Tuesday, February 23, 2021

SASTRAWAN, IBU KANDUNG SANG GURU ZAMAN

Sri Wintala Achmad
 
Nut jaman kelakone (Menyelaraskan dengan zaman yang terjadi). Demikian ungkapan para sesepuh Jawa yang sering penulis dengar, manakala memberikan saran kepada generasinya atas perkembangan zaman. Diibaratkan seorang biduan, generasi yang berhasil di dalam membawakan lagu kehidupan hingga nada terakhir (kematian)-nya harus mampu menyesuaikan irama zaman. Laikkah ungkapan semacam itu dijadikan orientasi oleh setiap manusia tanpa kecuali selama menjalani profesinya?
 
Persepsi tersebut selanjutnya akan penulis jadikan rujukan untuk menilik kehidupan para sastrawan Indonesia selama menjalani profesinya di bidang sastra. Tidak hanya kaum novelis atau cerpenis. Melainkan pula bangsa penyair yang puisi- puisinya kian hari dianak-tirikan oleh media massa dan penerbit. Tidak hanya mereka yang tingggal di pusat (baca: Jakarta). Akan tetapi mereka yang masih setia tinggal di daerah, seperti di Yogyakarta, Bandung, Malang, Lampung, Makasar, Bali dll.
 
Para sastrawan boleh bangga manakala kehidupan sastra tidak hanya ditopang oleh banyak media massa. Para pengusaha penerbit pun mulai membuka tangan untuk mempublikasikan karya sastra, terutama yang berbau teenlit atau ciklit. Lantaran karya-karya yang cenderung bersifat rekreatif tersebut amat diminati publik. Sebagaimana sinetron, lawak, atau entertainment lain yang ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi baik nasional maupun lokal di Indonesia.
 
Lebih membanggakan lagi, karya sastra tidak melulu ditulis oleh para sastrawan. Fakta menunjukkan banyak kaum selebritis tertarik menulis karya sastra untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Hingga kesan yang muncul di permukaan, kehidupan sastra di Indonesia menghiruk-pikuk sebagaimana lalu-lalang kendaraan di Jakarta. Saling berburu dan mendahului. Demi ambisi mengambil posisi di garis depan. Meskipun itu harus ditempuh melalui jalan pintas yang sangat insant.
 
Fenomena kegairahan sebagian sastrawan atau kaum selebritis di dalam mendukung perkembangan sastra teenlit atau ciklit sesungguh bukan masalah. Di zaman yang tengah sarat persoalan politik, ekonomi, dan bahkan bencana alam, sastra teenlit atau ciklit berpotensi besar sebagai angin segar buat mengendorkan otak di kepala. Publik sudah butuh rekreasi, harapan dan mimpi baru yang berkhasiat buat mengalpakan sejenak segala persoalan.
 
Kemelut krisis politik, ekonomi, dan bencana alam yang melanda kehidupan manusia di tahun anjing ini telah ditangkap para produsen (baca: penulis) sastra teenlit atau ciklit sebagai peluang emas dalam menggali sumber penghasilan alternatif atau eksistensi. Lantaran banyak penerbit bersedia mempublikasikan (medistribusikan) karya-karya semacam itu di pasaran. Jangan heran kemudian kalau kita memasuki toko buku, karya-karya teenlit dan ciklit yang dilahirkan oleh sebagian sastrawan atau kaum seleberitis, serta penulis new comer mendominasi rak-rak sastra!
 
Sekali lagi bukan masalah! Dikarenakan hal itu merupakan upah mereka yang mampu membaca peluang dari dalam angkutan zaman di tengah kesemrawutan lalu-lintas kehidupan. Akan tetapi hal menarik untuk digali dari balik persoalan tersebut, yakni motivasi apa yang melatar-belakangi para produsen sastra teenlit atau ciklit? Jenang (kebutuhan ekonomis)? Jeneng (popularitas)? Keduanya? Atau motivasi lain, di mana penulis tidak mampu menangkapnya?
 
Suatu pertanyaaan membutuhkan jawaban. Sekalipun penulis sadar, bahwa terdapat pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Lantaran pertanyaan itu sudah mengandung jawabannya. Sembari menunggu jawaban, penulis akan menguraikan tiga motivasi dasar yang melatar-belakangi seorang penulis sastra melahirkan karya-karyanya, yakni: jenang, jeneng, dan idealisme.
 
Pertama, jenang (kebutuhan ekonomis). Motivasi ini menjadi pemicu penulis sastra di dalam menciptakan karya-karyanya, manakala kebutuhan ekonomi diposisikan lebih tinggi dari ambisi popularitas dan nilai kualitatif karya. Karenanya, penulis tersebut harus jeli di dalam menyesuaikan tema karya dengan selera pasar. Alhasil, karya yang diciptakan tidak sekadar sebagai penghuni manis sebuah laci, melainkan rak-rak buku sastra di toko buku. Di sana, penulis berharap karya-karya yang dibukukan dengan kemasan cover dan judul memikat itu agar dibeli dan dibaca konsumennya.
 
Kedua, jeneng (popularitas). Motivasi ini biasanya melatar-belakangi para penulis yang lebih berorientasi pada faktor popularitas ketimbang ekonomi atau idealisme. Mengingat kebutuhan ekonomis mereka sudah tercukupi. Bahkan untuk menopang pempublikasian karya yang diharapkan mampu melejitkan popularitas di ruang publik, mereka tidak tanggung-tanggung merogoh kocek dari dompet.
 
Ketiga, idealialisme. Motivasi ini biasanya dimiliki oleh sebagian sastrawan yang cenderung memperjuangkan nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatif karya ketimbang nilai nominal atau pencapaian popularitas. Bagi mereka, karya sastra merupakan prasasti bernilai edukatif di tengah kesemrawutan lalu-lalang kehidupan yang cenderung memanjakan kepuasan fisikal manusia ketimbang pemenuhan kebutuhan spiritual.
 
Selain sebagai media ekspresi atas pengalaman empirik atau imajinatif, karya sastra dapat dijadikan alat pencapaian jeneng, jenang, atau idealisme seorang sastrawan atau penulis sastra. Hingga pendapat orang yang menyatakan karya sastra dengan segala genrenya tidak sekudus ayat-ayat kitab suci dapat dibenarkan. Sekalipun demikian, penulis tetap menghargai motivasi sebagian sastrawan yang menciptakan karya-karya sastra senantiasa berorientasi untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatifnya.
 
Sikap penulis yang menghargai sebagian sastrawan ideal tersebut seyogyanya tidak diartikan dengan menafikan jerih payah para penulis sastra teenlit atau ciklit. Mengingat para sastrawan ideal tersebut telah berjuang secara konsisten di dalam menjaga kemurnian peran sastra sebagai medium edukatif bagi publik. Spirit perjuangan yang terus berkobar di dalam jiwanya senantiasa diposisikan lebih tinggi ketimbang upaya pencapaian popularitas dan ekonomi.
 
Para sastrawan ideal bukan sekelompok pahlawan yang wajib dicatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah tokoh dunia, nasional, atau regional. Namun dari mereka kita termotivasi untuk tetap menjaga darah dan nafas penciptaan karya-karya sastra yang abadi. Dari mereka, kita dapat menentukan motivasi mana yang layak dipilih selama menekuni proses kreatif di bidang sastra.
 
Melalui spirit perjuangan mereka, kita dapat menentukan sikap yang musti mengarahkan karya sastra sebagai guru dan bukan korban zaman (selera pasar). Sikap ini seyogyanya ditempuh, kalau sastrawan tidak mau diklaim sebagai produsen (pabrikan) karya sastra. Akan tetapi, kreator yang senantiasa menciptakan karya-karyanya dengan motivasi untuk selalu mengekspresikan interpretasi baru terhadap pengalaman empirik dan imajinatifnya. Hal ini yang selayaknya diberikan kepada publik manakala zaman dalam kondisi sakit.
 
Irama zaman belum berakhir. Lagu kehidupan manusia masih bergaung. Karya sastra yang ditulis sastrawan atau penulis sastra masih turut mewarnai di dalamnya. Sebagaimana di dalam taman bunga, karya sastra diibaratkan setangkai kembang yang semustinya tidak sekedar menyegarkan saat dinikmati. Karya sastra harus menjadi medium inpirasi edukatif bagi publik. Sekelompok kekupu atau kumbang yang berterbangan merindu madu bunga sastra.
 
Apa yang penulis sampaikan ini hanya sebuah harapan. Agar sastrawan tulen tetap kokoh pada prinsip sebagai ibu kandung sang guru zaman. Bukan korban zaman yang turut memanjakan publik ke dalam bilik harapan atau mimpi berkepanjangan. Bukan penuang alkohol memabukkan bagi publik. Sekelompok insan yang seharusnya tidak diajarkan lari dari realitas, tertawa dengan airmata, atau membusungkan dada sekalipun dengan jiwa koyak.
 
Berdosa!!!
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/sastrawan-ibu-kandung-sang-guru-zaman/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar