Maman S. Mahayana *
Bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia
ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat
Indonesia sekarang.
Itulah pernyataan butir 8 Keputusan Seksi A dalam Kongres Bahasa Indonesia
kedua di Medan yang berlangsung 28 Oktober—2 November 1954. Keputusan itu
secara eksplisit menegaskan kembali bahasa Melayu sebagai asal dan dasar bahasa
Indonesia.Dengan demikian, pembicaraan mengenai “Perkembangan Bahasa
Indonesia-Melayu di Indonesia dalam Konteks Sistem Pendidikan” tentu saja tidak
dapat melepaskan diri dari proses perjalanan bahasa Indonesia, sebelum dan
sesudah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, saat bahasa Melayu diangkat sebagai
bahasa Indonesia.
***
Menempatkan sebuah bahasa apapun menjadi salah satu mata pelajaran dalam
sistem pendidikan, tentu saja tidak hanya karena pentingnya kedudukan bahasa
itu dalam satu komunitas, tetapi juga niscaya didasari tujuan lain yang
melatarbelakanginya. Paling tidak, ada empat tujuan yang hendak dicapai ketika
sebuah bahasa tertentu dijadikan sebagai mata pelajaran dalam institusi
pendidikan. Pertama, untuk tujuan praktis, yaitu sebagai sarana untuk
berkomunikasi dalam pergaulan keseharian, mengangkat status sosial, atau bahkan
untuk mengejar karier. Kedua, untuk tujuan teoretis yang berkaitan dengan
kepentingan ilmu pengetahuan. Ketiga, untuk tujuan pengembangan bahasa itu
sendiri, dan keempat untuk tujuan politik atau yang berkaitan dengan soal
nasionalisme.
Bahasa Melayu yang mempunyai sejarah panjang sebagai lingua franca di
kepulauan Nusantara, dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
dalam sistem pendidikan kolonial, juga dengan keempat tujuan itu. Mari kita
telusuri perjalanannya.
***
Ketika dunia persekolahan belum dikenal masyarakat di wilayah Nusantara
ini, orang dengan latar belakang etnis lain, pada mulanya belajar bahasa Melayu
sekadar untuk tujuan praktis, yaitu agar dapat berkomunikasi, baik dengan
penduduk Melayu sendiri, maupun etnis-etnis lain yang non-Melayu. Pandangan ini
juga disadari benar oleh orang asing yang datang ke wilayah Nusantara. Para
pedagang dan missionaris lebih memilih belajar dan mempelajari bahasa Melayu
daripada bahasa daerah lain, mengingat bahasa Melayu –sebagai lingua
franca—sudah dikenal luas penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara.
Sejumlah prasasti dan bukti lain yang menyatakan hal tersebut, tentu dengan
mudah dapat kita sebutkan.
Jauh sebelum bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu
sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung dan bahasa perniagaan yang
penyebarannya telah melewati wilayah Nusantara. Bahkan, orang-orang Portugis
yang hendak berniaga, menekankan pentingnya pengetahuan bahasa Melayu jika
ingin mencapai hasil yang baik dalam perniagaannya. Bahasa Melayu yang
disebutnya sebagai bahasa Latin dari Timur, digunakan untuk kepentingan
praktis, yaitu menyampaikan missi agama, perdagangan dan niaga, dan pendidikan
yang berhubungan dengan itu.
***
Menjelang akhir abad ke-16, Jan Huygen van Linschoten selepas kunjungannya
ke wilayah Nusantara, menyatakan bahwa bahasa Melayu telah sedemikian
masyhurnya di kawasan ini. Lebih daripada itu, bahasa Melayu telah dianggap
sebagai bahasa yang sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya dari segala bahasa di
Timur. Dalam Itinerario (1596), Linschoten menyatakan, bahwa “yang tidak
berbahasa Melayu di Hindia-Belanda, dia tidak bisa turut serta seperti bahasa
Perancis untuk kita.” Selanjutnya, dikatakan bahwa pada tahun 1596, bahasa
Melayu merupakan bahasa hasil ramuan, tetapi pada akhir abad ke-16, bahasa ini
telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan. Maka,
seperti dikutip A. Teeuw, “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan
antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”
Di dalam Gambaran tentang Malaka (Beschrijvinghe van Malakka) pendeta
Francois Valentijn yang bertugas di Ambon selama lebih dari dua windu
(1685—1695 dan kembali lagi ke Ambon 1707—1713) mengungkapkan pandangannya
tentang bahasa Melayu pada masa itu sebagai berikut:
Bahasa mereka disebut bahasa Melayu…Bahasa ini tidak hanya dipergunakan di
daerah mereka, tetapi juga dipergunakan di mana-mana untuk bisa saling mengerti
dan untuk dipakai di mana pun di seluruh Hindia, dan di semua negara di Timur,
seperti halnya dengan bahasa Perancis atau Latin di Eropa … orang yang bisa
bahasa itu tidak akan kebingungan karena bahasa ini dikenal sampai dimengerti.
Orang yang tidak bisa berbicara bahasa ini akan dianggap sebagai orang Timur
yang kurang pendidikan.
Sebelumnya,Valentijn juga mengungkapkan pandangannya yang positif mengenai
bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang
di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh
Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina.” Begitu pentingnya bahasa
Melayu di kawasan ini, sehingga –seperti tampak dari pernyataan
Valentijn—pujian terhadap bahasa Melayu terkadang terkesan berlebihan. Meskipun
demikian, tentu saja pandangan orang-orang asing itu didasarkan pada fakta
bahwa dibandingkan dengan bahasa daerah lain yang tersebar di kepulauan
Nusantara ini, bahasa Melayu justru sudah begitu dikenal luas, baik oleh
penduduk pribumi dari etnis-etnis non-Melayu, maupun orang asing yang datang ke
kepulauan ini. Hal itu, dikatakan pula oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen
(1845—1851) setelah ia melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa pada tahun
1850.
Bahasa Melayu itu lingua franca seluruh kepulauan Hindia ini, bahasa yang
dipakai oleh sekalian orang yang masuk golongan bermacam-macam bangsa dalam
pergaulannya bersama: orang Melayu dengan orang Jawa, orang Arab dengan orang
Tionghoa, orang Bugis dengan orang Makasar, orang Bali dengan orang Dayak.
Demikianlah, orang asing, dan terutama bangsa Eropa yang datang ke
Nusantara, mempelajari bahasa Melayu, pada awalnya lebih menekankan pada tujuan
praktis, yaitu sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan penduduk
pribumi. Di dalam perkembangannya, mengingat bangsa Eropa, khasnya Belanda,
mempunyai kepentingan tertentu dalam menjalankan politik kolonial, maka
pandangan terhadap bahasa Melayu tidak lagi sekadar untuk berkomunikasi, tetapi
untuk melanggengkan kekuasaannya. Atas dasar kenyataan itu, tidak dapat lain,
penguasaan bahasa Melayu menjadi salah satu syarat penting bagi pejabat
pemerintah yang hendak bertugas di wilayah ini. Dalam hal itulah, kedudukan
bahasa Melayu di wilayah Nusantara menjadi makin penting dipelajari. Untuk
mewujudkan gagasan itu, Gubernur Jenderal J.J. van Rochussen mengusulkan agar
bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang dipakai di kepulauan
Nusantara. Gagasannya ini tentu saja makin mempercepat penyebaran bahasa Melayu
bagi penduduk dan orang-orang asing yang datang ke wilayah ini.
Sementara itu, masuknya pengaruh Islam ke Nusantara, jauh sebelum
kedatangan bangsa Eropa, menyertakan pula tradisi penulisan huruf Jawi, Pegon,
atau yang lebih umum dikenal dengan huruf Arab—Melayu. Dalam hal ini, meskipun
masyarakat di beberapa daerah, sudah mengenal dan menggunakan huruf daerahnya,
mereka menerima juga huruf Arab untuk menulis bahasa daerahnya. Itulah
sebabnya, ketika orang-orang Eropa memperkenalkan huruf Latin, huruf-huruf itu
tidak serta-merta diterima begitu saja. Bagi orang-orang Eropa, khususnya
Belanda, tentu saja penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab menimbulkan
masalah tersendiri. Mereka lebih mudah belajar bahasa Melayu dengan huruf Latin
daripada dengan huruf Arab. Seperti dikatakan van Ronkel berikut ini:
“Berbicara dalam bahasa Melayu merupakan hal biasa bagi kami. …sayangnya orang
Belanda yang dapat “membaca” (mengerti huruf Arab) masih sangat langka.” Jadi,
saat itu, komunikasi tertulis dalam bahasa Melayu yang dilakukan orang-orang
Eropa dengan penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan raja-raja, lebih
banyak menggunakan huruf Latin, sebaliknya penduduk pribumi atau bangsawan yang
belum dapat mengenal huruf Latin, masih menggunakan Arab-Melayu.
Sesungguhnya, usaha untuk memperkenalkan bahasa Barat (Latin), pada awalnya
berkaitan dengan politik bahasa yang dimaksudkan, agar aparat pemerintah
kolonial tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk pribumi.
Dalam hubungan itulah, maka pada tahun 1818, ditetapkan bahwa salah satu tugas
pemerintah Hindia Belanda adalah “Merencanakan langkah yang tepat untuk
menyebarluaskan pengetahuan bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa lainnya di
antara penduduk bangsa Eropa.” Dua tahun selepas pemerintahan peralihan Inggris
(1811—1816), usaha penyebarluasan huruf Latin dalam bahasa Melayu,
diimplementasikan di dalam hampir semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
Tujuan lain dari usaha itu adalah sebagai langkah yang mendorong pemutusan
bahasa Melayu dari asosiasi pengaruh Islam yang terikat pada pemakaian huruf
Arab. Selepas itu, sejumlah peraturan pemerintah menetapkan betapa penting
penguasaan bahasa Melayu bagi aparat pemerintah. Dan itu merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi, jika mereka hendak menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816—1826) misalnya, membuat sejumlah
peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan bahasa ambtenar Eropa.
Di Sekolah Marine di Semarang (1818), mulai diajarkan bahasa Jawa dan Melayu,
di samping bahasa Belanda, Perancis, dan Inggris. Keputusan Gubernemen, 25
Maret 1819, bahkan secara tegas mewajibkan para ambtenar agar mereka dalam
waktu setahun harus mampu menyelesaikan pekerjaan mereka tanpa bantuan seorang
penerjemah. Bagi asisten-residen, sekretaris dan para pengawas di pemerintahan
dalam negeri, dalam waktu dua tahun harus dapat membaca dan mengerti bahasa
daerah (termasuk bahasa Melayu).
Kebijaksanaan pemerintah mengenai pentingnya penguasaan bahasa Melayu ini
kemudian dilanjutkan lagi oleh Gubernur Jenderal H.M. de Kock (1826—1830) yang
mengeluarkan peraturan No. 16, 14 April 1826, bahwa semua ambtenar sipil dan
militer yang bertugas di pos-pos sipil wajib mempelajari buku tata bahasa
Melayu dan kamus Melayu karya W. Marsden. Dalam keputusan pemerintah No. 38, 22
November 1827, dinyatakan bahwa kenaikan pangkat di dalam dinas tergantung
kepada taraf pengetahuan bahasa Melayu dan Jawa. Kedudukan bahasa Melayu
menjadi semakin penting sebagai bahasa administrasi dan birokrasi pemerintahan
selepas Gubernur Jenderal D.J. de Eerens (1836—1840) mengeluarkan Keputusan No.
30, 22 Mei 1837. Dinyatakan, bahwa semua permohonan, usul penempatan atau
kenaikan pangkat di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri, harus disertai dengan
ijazah yang menyatakan penguasaan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa di Pulau Jawa
(Jawa, Sunda, dan Madura) untuk dapat mengungkapkan segala sesuatu dalam bahasa
itu dan mampu membaca dan menulis huruf-hurufnya untuk bisa berkorespondensi
tentang urusan kedinasan dengan priyayi-priyayi pribumi.
Diterbitkannya sejumlah keputusan atau peraturan pemerintah yang
menempatkan penguasaan bahasa Melayu sebagai salah satu syarat penting bagi
pegawai pemerintah, tentu saja berdampak sangat luas. Bagi bahasa Melayu itu
sendiri, makin mengukuhkan peranannya sebagai bahasa perhubungan, baik sebagai
alat berkomunikasi antarpenduduk pribumi yang berlatar belakang etnis
non-Melayu, maupun dengan orang asing (Eropa—Belanda). Ia juga makin
memperlihatkan prestisenya sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang mulai ramai
dipelajari dan diteliti orang-orang Eropa dalam berbagai penelitian ilmiah.
Bagi pihak pemerintah kolonial Belanda, peraturan itu memaksa para birokrat
Belanda mempelajari bahasa Melayu yang pada gilirannya memudahkan mereka dalam
menjalankan tugas-tugas birokrasi pemerintahannya. Meskipun demikian, di pihak
lain, pemerintah juga harus menyediakan guru dan institusi pendidikan. Itulah
salah satu alasan perlunya didirikan Akademi Delft. Dalam laporan Menteri
Koloni J.C. Baud (1840—1849) kepada Raja, 28 Juni 1842 mengenai keberadaan
Akademi Delft sebagai lembaga yang diharapkan dapat mencetak tenaga-tenaga
ambtenar Hindia Belanda yang mempunyai pengetahuan bahasa secara baik, ia juga
mengungkapkan alasan belum perlunya bahasa Belanda diajarkan bagi penduduk
pribumi. Dalam hal tersebut, ia mengingatkan kedudukan pemerintah Belanda dalam
melangsungkan kekuasaannya di Hindia sebagai wilayah koloninya. Jika suatu
bangsa yang dijajah selalu diajak bicara dalam bahasa asing, mereka akan
senantiasa diingatkan … akan kedudukannya sebagai bawahan (Historische Nota,
1900: 23).
Di Hindia Belanda sendiri beberapa sekolah gubernemen bagi anak-anak
pribumi, baru didirikan pada tahun 1849 dengan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dan bahasa Melayu sebagai salah satu mata pelajaran. Sementara itu,
bahasa Belanda belum diajarkan karena dianggap belum saatnya diberikan kepada
anak-anak pribumi. Jika bahasa Belanda diajarkan, ia hanya akan menambah beban
pendidikan saja, begitulah gagasan yang dilontarkan Baud. Boleh jadi lantaran
itu pula maka Gubernur Jenderal J.J. Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu
dijadikan sebagai bahasa pemerintahan dalam pergaulan dengan kepala-kepala
pribumi. Oleh sebab itu pula, bahasa Melayu di sekolah-sekolah pribumi harus
menjadi hal (pelajaran) penting, sementara bahasa-bahasa pribumi hanya sekadar
tambahan saja. Selanjutnya, van Rochussen mengatakan:
Bahasa Melayu adalah lingua franca di seluruh kepulauan Nusantara, dipakai
dalam pergaulan oleh semua orang dari berbagai bangsa. Kebanyakan orang
pribumi, terutama orang Jawa, tidak merasa sulit mempelajari bahasa itu dan
hampir semua priyayi di Jawa mengerti dan juga menulisnya.
Berdasarkan keputusan Gubernemen, No. 5, 13 Maret 1849, No. 5, dinyatakan
perlunya mendirikan sekolah-sekolah pribumi, terutama bagi ambtenar (priyayi)
pribumi dengan bahasa pribumi sebagai bahasa pengantarnya, sementara bahasa
Melayu menjadi mata pelajaran yang ditulis dengan huruf Arab dan Latin.
Kemudian pada tahun 1850 Rochussen menetapkan pemakaian bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah gubernemen bagi anak-anak pribumi.
Bahwa bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar dan ditempatkan
sebagai mata pelajaran penting di sekolah-sekolah, tidak hanya makin
mengukuhkan keberadaan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan pribumi, tetapi
juga pada akhirnya membawa bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari
di kalangan elite (priyayi) pribumi dan bangsa Eropa, terutama Belanda.
Mengenai dampak ditetapkannya bahasa Melayu di sekolah-sekolah gubernemen,
Groeneboer mengatakan:
Sebagai akibat dari kurikulum untuk kedinasan di Hindia-Belanda, bahasa
Melayu mencapai kemajuan yang pesat… di luar Jawa dan Madura, bahasa Melayu
dipergunakan secara umum sebagai bahasa pemerintahan di dalam kedinasan, di
dalam komunikasi dan korespondensi antara amtenar Eropa dan priayi-priayi di
daerah, antara orang Eropa dan penduduk pribumi, tetapi juga antara orang Eropa
dan amtenar pribumi dan antara kelompok orang Timur-Asing yang berdagang di
mana-mana … bagian terbesarnya terdiri orang-orang Cina yang lahir di
Hindia-Belanda, disebut ‘peranakan’ dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu.
Demikianlah, tidak dapat dihindarkan terjadinya perkembangan bahasa Melayu
dalam dua jalur: (1) bahasa Melayu lisan yang digunakan dalam pergaulan
sehari-hari di kalangan priyayi, dan masyarakat luas, termasuk Cina peranakan
yang bagi golongan masyarakat ini lazim disebut bahasa Melayu pasar, dan (2)
bahasa Melayu yang dipakai dalam dunia persekolahan yang secara taat asas memakai
model bahasa Melayu tinggi.
Bersamaan dengan itu, perkenalan dengan alat cetak membuka kemungkinan lain
bagi perkembangan bahasa Melayu. Dalam hal ini, tidak dapat diabaikan peran
pengelola dan pengusaha percetakan. Terbitnya buku-buku cetak dan lahirnya
sejumlah surat kabar berbahasa Melayu memperlihatkan perkembangan bahasa Melayu
dalam dua jalur itu, yaitu bahasa Melayu tinggi dan bahasa Melayu pasar. Surat
kabar berbahasa Melayu pertama, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, terbit di
Surabaya, 12 Januari 1856, memakai bahasa Melayu pasar mengingat sebagian besar
isinya berupa iklan-iklan perdagangan yang sasaran pembacanya adalah para
pedagang. Perhatikan sebagian keterangan yang menunjukkan isi dan sasaran
pembaca surat kabar ini:
Bermoelanja kita mengloearkan kepada orang2 njang soeka batja ini Soerat
Kabar, njang bergoena soeda terseboet di dalam Soerat Kabar Oostpost, jaini
Soerat Kabar bahasa Melaijoe sanget didjadikan pertolongannja orang berdagang
di negrie Djawa soblah timoer. Mangka segala orang berdagang njang soeka taroh
satoe kabar dari dagang atawa beladjar, berseangkat, datang dari pendjoewalan
barang, harga oetawa dari lain2 kabar, ija boleh kirim di kantor tjitakan ini
soerat di kota Soerabaija.
Perhatikan kutipan di bawah ini yang diambil dari halaman depan surat kabar
itu yang memperlihatkan banyaknya salah cetak dan ejaan yang tidak konsisten.
Harganja ini Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dalem satoe taoen poenja moesti
di bajar lebih daholeoe, pada njang kloewarken ini soerat. Harganja kabaran
njang 10 perkataan f. 1.- rec selainja zegel. Dan boleh dapet darie E. Fuhri di
Soerabaija.
Pilihan pemakaian bahasa Melayu bagi surat kabar, jelas berkaitan dengan
tujuan untuk menjangkau sasaran pembaca yang lebih luas. Bahwa bahasa Melayu
pasar yang digunakannya, tidak pula berarti ada penafikan terhadap bahasa
Melayu tinggi. Masalah pemakaian bahasa Melayu tinggi atau Melayu rendah ini,
disadari pula oleh pengelola Soerat Chabar Betawie, terbit setiap hari Sabtu di
Betawi, April 1858. Berikut ini dikutip pernyataan mengenai hal tersebut yang
terdapat dalam edisi pertama surat kabar itu:
Inie soerat chabar nantie di tjitaq separo dengan hoeroef Walanda, separo
dengan hoeroef Malaijoe. Maka bahasanja inie soerat chabar tiada terlaloe
tinggi, tetapi tiada lagi terlaloe rindah, soepaija segala orang boleh
mengarti, siapa djoega jang mengarti bahasa Malaijoe adanja. Maka barang kali
kita masoq-kan soerat pengadjaran maka di sitoe nantie membahasa Malaijoe
tinggi, tetapi kita harap nantie menjatakan artienja di dalam bahasa Melaijoe
rindah …
Perkembangan bahasa Melayu lewat surat-surat kabar yang kebanyakan memakai
bahasa Melayu rendah itu, tak hanya makin meluaskan tradisi penulisan bahasa
Melayu, baik dengan huruf Arab--Melayu maupun Latin, tetapi juga menumbuhkan
kesadaran pentingnya keseragaman penulisan huruf dan ejaan bahasa Melayu yang
standar. Dalam kaitan itulah, pada tahun 1891, A.A. Fokker menganjurkan
pemakaian bahasa Melayu—Riau yang dikatakannya sebagai berikut:
“… bukan saja sebagai alat peradaban, tetapi juga sebagai bahasa pemersatu
pemerintahan di seluruh kepulauan ini…. Akan datang suatu masa, di mana kita
dapat memberi sumbangannya, yaitu bahwa setiap orang Pribumi yang telah
menamatkan sekolah dasar, akan merasa malu kalau dia tidak mampu berbahasa
Melayu—Riau ….”
Kalangan zending dan para pendeta, di antaranya, A. Hueting dan van der
Roest, juga cenderung memilih bahasa Melayu-Riau karena dianggap sebagai bahasa
Melayu yang baik. “… agar lambat laun bahasa Melayu yang baik, yaitu bahasa
Melayu-Riau diajarkan di sekolah-sekolah … sebagai bahasa yang memungkinkan
berbagai suku bangsa hidup rukun sebagai saudara dan berunding tanpa cemburu
dan iri hati, dan juga dapat menjadi penghubung bagi orang-orang Kristen
lainnya di kepulauan ini.”
Penempatan bahasa Melayu-Riau sebagai mata pelajaran dalam dunia
pendidikan, sesungguhnya telah dilakukan jauh sebelum itu, yaitu ketika bahasa
Melayu diajarkan di sekolah-sekolah. Penegasan kembali pemakaian bahasa Melayu
Riau itu, semata-mata karena adanya perkembangan bahasa Melayu pasar atau
Melayu rendah yang banyak digunakan dalam surat-surat kabar dan dalam pergaulan
sehari-hari. Untuk menghindari terjadinya kekacauan, terutama dalam penulisan
huruf dan ejaan, maka diperlukan acuan bahasa Melayu yang baik dan standar yang
justru masih terpelihara dalam bahasa Melayu Riau. Penulisan kata Melajoe,
misalnya, kadang kala ditulis Melaijoe, Malajoe atau Malaijoe. Keadaan itu
tentu saja dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu. Oleh karena itu,
sebagai usaha untuk memudahkan pembacaan dan penulisan bahasa Melayu serta agar
tidak terjadi kesalahpahaman, maka pada tahun 1897, A.A. Fokker mengusulkan
penyeragaman bahasa Melayu dengan huruf Latin. Dengan demikian, penyeragaman
ini hanya berlaku bagi bahasa Melayu yang menggunakan huruf Latin, dan tidak
bahasa Melayu yang menggunakan huruf Arab-Melayu.
***
Memasuki abad XX, kedudukan bahasa Melayu di semua lapisan masyarakat dan
di berbagai bidang kehidupan di Hindia Belanda, sungguh sudah sedemikian kokohnya.
Tambahan lagi, tahun 1896, Charles Adrian van Ophuijsen, dibantu Moehammad
Ta’ib Soetan Ibrahim –guru di Kawedanan Oud Agam, asal Kota Gadang— dan Engkoe
Nawawi Gelar Soetan Ma’moer –guru bantu di Sekolah Rajo— menyusun ejaan bahasa
Melayu yang standar dan bersumber dari bahasa Melayu klasik yang masih
terpelihara. Berkat usaha ketiga orang itulah, tersusun Kitab Logat Melajoe;
Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal (Batavia, 1901). Direktur
Pendidikan Abendanon, tahun 1902 mewajibkan semua sekolah di Hindia Belanda
untuk menggunakan buku ini sebagai pedoman ejaan bahasa Melayu dengan huruf
Latin. Selain mewajibkan semua sekolah, Pemerintah Belanda juga menghimbau
penerbit-penerbit swasta, terutama surat-surat kabar, agar memakai ejaan ini.
Beberapa ada yang mengikuti imbauan itu dan memakai ejaan van Ophuijsen, tetapi
lebih banyak yang tetap memakai bahasa Melayu pasar.
Dengan diberlakukannya ejaan van Ophuijsen di semua sekolah, maka dalam
dunia pendidikan itulah bahasa Melayu tinggi menempati kedudukannya yang tetap
terpelihara. Keadaan itu didukung pula oleh buku-buku bacaan sekolah yang
diterbitkan Commissie voor de Inlandsce School en Volkslectuur (Komisi untuk
Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) yang berdiri 14 September 1908 dan
tahun 1917, berganti nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Balai Pustaka).
Komisi ini berusaha secara ketat menerbitkan buku-buku bacaan yang isinya tidak
hanya harus sejalan dengan politik kolonial Belanda, tetapi juga bahasanya
harus taat berpedoman pada ejaan Ophuijsen. Seperti dikatakan Nur Sutan
Iskandar, “… Gubernemen Hindia Belanda menghendaki supaja buku-buku batjaan
jang akan dikeluarkan Balai Pustaka harus mempergunakan bahasa Melaju Riau,
bahasa sekolah, jang telah ditetapkan dalam tahun 1901 itu.”
Sementara itu, terjadinya perubahan politik di negeri Belanda, berpengaruh
pula pada kebijaksanaan Belanda di tanah jajahan. Di balik misi memberi
kesejahteraan bagi penduduk pribumi di Hindia Belanda, tersimpan politik
kebudayaan (:politik bahasa) untuk “membelandakan” pola pikir dan perilaku
bangsa terjajah. Maka mulailah politik itu dijalankan dengan kembali menekankan
pemberian mata pelajaran bahasa Belanda di semua tingkat persekolahan. Bahasa
Belanda yang semula diajarkan di sekolah-sekolah gubernemen, kini dicobakan
pula di sekolah pribumi di tingkat yang lebih rendah.
Dalam kaitannya dengan usaha “pembelandaan” itu, Belanda melakukan apa yang
disebut pendekatan asimilasi atau adaptasi. “Kekuasaan kolonial harus berusaha
sekeras mungkin untuk menyamakan penduduk asli, jadi juga harus memberikan
perlakuan yang sama seperti yang ada di negara induk. Peradaban “barat” harus
menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.”
Dalam pelaksanaannya, pendekatan asimilasi atau adaptasi dilakukan pemerintah
Belanda di Indonesia secara setengah-setengah. Bahasa pengantar dalam
pengajaran memang menggunakan bahasa Belanda, tetapi tidak dalam rangka
mempersamakan dan memperlakukan penduduk asli seperti yang ada di negara induk
(Belanda), malahan tetap dalam usaha memberi keuntungan yang maksimal bagi
negara induk.
… sekolah-sekolah sekuler yang dikembangkan pemerintah (Belanda: MSM)
bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melainkan hasil manipulasi kebudayaan model
Barat yang berakar pada negeri asal penjajah, baik organisasinya, maupun
kurikulumnya.
Yang tampak cukup menonjol dari pendekatan asimilasi atau adaptasi di
bidang pengajaran itu adalah usaha menyelusupkan peradaban Barat. Usaha
pembaratan makin gencar dilakukan melalui pengajaran bahasa Belanda. Dr. G. J.
Nieuwenhuis, pakar di bidang pengajaran bahasa ini sebagaimana dikutip
Alisjahbana menyatakan:
Penyebaran bahasa Belanda di Indonesia ini tentu hanya mungkin berhasil
jika melalui proses yang panjang dan dari awalnya tidak memperlakukan penduduk
pribumi secara diskriminatif. Tambahan lagi, sudah sejak lama bahasa Melayu
menjadi lingua franca, sebagai bahasa pergaulan, bahasa pemerintahan, dan
menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah, maka merupakan kemustahilan belaka
menggeser bahasa Melayu ke pinggir dan menggantikannya dengan bahasa Belanda.
Instruksi dari Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon yang dimuat
bersamaan dengan edisi pertama surat kabar Asia Raya‚ (29 April 1942/2602)
misalnya, jelas merupakan pengumuman pemerintah Jepang mengenai kebijaksanaan
yang akan dijalankan di wilayah Indonesia. Butir keenam dari sepuluh butir
maklumat itu berbunyi sebagai berikut: "Nama-nama negeri dan kota
diseloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan kepada zaman pemerintah Belanda
almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra'jat." Pengumuman
sejenis, baik yang menyangkut pemberlakuan kebijaksanaan politik pemerintah
Jepang, instruksi-instruksi, peraturan-peraturan, maupun rencana perayaan
hari-hari tertentu yang dianggap dapat memberi semangat bagi perjuangan
bangsa-bangsa Asia (:Jepang),11 juga kerap kali mengisi lembaran-lembaran
halaman surat kabar Asia Raya. Ketika pemerintah Jepang memerlukan begitu
banyak pohon jarak, imbauan untuk menanam pohon itu, cara penanamannya,sampai
ke manfaat pohon itu, hampir setiap hari muncul tulisan mengenai hal tersebut.
***
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hj. Wan Mohd. Shaghir. “Karya-Karya Klasik Abad 16: Bukti Bahasa
Melayu
Bahasa Ilmu.” Jurnal Dewan Bahasa, Februari 1990.
Alisjahbana, Sutan Takdir. “Bahasa Indonesia.” Poedjangga Baroe, No. 5, I,
November
1933.
_____________________. “Kedoedoekan Bahasa Melajoe-Tionghoa.” Poedjangga
Baroe, No. 4, Th. II, Oktober 1934; 97—105.
“Apakah Balai Poestaka” Pengantar bagi lid-lid congres Bestuur Boemipoetera
jang ke-
III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka. (?)
“Bureau voor de Volkslectuur: The Bureau of Popular Literature of
Netherlands India,
What it is, and what it does” (?)
Asraf dan Usman Awang, “Memorandum mengenai Tulisan Rumi untuk Bahasa
Melayu.” Memoranda Angkatan Sasterawan ’50. Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1962; Edisi kedua, Fajar Bakti, 1987.
Groeneboer, Kees. Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda
1600—1950,
Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995.
Hamzah, A. Wahab. “Sejarah Percetakan Buku Bahasa Melayu.” Pelita Bahasa,
Mac
1991.
Ishak, Md. Sidin Ahmad. Penerbit & Percetakan Buku Melayu 1807—1960.
Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.
Iskandar, Nur St. “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa
Indonesia.”
Pustaka dan Budaja, No. 8, Th. II, 1960. Dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz.
(Peny.). Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
Jamin, Muhammad. Sumpah Indonesia Raja. Bukit Tinggi: Nusantara, 1955.
Dimuat juga
dalam E. Ulrich Kratz. (Peny.). Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia
Abad
XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
Kridalaksana, Harimurti (Ed.). Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai.
Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1993 (Cet.
III; Cet. I,
1982.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Lubis, Mochtar. “Perkembangan Bahasa Indonesia.” Horison, XVIII, 479,
November—
Desember 1983.
Mahayana, Maman S. “Latar Belakang Lahirnya Bahasa Indonesia.” Gaung, No.
3/VII,
November 1984.
_________________. “Cikal-Bakal Bahasa Indonesia,” Suara Karya, 18 Februari
1985.
_________________. “Rentang Perjalanan Bahasa Indonesia,” Media Indonesia,
31
Oktober 1992.
_________________. “Van Ophuijsen: Peletak Dasar Ejaan Bahasa Indonesia,”
Suara
Karya, 16 Februari 1993.
_________________. “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya
(1942—
1945): Studi Kasus Harian Asia Raja.” Laporan Penelitian (tidak
dipublikasikan)
_________________. “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908—1928)” Laporan
Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia, 2000;
_________________. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di
Indonesia dan
Malaysia. Magelang: Indonesia Tera, 2001.
_________________. “Politik Kolonial Belanda di Balik Pertumbuhan Balai
Pustaka,”
Makalah Seminar Antarbangsa Kesusasteraan Malaysia ke-VII, Bangi:
Universiti
Kebangsaan Malaysia, 10—12 September 2001.
Moain, Amat Juhari. “Sejarah Tulisan Jawi.” Jurnal Dewan Bahasa, November
1991.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: FSUI,
1994.
Nagazumi, Akira. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti,
1989.
Niel, Robert van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984.
Pamuntjak, K. Sutan. “Balai Pustaka Sewadjarnja 1908—1942” Jakarta: (?),
1948.
Teeuw, A. “Prestise Bahasa Indonesia.” Kompas, 5—6 Desember 1990.
________. “Herman Neubronner van der Tuuk: Perintis Ilmu Bahasa Indonesia,”
Kompas, 13 Agustus 1994.
***
{Makalah Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia--Melayu, kerja
sama Universitas Pakuan, dengan Dewan Bahasa dan Pustaka. Bogor, Universitas
Pakuan, Bogor, 14—16 September 2002.}
***
#:
Pelajaran bahasa daerah di sekolah sebagai muatan lokal, dipelajari umumnya
sekadar pengenalan serba sedikit untuk tujuan komunikasi dalam pergaulan
sehari-hari. Sangat mungkin pula dijadikan sebagai mata pelajaran di sekolah
sekadar tuntutan kurikulum. Jadi, bukan untuk kepentingan teoretis.
Mempelajari bahasa Belanda pada zaman kolonial Belanda selain untuk
mengangkat status sosial sebagai priyayi, juga untuk tujuan mengejar karier
jika ia (hendak) bekerja dalam birokrasi pemerintahan.
Mata kuliah bahasa Jawa Kuno, bahasa Kawi atau bahasa Sanskerta di
perguruan tinggi pada umumnya bertujuan untuk kepentingan teoretis sebagai
ilmu, dan bukan untuk kepentingan praktis. Meskipun untuk tujuan membaca naskah
kuno atau prasasti, pengetahuan teoretis mengenai bagaimana cara membaca atau
mentranskripsi dan mentransliterasinya, tetap saja diperlukan.
Boleh jadi semua bahasa yang menjadi bahasa nasional, dipelajari selain
untuk pengembangan bahasa itu sendiri, juga untuk tujuan-tujuan lain yang
biasanya berkaitan dengan prestise, martabat, budaya, atau nasionalisme bangsa
yang bersangkutan..
Pengajaran bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan bahasa Jepang di Indonesia
sebelum perang, di dalamnya terkandung tujuan politik untuk kepentingan
pemerintahan kolonial.
Bandingkanlah dengan mata pelajaran bahasa Indonesia sekarang. Kecuali
untuk tujuan politik –menumbuhkan rasa nasionalisme-- bahasa Indonesia
dipelajari untuk tujuan (i) praktis –termasuk di dalamnya untuk mengejar karier
mengingat materi bahasa Indonesia diujikan ketika seseorang hendak memasuki
perguruan tinggi atau hendak menjadi pegawai negeri, (ii) teoretis berkaitan
dengan pengembangan wawasan dan pengetahuan, (iii) untuk pengembangan bahasa
itu sendiri. Jadi, pelajaran bahasa Indonesia sekarang dimaksudkan untuk
keempat tujuan tersebut.
Harimurti Kridalaksana (“Pengantar tentang Pendekatan Historis dalam Kajian
Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia” dalam Harimurti Kridalaksana (Ed.), Masa
Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm.
6—7) mencatat sedikitnya 18 prasasti berbahasa Melayu kuno, mulai prasasti
Sojomerto yang ditemukan di Pekalongan, bertarikh awal abad ke-7 sampai
prasasti Bukit Gombak (Sumatra Barat) yang bertarikh abad ke-14. Delapan
prasasti yang lebih awal justru ditemukan di daerah Jawa Tengah (7 buah) dan
satu prasasti ditemukan di Bogor, Jawa Barat. Keterangan Harimurti ini
sekaligus merevisi pendapat Sutan Takdir Alisjahbana, (“Sejarah Bahasa
Indonesia” dalam Harimurti Kridalaksana (Ed.), ibid., hlm. 97) yang menyebutkan
bahwa prasasti Gandasuli di Jawa Tengah yang bertarikh 827 dan 832 Masehi
merupakan prasasti Melayu tertua.
Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda
1600—1950, (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995), hlm. 20--21.
Ibid. Lihat juga Sutan Takdir Alisjahbana, “Bahasa Indonesia,” Poedjangga
Baroe, No. 5, I, November 1933, hlm. 150.
Ibid. Alisjahbana menerjemahkannya sebagai berikut: “Dan siapa di Hindia
tiada tahu bahasa ini, dia tiada boleh mengikut, seperti pada kita bahasa
Perancis.”
A. Teeuw, “Prestise Bahasa Indonesia,” Kompas, 5—6 Desember 1990. Dimuat
juga dalam A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1994), hlm. 250—262.
Francois Valentijn menulis buku Oud en Nieuw Oost Indien (1713) yang
terdiri dari lima jilid tebal. Di dalam jilid ketiganya, ia mendaftarkan
sejumlah hikayat dan karya dalam bahasa Melayu yang menurutnya, karya-karya itu
sudah diketahui penduduk. Jadi, karya-karya berbahasa Melayu waktu itu juga
sudah begitu dikenal masyarakat etnis yang bukan Melayu. Lihat Sri Wulan
Rujiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, Depok: FSUI, 1994, hlm. 30.
Kees Groeneboer, Op. Cit., hlm., hlm. 20--21. Valentijn juga melakukan
klasifikasi bahasa Melayu. Ia membedakan antara bahasa Melayu Tinggi dan bahasa
Melayu Pasar (bahasa yang digunakan untuk kontak niaga) atau bahasa Melayu
Kacukan (Katsyokan, bahasa campuran atau bahasa pasar). Ia mengatakan sebagai
berikut: “Bahasa itu sekarang (walaupun ada yang tidak setuju) ada dua macam,
pertama: yang Tinggi yaitu bahasa Melayu yang dipakai orang-orang besar di
istana-istana dan dalam urusan yang berhubungan dengan agama Islam, dan kedua:
bahasa Rendah, yaitu bahasa pasar, Melayu pasar yang dipergunakan sehari-hari
oleh masyarakat.” Berbeda dengan pembagian yang dilakukan Valentijn, Marsden
membaginya ke dalam empat bahasa, yaitu (i) bahasa Melayu Dalam, yaitu ragam
bahasa Melayu yang dipakai untuk menyapa raja atau keluarganya, (ii) bahasa Bangsawan,
yaitu ragam bahasa Melayu yang dipakai para keluarga bangsawan di dalam istana,
(iii) bahasa dagang atau bahasa pasar yaitu ragam bahasa Melayu yang dipakai
untuk kontak niaga, dan (iv) bahasa kacukan, yaitu ragam bahasa Melayu yang
digunakan di pasar, pelabuhan atau di tempat-tempat bertemunya berbagai macam
(suku) bangsa. Sementara itu, Swellengrebel (1974: 8—9; Groeneboer, Ibid., hlm.
23) juga membagi empat macam bahasa Melayu, yaitu (i) bahasa Melayu sebagai
bahasa asal yang dipakai masyarakat di Selat Malaka, (ii) bahasa Melayu tulisan
yang penyebarannya lebih luas, tetapi masih satu keluarga, (iii) bahasa Melayu
setempat dengan berbagai variasinya yang dipakai di berbagai daerah yang
menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca, dan (iv) bahasa Melayu pasar
dengan bentuk yang paling sederhana dan paling banyak unsur serapannya.
Groeneboer menggunakan istilah bahasa Melayu Tinggi dalam pengertian bahasa
Melayu tulisan yang penyebarannya lebih luas, tetapi masih satu keluarga, untuk
menyatakan bahasa Melayu—Sekolah dan bahasa Melayu—Gereja. Sebenarnya masih
banyak linguis atau ahli bahasa yang juga melakukan klasifikasi bahasa Melayu.
Sumber-sumber itu menunjukkan bahwa perhatian dan minat orang untuk mempelajari
dan melakukan berbagai penelitian atas bahasa Melayu sudah sejak lama
dilakukan. Sumber-sumber itu juga merupakan bukti, betapa pentingnya kedudukan
bahasa Melayu di kepulauan Nusantara ini. Mengenai pengklasifikasian bahasa
Melayu, Maman S. Mahayana pernah pula menulis artikel pendek berjudul, “Latar
Belakang Lahirnya Bahasa Indonesia,” Gaung, No. 3/VII, November 1984, hlm.
30—34.
Groeneboer, Ibid., hlm. 23.
Sutan Takdir Alisjahbana, “Bahasa Indonesia,” Poedjangga Baroe, No. 5, I,
November 1933, hlm. 135. Dengan perbaikan dan penambahan di sana-sini serta
perubahan judul menjadi “Sejarah Bahasa Indonesia” artikel ini kemudian dimuat
juga dalam Harimurti Kridalaksana (Ed.), Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah
Bunga Rampai (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 95—109.
Kata Jawi berasal dari bahasa Arab, ?? ?. Amat Juhari Moain (“Sejarah
Tulisan Jawi,” Jurnal Dewan Bahasa, November 1991, 1001) menyatakan, bahwa kata
Jawi merupakan bentuk adjektiva dari kata Arab, jawah (?? ?) yang menunjuk pada
sebuah daerah di Asia Tenggara. Kata Jawah dan Jawi tidak hanya merujuk pada
Pulau Jawa dan orang Jawa, melainkan juga pada seluruh daerah di Asia Tenggara
berikut penduduknya sekaligus.
Aksara Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Tulisan Arab yang
tidak memakai tanda-tanda bunyi (diakritik) atau disebut juga tulisan Arab
gundul dinamakan juga sebagai huruf Pegon.
Bahasa Melayu yang menggunakan huruf Arab.
Sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, masyarakat etnis di beberapa
daerah sudah mengenal dan menggunakan tulisan (huruf) daerahnya sendiri. Sri
Wulan Rujiati Mulyadi (Kodikologi Melayu di Indonesia, Depok: FSUI, 1994),
misalnya, mencatat lebih dari 20-an huruf-huruf yang digunakan dalam penulisan
berbagai naskah daerah. Setelah Islam masuk, huruf Arab diterima, tetapi
huruf-huruf daerah, juga masih tetap di pertahankan. Huruf Jawa, Sunda, dan
Cirebon, misalnya, sampai sekarang masih banyak digunakan masyarakat setempat,
meskipun huruf Arab dan Latin, juga mereka pakai untuk berbagai keperluan
tertentu. Di Malaysia penerimaan huruf Latin (Rumi) secara luas baru terjadi
selepas Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu ketiga, 16—21 September 1956,
sebagaimana yang diusulkan Sastrawan Asas 50. Yang menarik dari usulan
sastrawan Asas 50 ini, terutama Asraf dan Usman Awang, adalah keinginannya untuk
menyatukan ejaan bahasa Melayu di Malaysia dan Melayu di Indonesia. Berikut ini
dikutip salah satu usulannya: “Apabila bahasa Melayu di Malaya dan bahasa
Melayu di Indonesia dapat disamakan atau disatukan, maka tukar-menukar pikiran
melalui buku, majalah, suratkabar dan lain-lain yang bertulisan Rumi dapat
berjalan dengan lebih pesat daripada hal sekarang ini. Dengan adanya hubungan
pikiran antara kedua-dua daerah yang menggunakan bahasa Melayu itu maka
pertalian darah serta kebudayaan antara bangsa kita di Malaya dan bangsa-bangsa
Melayu lainnya di Indonesia (bangsa Indonesia) akan tetap terpelihara dan terus
erat sebagaimana yang menjadi cita-cita kita bersama selama ini.” (Asraf dan
Usman Awang, “Memorandum mengenai Tulisan Rumi untuk Bahasa Melayu.” Usulan
selengkapnya termuat dalam Memoranda Angkatan Sasterawan ’50 (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1962; Edisi kedua diterbitkan Fajar Bakti, 1987; hlm.
14—15). Sebelum itu, Za’ba yang menyusun buku Kitab Rahsia Ejaan Jawi, 10
November 1928 (terbit jilid pertama, tahun 1929 dan jilid kedua, tahun 1931),
telah mengingatkan bahwa dalam masa 20—30 tahun mendatang, tulisan Jawi akan
tersisih oleh tulisan Rumi jika buku-buku banyak ditulis dalam tulisan Rumi.
Lihat Md. Sidin Ahmad Ishak, Penerbit & Percetakan Buku Melayu 1807—1960.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998, hlm. 313.
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan. (Jakarta:
Gramedia, 1996): 96.
Groeneboer, Op. Cit., hlm. 104.
Ibid., hlm. 106.
Hendrik Merkus Baron de Kock (1779—1845) di bidang bahasa sebenarnya tidak
terlalu punya peranan penting. Reputasinya menonjol di bidang militer karena ia
secara tidak ksatria memperdayai Pangeran Diponegoro dalam sebuah perundingan
“sandiwara” yang disiapkan untuk menangkap Diponegoro. Setelah itu, Diponegoro
dibuang ke Makasar. Itulah akhir perang Jawa (1825—1830).
Kedua buku karya William Marsden itu: A Grammar of the Malayan Language
with an Introduction and Praxis (London: Cox and Baylis, 1812: 1 + 225 hlm.)
dan A Dictionary of the Malayan Language, in Two parts, Malayan and English,
and English and Malayan (London: Cox and Baylis, 1812: xvi + 590 hlm). Sebelum
itu, Marsden juga menulis buku The History of Sumatera (1783) yang berisi
adat-istiadat, bahasa-bahasa, dan undang-undang rakyat Sumatera dan peperangan
rakyat Aceh melawan bangsa Portugis di Melaka. A. Wahab Hamzah (“Sejarah
Percetakan Buku Bahasa Melayu” Pelita Bahasa, Mac 1991: 44—45) mengatakan,
bahwa pengetahuan Marsden tentang bahasa Melayu diperolehnya dari ayah Munsyi
Abdullah, yaitu Sheikh Abdul Kadir yang mula mengajari Marsden bahasa Melayu.
Mengenai peranan Marsden ini, Harimurti Kridalaksana (1982: 133--134)
menyebutnya sebagai pelopor penyelidikan bahasa dan kebudayaan
Melayu—Indonesia.
Kees Groeneboer, Op. Cit., hlm. 106.
Bukti-bukti mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, periksa
artikel Hj. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Karya-Karya Klasik Abad 16: Bukti
Bahasa Melayu Bahasa Ilmu,” Jurnal Dewan Bahasa, Februari 1990: 90—99.
Akademi Pendidikan Insinyur Sipil di Delft ini didirikan tahun 1842, di
dalamnya diberikan pendidikan (pelajaran) bahasa dengan tujuan agar para
amtenar yang akan bekerja di Hindia-Belanda dapat berbahasa pribumi dengan
baik. Akademi ini ditutup tahun 1864 karena dilihat dari segi keuangan dan
lulusan yang dihasilkannya dianggap lebih banyak menimbulkan masalah. Antara
tahun 1842—1857, misalnya, dari 305 murid, 195 murid di antaranya berasal dari
Hindia-Belanda, yang lulus hanya 37 orang. Murid yang berasal dari Belanda
sendiri, dari 110 orang yang lulus hanya 34 orang.
Kees Groeneboer, Op. Cit., hlm. 107.
Ibid., hlm. 104.
Ibid., hlm. 112.
Ibid., hlm. 109—110.
Pemakaian bahasa Melayu tinggi di dunia pendidikan, relatif lebih
terpelihara karena didukung oleh penyebaran buku-buku pelajaran bahasa Melayu,
buku-buku terjemahan Alkitab berbahasa Melayu yang dilakukan para misionaris
(zending), peraturan-peraturan pemerintah dalam bahasa Melayu, dan penerbitan
buku-buku bacaan. Sejak berdirinya Komisi Bacaan Rakyat (1908 dan tahun 1917
komisi ini berganti nama menjadi Balai Pustaka) penyebaran bahasa Melayu tinggi
atau bahasa Melayu sekolahan ini makin mapan.
Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, hari Saptoe, tanggal 3 Djoemadilawal, tahoen
Djawa 1784, tahoen Arab 1972, 4 Tjap-dji goe tahoen Iet-bouw, njang 5 dari
Amhong, oetawa 12 January 1856. Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah sastra
Indonesia di Surabaya 1856—1994 (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan
Sadi Hutomo, 1995), hlm. 19.
Suripan Sadi Hutomo, Ibid., hlm. 18.
Menjelang berakhir abad ke-19, di Betawi saja sudah terbit sekitar 15-an
buah suratkabar bahasa Melayu yang dikelola golongan Cina peranakan dan
Indo-Belanda. Memasuki abad ke-20, ada sekitar 50-an surat kabar berbahasa
Melayu, baik yang menggunakan huruf Latin, maupun Arab-Melayu. Sebagian besar
surat kabar itu menggunakan bahasa Melayu pasar. Meskipun demikian, suratkabar
pertama yang dikelola pribumi, Soenda Berita, terbit pertama kali di Cianjur,
Februari 1903, menggunakan bahasa Melayu yang dilihat dari gaya bahasanya
tergolong bahasa Melayu sekolahan (Melayu tinggi). Maman S. Mahayana, “Majalah
Wanita Awal Abad XX (1908—1928)” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan).
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000; hlm. 12—21.
Hutomo, Op. Cit., hlm. 19—20. Mahayana, Ibid., hlm. 14—16.
Pemakaian bahasa Melayu rendah dan bahasa Melayu tinggi untuk
surat-suratkabar ini, seringkali atas pertimbangan ekonomis. Dengan pemakaian
bahasa Melayu rendah, media itu dapat menjangkau pembaca semua kalangan.
Majalah Poetri Hindia, sebuah majalah wanita pertama yang dikelola pribumi,
terbit pertama kali di Betawi, 1 Juli 1908, menolak pemakaian ejaan van
Ophuijsen, karena pertimbangan sasaran pembacanya. Dalam sebuah artikel
berjudul, “Perloekah Poetri pake logat Ophuizen” (Poetri Hindia, No. 1, II, 15
Januari 1909), dikatakan bahwa majalah itu sebagai “taman di mana segala bangsa
dari anak Hindia boleh datang bergaoel satoe dengan jang lain, ta’ perloe
mempergoenakan bahasa jang di ertikan oleh berdjenis-djenis bangsa jang
berlainan bahasa …(maksudnya, bangsa Belanda: MSM).
Mengenai bahasa Melayu rendah atau lebih khusus bahasa Melayu Tionghoa,
Sutan Takdir Alisjahbana justru melakukan pembelaan terhadapnya. Dalam
artikelnya, “Kedoedoekan Bahasa Melajoe-Tionghoa” (Poedjangga Baroe, No. 4, Th.
II, Oktober 1934; 97--105), STA mengatakan: “Kedoedoekan bahasa
Melajoe-Tionghoa sebagai bahasa perhoeboengan disisi bahasa Indonesia itoe
haroes kita anggap sebagai kedoedoekan jang sjah ditengah masjarakat ini. Tidak
soeatoe alasan djoega kepada kita oentoek memandangnja dengan edjekan dan
tjemooh.” (Kutipan sesuai dengan teks aslinya)
Kees Groeneboer, Op. Cit., hlm. 224.
Ibid.
Mengenai riwayat singkat C.A. van Ophuijsen, lihat Maman S. Mahayana, “Van
Ophuijsen: Peletak Dasar Ejaan Bahasa Indonesia,” Suara Karya, 16 Februari 1993
Dalam hampir semua buku yang membicarakan ejaan van Ophuijsen, tidak ada
yang menyinggung nama kedua guru pribumi itu. Dengan demikian, ejaan itu
seolah-olah disusun sendiri oleh van Ophuijsen.
Menurut Denys Lombard (Op. Cit., hlm. 164), pemberlakuan ejaan Ejaan van
Ophuijsen ini sebelumnya telah melewati perdebatan antara A.A. Fokker dan C.
Spat. Usul Fokker yang mendukung pemberlakuan Ejaan van Ophuijsen, akhirnya
diterima. Maka sejak 1901 ejaan ini resmi digunakan sampai Maret 1947, ketika
Ejaan Soewandi –dikenal juga dengan nama Ejaan Republik—mulai diberlakukan, 1
April 1947.
Pembicaraan mengenai Balai Pustaka lebih jauh, periksa K. St. Pamuntjak,
“Balai Pustaka Sewadjarnja 1908—1942”; (Djakarta: (?), 1948), “Apakah Balai
Poestaka” Pengantar bagi lid-lid congres Bestuur Boemipoetera jang ke-III
waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka; “Bureau voor de Volkslectuur: The Bureau
of Popular Literature of Netherlands India, What it is, and what it does”.
Ketiga artikel tentang Balai Pustaka ini, sampai kini belum dapat diketahui
penerbit dan tahun penerbitannya. Mengenai latar belakang politik kolonial
Belanda dalam pendirian Balai Pustaka, periksa Maman S. Mahayana, “Politik
Kolonial Belanda di Balik Pertumbuhan Balai Pustaka,” Makalah Seminar
Antarbangsa Kesusasteraan Malaysia ke-VII, Bangi: Universiti Kebangsaan
Malaysia, 10—12 September 2001.
Nur Sutan Iskandar bekerja di Balai Pustaka sejak tahun 1915. Mula-mula
sebagai korektor, kemudian redaktur, dan terakhir menjabat sebagai redaktur
kepala sampai ia pensiun. Komentarnya tentang “Peranan Balai Pustaka dalam
Perkembangan Bahasa Indonesia” itu disampaikannya dalam suatu pertemuan dengan
Ikatan Guru-guru Bahasa Indonesia, kemudian dimuat dalam Pustaka dan Budaja,
No. 8, Th. II, 1960. Dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz (Peny.). Sumber Terpilih
Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000;
hlm. 5—14.
Bermula dari gagasan Coenraad Theodore van Deventer tentang “Een Eeresschuld”
(Utang Budi) yang menggemparkan kalangan politik di Belanda, akhirnya diusulkan
agar kebijaksanaan kolonial mulai diarahkan pada peningkatan taraf hidup
masyarakat di tanah jajahan. Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina menyampaikan
pidatonya tentang apa yang disebut Politik Etis. Inilah salah satu bagian dari
pidatonya itu: “Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki
kedudukan hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan
dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada seluruh sistem
pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral
terhadap penduduk di kawasan ini.” (Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia: Budi Utomo 1908—1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989; hlm. 27—28).
Modernisasi yang hendak dijalankan di tanah jajahan, seringkali
dipersamakan dengan westernisasi (pembaratan). Dalam konteks kebijaksanaan
Belanda, pembaratan itu dimaknai sebagai pembelandaan.
I.J. Brugmans, “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet & I.J. Brugmans
(Peny.), Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, terj. Amir Sutaarga, (Jakarta,
1987), hlm.182--183.
Philip G. Albach and Gail P. Kelly (Eds.), Education and Colonialism, (New
York, 1978), hlm. 4 et seqq.
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia
salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan
pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan
sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di
Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa
hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa
Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon”
(Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX
(1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/07/perkembangan-bahasa-indonesia%e2%80%94melayu-di-indonesia-dalam-konteks-sistem-pendidikan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment