Tuesday, February 23, 2021

Kegetiran di Balik Teater “Burung Merak”

S. Jai *
 
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
ia telah membunuh bapaknya
(Dari Sajak Rendra, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo)
 
SAJAK yang hampir surealis dan fantastis ini lengkap dibacakan dengan memikat oleh sutradara dan pimpinan Komunitas Celah Celah Langit, Iman Soleh. Sajak ini pula yang menginspirasi Putu Wijaya menebar spirit WS Rendra (alm) untuk -memilih sudut pandang baru- dalam monolog Burung Merak di Universitas Airlangga, Selasa (17/11) malam. Putu mengeksplorasi dialognya “mengapa anak bersedia membunuh bapaknya?” “Kenapa bapak bisa terbunuh oleh anaknya?”
 
Memang dari rangkaian tour-nya di beberapa kota di Jawa, memperingati 100 hari wafatnya WS Rendra, monolog Putu Wijaya menyebarkan kembali ajakan penyair dan budayawan besar itu untuk “berani melawan kekuasaan yang mencengkeram kebebasan berekspresi,” “kembali mempertimbangkan tradisi” dan “gagah dalam kemiskinan.”
 
Bermula dari balik layar putih belakang panggung, separuhnya memerah oleh semburan cahaya, muncul lelaki mengenakan sarung, kemeja, kopiah serba hitam, dan selembar syal melilit leher. Selanjutnya aktor dan sutradara Teater Mandiri itu menyampaikan dialog-dialognya di panggung hampir dua jam lamanya. Seringnya bayangan tubuh aktor yang jatuh di layar, sungguh di luar dugaan saya sebagai penonton, diam-diam bayang-bayang Putu Wijaya sebagai awal monolog Burung Merak selanjutnya menyulut hebat kegetiran saya.
 
Sesungguhnya kegetiran ini sudah menyusup ketika menyaksikan penonton yang malam itu menyesaki gedung pertunjukkan. Bisa jadi membludaknya penonton ini di luar dugaan Fakultas Ilmu Budaya Unair selaku Tuan Rumah. Betapa antusiasme teater Surabaya luar biasa. Mereka rela antre puluhan meter sebelum di pintu ruang pertunjukkan. Penonton pun tumpah di mulut gedung yang memang tak memadai untuk pagelaran teater ini.
 
Yang menggelikan sebetulnya adalah pertanyaan mengapa ini terjadi di Surabaya selaku tuan rumah. Mungkin di antara ratusan penonton ada yang tidak mengenal Putu Wijaya, belum mendengar WS Rendra. Barangkali pula tersihir nama besar WS Rendra, selain tentu terdorong rasa ingin tahu perihal Putu Wijaya. Meski tentu saja tak sedikit dari mereka memang punya pengetahuan teater dan karena itu menguji pengetahuannya atas karya Putu Wijaya dan gagasan-gagasan WS Rendra.
 
Kegetiran di balik layar monolog Burung Merak bukanlah perihal penonton seperti ini. Kegetiran lebih pada rasa cemas dengan teater itu sendiri: di kota ini, Surabaya dan juga perihal Jawa Timur. Kiranya, diantara kita utamanya penonton yang cukup punya pengetahuan tentang Putu Wijaya dan WS Rendra menyadari betul bahwa tidak satupun seniman-seniman teater di kota ini, bahkan di negeri ini yang tidak pernah belajar pada dua suhu drama yang dikenal bahkan sampai luar negeri. Keduanya seorang yang gigih memperjuangkan kebudayaan tidak saja di bidang teater melainkan juga sastra dan gagasan-gagasan kebudayaannya.
 
Dengan kata lain, kegigihannya jelas tak cukup apalagi hanya untuk menjadikan keduanya monumen. Baik monumen hidup maupun monumen setelah meninggal. Karena setiap monumen nyata seringkali hanyalah suatu cara lain untuk membunuh spirit kegigihan suatu perjuangan dalam hal ini kebudayaan. Monumen hanyalah bukti ketidakmampuan kita untuk mempelajari, mewarisi, menyemangati, dan menjadikan spirit hidup menyongsong kebudayaan masa depan. Karena itu dibutuhkan suatu atau sebuah monumen untuk menghibur diri, menipu diri atau lebih tepatnya mengakui keberadaan puncak masa lalu tapi tak pernah bisa menghadapi masa depan dengan kegagahan.
 
Inilah kegetiran di balik pertunjukkan monolog Burung Merak Putu Wijaya, yang tidak semua menyadarinya. Atau mungkin sebagian telah mengetahui tetapi tidak merasakan. Atau sebaliknya, telah cukup banyak yang tahu tapi enggan mengakui, alias tak punya kejujuran menyatakannya. Meskipun bukan mustahil lebih banyak yang tidak tahu dan cukup merasa bangga menyediakan diri menjadi penonton teater bagi tokoh teater hebat sekaliber Putu Wijaya.
 
Saya sendiri berdecak kagum dan mengakui Putu Wijaya adalah inspirasi dunia teater kita. Betapa dalam usia yang hampir kepala tujuh (66) ia masih energik membawakan lakon Burung Merak dalam durasi hampir dua jam. Apalagi, ini hanya monolog yang dalam rumus proses kreatif Putu Wijaya sebagaimana kita tahu, monolog menurutnya adalah cara enteng, murah, cepat untuk menghidupkan teater. Puncak-puncak pencapaian teaternya justru pada gagasan penyutradaraannya pada Teater Mandiri dalam “Teater Tontonan” (Temu Teater 1984, Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Cipta) dan “Teater Terror” yang saya kira ini spirit baru dari Teater Kejam-nya, Antonin Artaud. Putu Wijaya kelahiran Tabanan Bali dan Antonin Artaud menggali spirit teaternya dari Teater Bali. Seperti diketahui, selain juga puncak pencapaian estetikanya Putu Wijaya dalam arus kesadaran baru (stream of consciousness) dalam karya-karya sastra novel dan cerpen-cerpennya.
 
Miskin Sejarah dan Kritik Teater
 
Kegetiran ini terang sekali terjadi atas nasib teater di Surabaya -juga Jawa Timur. Ada monumen hidup. Ada monumen mati. Yang pertama jelas lebih banyak tak berarti ketimbang yang kedua. Yang pertama boleh dikata lebih banyak menganggu bakal munculnya gagasan-gagasan teater ketimbang yang kedua. Yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat. Dan yang Kedua Basuki Rachmat. Dua nama ini pantas disebut karena sejarah dan kritik teater mengungkap dua-duanya “sekaliber” Putu Wijaya atau WS Rendra.
 
Perlu ada tanda petik pada kata sekaliber untuk menghindari polemik yang bisa melantur tak berguna. Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”
 
Bahkan mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS -tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan dianut oleh sebagian besar grup teater di seluruh Indonesia.
 
Boleh dikata BMS ketika itu menjadi kelompok teater yang kaya eksperimen?sebagai proses berkesenian yang memang mutlak menjadi spiritnya. Sebagai penulis naskah, nama Akhudiat semakin menanjak jauh. Beberapa naskah eksperimentalnya memenangi Lomba Penulisan Naskah yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Menulis lakon sejak tahun 70-an, antara lain Graffito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), Re (1977), dan kesemuanya memenangkan sayembara penulisan lakon versi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
 
Yang menggelitik beberapa seniman teater, adalah ketika dianggapnya Akhudiat sebagai monumen hidup teater Surabaya sebagaimana diungkapkan sutradara Zaenuri usai pertunjukkan “Burung Merak.” Bahwa selama Akhudiat masih ada, Surabaya tidak bakal ada sutradara yang muncul ke pentas teater nasional, karena selalu di bawah bayang-bayangnya, sekalipun pencarian idiom teater oleh dramawan-drawaman muda menemukan orisinalitas bahasa.
 
Mungkin kenyataan itu tidak selamanya benar, kendati tak berarti salah. Setelah Akhudiat betul-betul tak ada nama dramawan yang tampil di pentas nasional. Meskipun sederet nama sebetulnya telah ada dalam baying-bayang Akhudiat. Sebut saja beberapa misal, Meimura, Amir Kiah, Luhur Kayungga, Zaenuri, Rachmat Giryadi dan masih bisa ditambah beberapa lagi juga dari daerah seperti Malang, Sumenep, Jember dan lain sebagainya.
 
Kenyataannya memang Akhudiat masih hidup, dan sepanjang dia hidup, utamanya bagi pengamat-pengamat teater dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makasar, Padang dansebagainya, dramawan Surabaya hanyalah Akhudiat. Barangkali pula ini pernyataan yang perlu direnungkan Akhudiat, ketika Rendra (alm), Putu Wijaya, Arifin C Noer (alm), Landung Simatupang, Riantiarno, Teguh Karya (alm), Slamet Raharjo, Suyatna Anirun (alm) bersemangat mentransfer spirit teaternya pada anak-anak didiknya, lantas apakah Akhudiat tidak mengalami kegetiran melihat teater Surabaya sedemikian nelangsa?
 
Di tahun 1990 sejarah teater sebagai tontonan pun menempatkan kelompok-kelompok seperti Teater Ragilnya Meimura dan Teater API cukup disegani, setidaknya juga dalam hal keras kepalanya pada proses berteater. Pada era-era itu sebetulnya banyak orang berharap pada sosok sutradara muda yang gemilang Zaenuri, ketika drama Nyai Adipati memukau para kritikus teater dalam ajang bergengsi Temu Teater Indonesia 1993. Belum lagi, puluhan komunitas teater lain di luar daerah terus mencari diri dalam setiap pertunjukkannya, keras kepala menemukan estetika dan bentuk pengucapan bahasa-bahasa teaternya sendiri pula.
 
Teater di Jogjakarta munculnya teater Garasi yang dipelopori Yudi Ahmad Tajudin, bermula dari kampus UGM menarik untuk disimak sebagai teater yang “sangat modern” meninggalkan jauh kelompok-kelompok teater “modern” yang marak sisa peninggalan gaya Mataram dari Teater Dinasti dan Bengkel Teater Rendra dan sebagian lagi teater sampakan yang “diimpor” dari Surabaya. Solo saya kira tidak banyak yang bisa saya catat selain belum bergesernya dari puncak pencapaian estetika Teater Gapitnya almarhum Bambang Widoyo SP, meski perlu Teater Ruangnya Joko Bibit terus mengekplorasi diri.
 
Jelas, kegetiran ini bukan mustahil nantinya bakal jatuh pada usaha-usaha pencapaian Putu Wijaya juga WS Rendra sebagai monumen -hal yang amat menakutkan dan menjadi bencana dari proses pemahaman dan proses kebudayaan bangsa ini. Yaitu, miskinnya memahami, mengetahui, menggali dan mengembangkan puncak orisinalitas gagasan tokoh semacam Putu Wijaya dan juga Rendra. Kiranya, kegelisahan Putu Wijaya atas generasi masa kini atas WS Rendra juga demikian dalam monolog Burung Merak ini. Betapa Putu ingin menebar dan menyebar seluas-luasnya gagasan kebudayaan maestro dunia teater yang bukan kebetulan lahir dan besar di negeri ini -meskipun negeri ini kiranya lebih banyak membonsai hidup Rendra ketimbang mengukuhkannya. Setidaknya terungkap dari pengakuan Putu Wijaya dari pernyataan Hardi dan Adnan Buyung Nasution atas nasib pahit yang di alami WS Rendra. Dari balik jeruji sel zaman Orde Baru, Rendra pernah berkirim surat agar Hardi, Buyung Nasution, dan Ajip Rosidi membantu kesejahteraan keluarganya. Rendra pun mengajukan diri menjual lukisan Hardi agar berbalas komisi.
 
Karena itu, lebih bijak bagi kita untuk tidak menjadikan Putu Wijaya, WS Rendra atau siapapun menjadi monumen teater atau kebudayaan bila telah tahu hanyalah menjadikan kegetiran kita berlarut-larut, berlarat-larat. Punya semangat tapi justru mengebirinya. Punya spirit dan potensi namun malah membunuhnya. Fatalnya, tidak semua diantara kita ini yang menyadari hal ini. Yang terjadi malah sebaliknya, justru merasa senang manakala sesuatu telah menjadikan diri kita ini sebagai monumen hidup, sebelum kematiannya. Hidup yang tidak melakukan apapun demi kualitas hidup lebih baik atas spirit yang sebetulnya ia punya. Hidup yang telah dimatikan, juga oleh dirinya sendiri- satu hal yang jelas dari pertunjukan Burung Merak, tengah berusaha diperangi oleh Putu Wijaya.
 
Menonton pertunjukkan besar dari maesenas teater Putu Wijaya sungguh diliputi suatu kegaguman. Sekaligus menahan kegetiran yang dari tahun demi tahun terus terjadi dan berlalu begitu saja. Betapa Surabaya tetap menjadi penonton yang dahsyat bagi Teater Indonesia dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Hanya sebagai penonton. []

*) Penulis adalah pengarang, Pimpinan Komunitas Teater Keluarga?Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga–. Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach,The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya. http://ahmad-sujai.blogspot.com/ http://sastra-indonesia.com/2010/01/kegetiran-di-balik-teater-%E2%80%9Cburung-merak%E2%80%9D/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar