Tuesday, February 23, 2021

Tubuh yang Berkata-kata

Rakhmat Giryadi *
 
Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman
 
Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).
 
Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.
 
Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***
 
Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).
 
Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
 
Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.
 
Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.
 
Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.
 
Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.
 
Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).
 
Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.
 
Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).
 
Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.
 
Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***
 
Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.
 
Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater.
***
 
*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo. http://teaterapakah.blogspot.com/ http://sastra-indonesia.com/2009/02/tubuh-yang-berkata-kata/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar