Arif Hidayat *
lampungpost.com
Foucault (dalam Sarup, 2003: 102) “menghargai sastra transgresi—sastra yang
berusaha merong-rong pembatasan yang diberikan oleh bentuk wacana karena
kelainannya.” Ia melihat teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi
sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan.
Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi
lain, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang
berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki
kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora, maupun permainan simbol, yang
lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan. Makna dan pesan
yang disampaikan lebih membukakan berbagai kemungkinan untuk dipahami sebagai
pengetahuan.
Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari
kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman. Namun, di
dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun
penyair seperti Emily Dickinson tidak pernah bermaksud hati memublikasikan
puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, curahannya tetap
terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan, di dalamnya
ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan konotatif sebagai yang
tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada
masyarakat sebagai pandangan.
Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran,
tetapi itu diterima dalam multi-interpretable. Tapi, ketika memahami puisi dari
segi pesan akan tertuju pada amanat yang masih mengacu pada arahan dari
pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986) telah menulis esai berjudul La Mort
de L’auteur (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi
terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong
kematiannya sendiri dan tulisan mengada. (Barthes, 2010: 145). Kematian
pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara,
melainkan agar interpretasi tidak percaya secara penuh disampaikan pengarang
diluar teks. Pengarang boleh saja berbicara. Namun, yang dibicarakan oleh
pengarang sudah menjadi bagian dari sekian banyak pemaknaan.
Kebanyakan puisi di kalangan akademik dipahami antara intrinsik dan
ekstrinsik yang bertaut. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi,
rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendiri-sendiri kemudian
disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan
teks “dibedah” kemudian “dijahit” ulang sesuka pembaca. Dalam memahami hal
seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di
dalam suatu teks.
Sementara itu, Ignas Kleden (2004: 71) menekankan upaya kritik kebudayaan
terhadap teks sastra dilakukan “bukan sekadar refleksi intelektual”. Ada dua
hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan diri
konsisten dangan gejala-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat
bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak
mendominasi, tetapi mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai
nilai, maka akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada
tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse)
untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang
bias digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha memosisikan teks
sebagai hasil produksi penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide
membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang.
Sifat arbitrair bahasa di dalam puisi yang berusaha menerobos pemaknaan
secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang
berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari
penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan
dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden (2004: 212-213), penyair
berbeda dengan pemakai bahasa lainnya dengan menghadapi “kata-kata untuk
mengaktifkan polisemi, mengarahkan ambivalensi, sambil mengintensifkan
ambiguitas dan merayakannya.” Dalam hal ini, berarti sekalipun penyair lebih
ekspresif dengan pengalaman, memiliki kerangka konseptual terhadap puisi-puisi
yang diciptakannya. Penyair—lewat puisi—berusaha memproduksi wacana dalam
dinamika kebudayaan.
Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa rumit, dapat menjadi mekanisme
bahasa. Puisi memiliki kekuatan mampu bergerak melalui kekuatan bahasa
meluruskan politik. Ada wacana di dalam puisi sebagai pengetahuan. Rahasia
sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak
dalam arena struktur sosial. Orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi
itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah
mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi
memiliki dimensi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair
dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa mengekspresikan segala
yang diketahuinya. Namun, penyair, menurut Kleden (2004: 214), adalah
“intelektual publik” karena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan
bukan puisi, juga kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan
pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman.
Pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi—yang terwujud melalui bahasa—itulah elemen
penting sebagai representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di
dalam wacana dari puisi melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat.
Kehadiran wacana di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan
atau kebetulan, tetapi ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi
sehingga berterima masyarakat. Hal ini karena sebagaimana yang dikatakan oleh
Foucault dalam esai What is an Author (1978: 1), “Pengarang (baca: penyair)
adalah produktor ideologi” dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam
teks, baik melalui sisi estetik maupun etika. Kehadiran wacana di dalam puisi
tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang yang memberikan
kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, kemudian dimunculkan di dalam setiap
susunan kata di dalam puisinya. Maka, mengalisis teks partikular perlu masuk
pada konstruksi wacana yang tersusun oleh praktek dan relasi sosial sebagai
struktur dan sistem.
***
*) Arif Hidayat, bergiat di Komunitas Beranda Budaya /29 January 2012. http://sastra-indonesia.com/2012/02/teks-yang-partikular/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment