Tuesday, February 23, 2021

Saat Menjadi (Orang) Tua

Beni Setia
suarakarya-online.com
 
KESAN sastrawi yang spontan muncul saat membaca 269 puisi Aspar Paturusi (AP) yang dikumpulkan dalam Badik (Garis Warna Indonesia, Jakarta, 2011)-dan 5 puisi antaranya dimuat di Suara Karya (Sabtu, 18/6/ 2011)-adalah pola berkreasi dan berkesenian yang penuh liukan dan lonjakan, yang dirumuskan Taufik Ismail sebagai “menggenggam semuanya … yang tak perlu ditanyakan lagi lakekomaE.” Setidaknya di paruh kedua dekade 1970-an-lebih terpatnya: 1976 dan 1977-, AP menggebrak dan membuat khazanah sastra Indonesia terperangah dengan kehadiran dua novelnya, Arus dan Pulau.
 
Kehadiran berturut turut dari novel yang di rumuskan Maman S Mahayana sebagai novel yang bersemangat keterpencilan dan kesadaran eksotik dari lingkungan pulau terpencil. Tapi ketika saya berharap muncul novel lain, AP malahan bersuntuk dengan teater, dan menggebrak Jakarta cq TIM dengan pementasan “Samindara” (1982), “Perahu Nuh II” (1985-dan kemudian repertoar ini dipentaskan lagi di acara Festival Istiqlal, 1995). Kemudian “Jihadunafsi” dipentaskan di Makasar 1986.
 
Dan, dalam rangka mengisi kegiatan ulangtahunnya di Makassar bulan April lalu, penyair kelahiran Bulukumba 1943 ini me-launching kumpulan puisi Badik, yang terdiri dari 269 puisi.
 
KEMUNCULAN puisi yang kemudian dikumpulkan dalam Badik ini tergolong unik, karena bersimula dari kesibukan AP menghiasai akun FB-nya dengan sepasang puisi: yang lama di sisi yang baru. Terus rutin dikerjakan, sehingga terus diikuti serta diapresiasi-Helmi D. Acmad mendokumentasikannya dalam versi printed terbatas, yang mendorong AP untuk membukukannya. Bahkan apresiasi Maman S. Mahayana, dan jadi kata pengantar dalam Badik pun bersipat fana khas FB, hanya menjangkau di tampilan ke-100 dari sepasang puisi AP. Meski dalam Badik itu puisi ke-204, dengan 65 lagi puisi baru. Mungkin pola penampilan sepasang puisi: baru dan lama, membuat kita kehilangan orientasi waktu akan momen penciptaan puisi AP. Meski, sebenarnya, bisa ditelusuri kalau kita melakukan penelitian yang lebih cermat.
 
Ada dua tema besar dalam Badik, yakni kesadaran telah berumur dan mengalami banyak peristiwa-dan peristiwa itu dicatatnya dengan puisi, baik yang fisikal macam “Makassar”, “Pak Tua dan Jam Tua”, “Tanjung Bira”, dan banyak lagi; ataupun yang subtil mengabadikan penerusan nilai religius secara budaya dan merasakan bagaimana nilai-nilai berganti atau ambruk seperti yang ditunjukkan puisi-puisi “Tidurlah Tidur”, “Gedung Pengadilan”, dan terutama “Badik”. Puisi bernas yang dijadikan judul buku kumpulan puisinya, karena itu saya akan mengapresiasinya sebagai titik tolak untuk menandai keistimewaan Badik. Dan titik tolak untuk memahami itu adalah stereotype diksi “badik”. Tema yang mengandaikan dua hal. Pertama, jenis dan komunitas etnik tertentu, yang sangat mempertahankan dan membela kehormatan (sirri) dengan tidak segan bertindak keras dengan memakai badik. Kedua, eksistensi alat bersitarung yang merupakan perpanjangan keinginan menegakkan kehormatan.
 
Dan justru dari asumsi itulah AP tergerak untuk menulis puisi “Badik”, sebuah kesadaran untuk tak lagi bersikukuh dengan ikon yang bersipat lahiriah serta teramat memancarkan aura keras itu, dan berbalik reflektif ke dalam diri hingga menemukan hakekat dari ada dan bagaimana memanifestasikan ada dengan acuan nilai nan Islami, rachmatan lil alamin. Kita simak rumusan reorientasi AP setelah varian lahiriah dan aura keras tersebut dieliminasinya: ” … kukuh tegak di hati / … bernama badik iman / pamornya berukir takwa // … / tak ada darah di tajam ujungnya / hanya berhias cinta kasih / senyum buat saudara seiman // … berpamor takwa / …/// Sebuah reorientasi yang membuat saya mengidentifikasinya sebagai cara memaknai gejala hidup dengan kemahfuman, saat semua hal ditinjau oleh “kesadaran telah berlalu”, hanya kuasa buat direfleksi serta terbukti ada beberapa yang merupakan tindakan menggelikan-hanya impuls kemudaan. Respons yang tak lagi berpusat pada ego, tak lagi pada cara orang lain mengakui, menghormati kedirian, dan lebih mengandaikan pada “sisa waktu yang ada dan bagaimana bertindak idealis di sisa waktu yang tak banyak itu”.
 
Orang Jawa menyebut itu sebagai Ilmu (orang) Tua, kesadaran bahwa tujuan ada (hidup) di dunia ini bukan di segala sesuatu yang bersipat duniawi tapi bersipat ilahiah sesudah mati-dengan “punya bekal saat melakoni mati”. Formulasi itu kekuatan puisi “Gedung Pengadilan”, yang menguraikan kesan seorang tua yang resah mengunjungi gedung pengadilan, karena ingin melihat bagaimana kebenaran ditegakkan dan segala kesalahan diperbaiki dengan penghukuman, dan bersitemu dengan debat kusir hukum: di mana asumsi “kesalahan diluruskan kebenaran” itu tidak ditegakkan, malah hanya dijadikan obyek debat kusir-sebagai persoalan yang kelabu dan tidak dipertahankan hitam dan putih. Karena itu hukum manusia selalu bertahan di wilayah abu-abu, dan AP memilih ke luar dari hal duniawi, memasuki hakekat agamawi yang membedakan yang benar dan yang salah dengan tegas-sekaligus berduka karena kebenaran itu tak mungkin ditegakkan di dunia.
 
Menjadi orang ikhlas, yang menikmati ketakberdayaannya dan menjadi si yang dimulyakan Allah SWT karena bisa “menggaji” orang yang berkuasa serta sok amat bersikuasa dengan kekuatan otot, jabatan, dan uang-seperti yang diperlihatkan dalam puisi “Warung Daeng Kanang”. Itu puisi nan berterang-dan ciri puisi AP adalah diksi berterang meski tak terang-terangan-tentang jagat rohani orang kecil yang menikmati kekecilannya dengan keikhlasan, dan karenanya menjadi lebih besar dari orang yang punya posisi, jabatan serta kekuasan. Ada ironi dalam bait terakhir puisi itu: “warung kecil daeng kanang / saat bayar utang pungutan / ia ikut menggaji pemimpin”. Meski warung itu cuma ikon: “… bermodalkan utang demi utang // … tetap tangguh / dalam rengkuhan kemiskinan”.
 
KALAU selama ini kita selalu mengaitkan sastra yang memotret realisme sosial dengan diskriminatif menunjuk siapa yang brengsek, siapa yang menjadi korban, dan ajakan untuk melawan kesiberengsekan itu dengan advokasi hukum serta penyadaran politik, AP justru bersigerak dari sisi religius agamawi.
 
Dalam puisi “Warung Daeng Kanang” AP membuat penekanan rohani dengan penggarisan di cara menerima takdir dan bagaimana usaha mengatasi takdir itu dengan iktiar, dan kalau Allah SWT tidak memperkenankan perubahan takdir maka kita harus menerimanya dengan ikhlas, dan berbahagia dalam ulakan coba derita sambil berpegang pada tali Allah. Itu inti hidup, dan karenanya AP melakukan pilihan: hukum Allah dan bukan hukum dunia-seperti yang tegas diungkapkannya dalam puisi “Gedung Pengadilan”.
 
Karena itu AP mengajak menempuh kehidupan istiqomah, memilih tabah dalam kesengsaraaan dan ketaknyaman asal tetap berpegang pada tali Allah, serta biar orang bersipongang membanggakan kejayaannya di masa kini, karena hakekat kemuliaan kesejarahan kemanusiaan seorang insan itu berada di alam setelah hidup, alam akhirat yang menunjukkan macam mana kemuliaan kesejarahan manusia yang hakiki-seperti yang diungkapkan dalam puisi lirih yang intuitif, “Biarlah Sejarah Bicara”. Hidup itu harus istiqomah, reflektif tertuju ke alam setelah mati dengan momen kematian yang kian merapat, karenanya intens dengan keberadaan tali Allah dan selalu mengikatkan tali Allah itu pada seluruh anggota keluarga. Dimensi itulah yang membuat romantika sentimentil piknik keluarga di Pantai Losari (Makasar) dalam puisi “Pada Suatu Sore” tidak sekedar nostalgia remaja-bersiduaan di dekade 1960-an atau 1970-an.
 
Sebuah varian puisi religius yang unik-dan sekaligus pencapaian itu membuat saya agak takut: tiba-tiba ekplorasi seni AP berubah lagi. Atau harus membiarkan AP melakukan eksplorasi serta menampilkan hasil eksploitasi seni yang lain? Apaan tuh? Walahualam-cuma Allah SWT yang tahu. Insya Allah.
***

*) Beni Setia, pengarang. 2 Juli 2011 http://sastra-indonesia.com/2011/07/saat-menjadi-orang-tua/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar