Tuesday, February 23, 2021

Menegakkan Pusat Alternatif

Sunaryono Basuki Ks *
sinarharapan.co.id
 
Pada ”Temu Sastra Bali Nusra” yang diselenggarakan di Mataram tahun 1986, saya mengemukakan sebuah gagasan mengenai penegakan pusat alternatif bagi kegiatan berkesenian, terutama sastra. Saat itu, mungkin gagasan itu masih sangat relevan, karena kecenderungan para sastrawan terutama yang tinggal di luar Jakarta saat itu ialah menaruh kecurigaan yang berlebihan terhadap dominasi para pengasuh ruang budaya pada penerbitan Jakarta. Mereka merasa bahwa telah terjadi ketidak-adilan dan pilih kasih sehingga karya-karya para sastrawan yang kebetulan tinggal di luar Jakarta terpinggirkan. Akhirnya kemudian muncul istilah-istilah atau mungkin dapat dianggap suatu gerakan, misalnya ”Revitalisasi Sastra Pedalaman” di Ngawi, disusul oleh munculnya istilah Sastra Marjinal.
 
Di dalam makalah itu, saya mendorong para sastrawan daerah untuk tidak bekecil hati, malah sebaliknya harus berjuang keras untuk menjadikan karya mereka hadir dalam khazanah sastra Indonesia dengan cara lain. Sebetulnya, pada saat itu kota Mataram sudah menjadi salah satu kota yang menjadi pusat alternatif seperti yang saya inginkan. Artinya, di bawah komando Putu Arya Thirtawirya, sastrawan asal Buleleng, Bali, Mataram sudah mepunyai sebuah organisasi yang diberi nama HP3N, sebuah organisasi yang punya cita-cita ideal yang menghimpun seluruh sastrawan, pengarang, dan penyair Nusantara. Dari sebuah kota kecil itu diluncurkan sebuah buletin berkala (yang kala-kala saja terbit) berisi karya sastra dari para pengarang dari penjuru tanah air.
 
Sistem Penyebaran
 
Buletin itu biasanya dikirimkan kepada satu atau dua orang di sebuah kota, dan penerima buletin punya kewajiban memfoto kopi buletin tersebut untuk diedarkan kepada rekan-rekan peminat sastra di lingkungannya masing-masing. Sistem penyebaran informasi semacam ini saya anggap sangat modern, sejalan dengan menggeliatnya ”cetak jarak jauh” di Indonesia , yang justru baru bisa direalisir (karena berbagai hambatan non teknis), beberapa tahun kemudian. Sistem cetak jarak jauh sudah dipraktekkan oleh rekan-rekan HP3N tahun 1980an, suatu kemajuan yang luar biasa.
 
Menyaksikan kenyataan inilah saya juga punya keyakinan bahwa pusat kegiatan publikasi sastra tidak harus terletak hanya di Jakarta, dan keunggulan Jakarta dalam bidang pemasaran produk informasi tidak harus disaingi dengan teknologi cetak yang canggih plus sistem pemasaran yang sudah sangat kuat. Sia-sialah melawan raksasa dengan kekuatan cacing. Namun, cacing toh mampu bergerak diam-diam dan perlahan untuk menyuburkan tanah sastra tempat bersemainya tunas sastra di daerah.
 
Sesudah Mataram masih ada Batu, sebuah kota kecil di sebelah barat kota Malang, yang secara rutin menerbitkan buletin Sastra ”Kreatif”, dan kota-kota lain seperti Kudus, Tegal, Tasikmalaya, Lampung, Pekanbaru, dan lain-lain, punya komunitas sastra dan seni yang aktif. Bahkan, kota Batu, Padang, Pekanbaru, Makasar, semua pernah menyelenggarakan pertemuan sastra dan seni yang bertaraf nasional, bahkan regional.
 
Lima belas tahun kemudian terungkap pula bahwa ternyata pengarang yang sudah terkenal dan punya pembaca, yang tinggal di Jakarta pun, ada yang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dari redaktur penerbitan tertentu. Di depan pertemuan dengan para mahasiswa School of International Training yang dipandu oleh Dr. Tom Hunter, Saut Poltak Tambunan, novelis terkenal yang ternyata pegawai Departemen Keuangan, menceritakan tentang ketidakadilan yang dialaminya di Jakarta. Karya-karyanya tidak pernah disiarkan dalam sebuah majalah yang mungkin menjadi saingan majalah tempat dia banyak menyiarkan karyanya. Namun, tentu saja yang itu semua sekarang menjadi tidak penting.
 
Perkembangan Teknologi Komunikasi
 
Gerson Poyk juga pernah menganjurkan memanfaatkan desk top publishing untuk penyebaran karya sastra. Dengan penemuan teknologi internet dan pemakaian internet yang sangat luas dan perkembangannya yang sangat cepat, maka terjadi kecenderungan perubahan orientasi sistem penyebaran informasi dan karya sastra, dari teknologi cetak yang relatif mahal ke publikasi tanpa kertas yang jauh lebih murah dan cepat.
 
Walaupun lambat, suatu proses penyebaran karya sastra melalui internet, yang dikenal sebagai sastra cyber sedang berlangsung. Karya sastra dapat tersebar dalam jangkauan yang lebih luas tanpa batas dan lebih cepat. Ke dalam alamat e-mail saya sering saya terima karya-karya sastra yang dikirim oleh sosok sastrawan yang sama sekali tidak pernah saya kenal, dan saya hanyalah salah seorang dari banyak orang yang disasar oleh pengirim karya tersebut.
 
Kritik dan komentar diminta oleh pengarang yang mengirim karya tersebut. Walaupun sempat merepotkan, karena harus menyediakan waktu khusus di depan komputer, kegiatan ini cukup mengasyikkan, dan bilamana dikembangkan dengan baik, maka para pengarang pemula dapat dengan lebih mudah dan lebih cepat menyerap pengalaman dari yang lebih tua.
 
Dengan kejadian ini, maka seruan untuk menegakkan pusat (pusat alternatif) bagi kegiatan sastra sudah tidak diperlukan lagi, sebab tidak dapat dikatakan lagi mana yang pusat dan mana yang pingiran, mana yang marjinal dan mana yang pedalaman. Semua punya hak hidup dan hak untuk dibaca yang sama derajatnya. Cuma saja, tentu, belum punya hak yang sama untuk honorarium atau royalti atas karya mereka. Menegakkan pusat alternatif barangkali masih dapat dipakai untuk kegiatan teater, sebagaimana masih disinggung oleh Max Arifin dalam pertemuan teater Katimuri di Mataram bulan Juli lalu

*) Penulis adalah novelis, tinggal di Singaraja. http://sastra-indonesia.com/2009/04/menegakkan-pusat-alternatif/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar