan bahasa meluruskan politik. Ada wacana di dalam puisi sebagai pengetahuan. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi memiliki dimensi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa mengekspresikan segala yang diketahuinya. Namun, penyair, menurut Kleden (2004: 214), adalah “intelektual publik” karena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, juga kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi—yang terwujud melalui bahasa—itulah elemen penting sebagai representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.
 
Kehadiran wacana di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, tetapi ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi sehingga berterima masyarakat. Hal ini karena sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai What is an Author (1978: 1), “Pengarang (baca: penyair) adalah produktor ideologi” dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetik maupun etika. Kehadiran wacana di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam puisinya. Maka, mengalisis teks partikular perlu masuk pada konstruksi wacana yang tersusun oleh praktek dan relasi sosial sebagai struktur dan sistem.
***
 
*) Arif Hidayat, bergiat di Komunitas Beranda Budaya /29 January 2012. http://sastra-indonesia.com/2012/02/teks-yang-partikular/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar