(Catatan untuk Tulisan Prof. Teguh Supriyanto)
Aprinus Salam *
Saya mencoba berefleksi berdasarkan ngobrol-ngobrol dan ndobos-ndobos dengan
beberapa teman tentang kekuasaan (Jawa). Kadang ngobrol dan ndobos itu saya
anggap setara dengan sastra lisan. Terdapat beberapa hal yang ingin saya
garisbawahi.
Pertama, biasanya kami berbicara tentang kesaktian sang raja (atau mereka
yang tinggi kedudukannya). Kesaktian itu meliputi ilmu apa saja yang mereka
miliki (terutama ilmu halus seperti tenaga dalam, ilmu kebal, bisa menghilang,
bisa terbang, bisa hadir di beberapa tempat, dsb.), senjata-senjata pusaka yang
dimiliki (berupa keris, tombak, jubah dsb), dan ketrampilan silat/perang
(sebagai ilmu kasar).
Ada juga di antara teman-teman yang membicarakan soal kuliner,
ramuan-ramuan, pengobatan. Ramuan (jamu) ini membuat sehat dan kuat. Raja harus
kuat lahir batin. Ramuan itu merupakan ilmu tua yang dikembangkan oleh kraton,
atau para tabib yang dibiayai kraton.
Kedua, terkait dengan karakter. Kami membicarakan raja yang baik hati,
kejam, culas, santun, suka perempuan (maaf), dermawan, suka bertapa, suka
foya-foya, dan sebagainya. Siapa yang bisa bertahan sebagai raja yang hidup
dengan kebaikan, dan siapa raja yang hidup dengan keculasan. Kisah raja yang
membunuh sambil tersenyum termasuk kisah favorit.
Ketiga, kadang kami membicarakan juga terkait dengan silsilah. Pangeran
atau raja ini anak siapa keturunan yang mana, masih garis langsung atau tidak.
Kenapa ini dibunuh dan kenapa yang lain tidak dibunuh. Bahwa ada yang darahnya
biru kental, ada yang darahnya tidak biru-biru banget. Ada bangsawan kelas
satu, ada bangsawan kelas dua, dan sebagainya. Setelah Diponogoro kalah,
bangsawan kelas satu yang setia ikut menyingkir bersama Pangeran. Yang bertahan
di Kraton mereka yang dianggap bukan bangsawan kelas satu.
Setelah saling bercerita, selalu ada tambahan komen; ngeri pokok e, silakan
percaya silakan tidak, ya gitu itu, banyak hal yang kadang tidak bisa dipahami
secara rasional. Akan tetapi, terlepas kisah atau peristiwa itu sungguh terjadi
atau tidak, banyak cerita tentang masa lalu kita seperti cerita-cerita dalam
dunia persilatan. SH Mintardja termasuk yang paling menonjol mengisahkan itu.
Ketika ngobrol itu, kami juga tidak pernah secara eksplisit menyebut
sumber-sumber. Kadang ada teman yang mengatakan hal itu ada di babad apa gitu,
di serat apa gitu. Ini juga pernah ada dicerita-cerita silat, itu loh SH
Mintardja sudah menceritakannya. Ada juga yang mengatakan ini cuma
cerita-cerita simbah, dsb. Namanya juga berangkat dari common sense.
Nah, hal yang menarik bagi saya adalah kenapa kami selalu membicarakannya
dengan semangat yang sama dan selalu berulang. Bahkan diam-diam kami percaya.
Saya membayangkan, jika ketemu Raja yang dikisahkan seperti itu, kami secara
sukarela akan tunduk dan patuh. Istilahnya tersubjeksi. Jika berjalan mendekat
raja mungkin kami akan laku dhodhok, berjalan sambil jongkok), atau berjalan
sambil merangkak, atau apalah namanya.
Inilah yang biasa disebut bahwa diam-diam kami pun sudah terhegemoni.
Dengan sukarela, kami menghormati kekuasaan Raja. Dengan sukarela, kami
menikmati menjadi bagian dari masyarakat dan budaya Jawa. Kami juga secara
sukarela mengikuti aturan etik menjadi bagian dari masyarakat Jawa. Tentu,
sambil diam-diam membayangkan alangkah nikmatnya menjadi Raja.
Persoalannya, bagaimana hegemoni dimungkinkan? Bagaimana kekuasaan Jawa
menjadi demikian hegemonik?
Pertama, terjadinya hegemoni itu membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Ini sama dengan semacam pewarisan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Para
pemikir zaman dulu sudah mempersoalkan bahwa seolah kehidupan manusia dibagi
dalam tiga strata; para satria (pemimpin, pemikir, dan yang membuat banyak
aturan), pekerja, dan pelayan (dengan padanan Kepala, Dada, dan Perut).
Mereka yang percaya dengan kondisi dan keberadaan sosialnya, partisi sosial
itu dianggap semacam nasib atau takdir. Dalam posisi yang lain, struktur dan
hierarki sosial itu dilihat sebagai konstruksi sosial.
Namun, berdasarkan realitas struktur sosial, kehidupan manusia dikondisikan
dalam posisi dan tanggung jawab yang “seolah” berbeda-beda, mungkin karena
sejarah membawa hidup seseorang pada posisi sebagai abdi, dan sebaliknya
sebagai pangeran. Kenyataan-kenyataan itu meresap dalam diri manusia untuk
menjadi sebuah keyakinan.
Kedua, struktur dan hierarki sosial, politik, dan ekonomi membuat
pihak-pihak yang mendapat kesempatan lebih luas akan memapankan atau
melegitimasi posisinya. Tentu selalu ada pengecualian. Dalam sejarah Jawa yang
lebih awal, terdapat subjek-subjek yang berusaha keras, dalam berbagai cara,
untuk menerobos partisi sosial, hingga mendapat kedudukan penting. Selalu ada selipan
kisah sosok lembu peteng.
Para penerusnya, dengan bantuan intelektual tradisionalnya, terus menerus
mengelola cerita, tradisi (kebiasaan) dan ritual-ritual untuk memapankan
kekuasaan tersebut. Cerita-cerita dan berbagai ritual tersebut (sebagian besar
tentu berupa mitos-mitos) yang hingga hari-hari ini kami percaya sebagai
mungkin-mungkin saja. Toh, tidak ada juga alasan untuk menganggap cerita
seperti itu sebagai bualan.
Ketiga, hal yang penting dari cerita-cerita seperti itu adalah kisah
tentang pengelolaan logika dan hal-hal hukum alam (terkait dengan hukum fisika
dan kimia). Artinya, proses hegemoni juga membutuhkan sesuatu itu masuk akal
(logis-rasional) dan bagaimana mendapat dukungan untuk “menjelaskan” kejadian
mengatasi hukum alam, seperti manusia bisa terbang, bisa menghilang, bisa hadir
di beberapa tempat, bisa memukul jarak jauh, dan sebagainya.
Bergayut dengan itu, kapitalisme dan modernisme, dengan dukungan ilmu,
pengetahuan, dan teknologi terus menerus berkembang. Formulasi dalam menjalani
kehidupan, siapa yang bekerja keras dan disiplin, akan mendapatkan kehidupan
yang lebih baik. Banyak hal, kita hidup secara modern dengan menjalankan
hukum-hukum kapital dan modern.
Iptek menjadikan hukum alam dapat diatasi. Kini, orang bisa terbang, hadir
di beberapa tempat, memukul jarak jauh, mengatasi penyakit. Dengan cara
mengatasi hukum alam secara berbeda, hal itu juga dapat dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kesaktian. Mereka menempuh laku, semedi, bertapa,
berlatih keras, melakukan berbagai uji coba mantra dan rapal, latihan
pernapasan, latihan tenaga dalam, yang biasa disebut sebagai teknologisasi
diri. Karena akses yang terbuka, biasanya mereka-mereka itu para tokoh atau
para pemimpin (raja dan para pangeran).
Cerita-cerita silat sangat mendukung hal itu. Dalam arti, disadari atau
tidak, cerita silat menjadi bagian dan instrumen ideologisasi untuk
melegitimasi keabsahan kekuasaan. Walaupun cerita silat akan menampilkan
formasi ideologi, dengan varian relasinya, namun ujung-ujungnya, terdapat
ideologi dominan yang melegitimasi kekuasaan.
Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa hegemoni bukan cara, tetapi semacam
hasil dari suatu proses mengelola hukum-hukum logis dan alam tersebut, ke dalam
berbagai bentuk cerita, dan berbagai hal naratif lainnya. Cerita-cerita
tersebut meresap ke dalam diri mereka yang terlibat di dalamnya, bukan sekedar
sebagai pengetahuan, tetapi lebih daripada itu menjadi suatu
kepercayaan/keyakinan.
Kasus Kanjeng Ratu Kidul, khadam (semacam jin) yang hidup dalam sebilah
keris, misalnya, banyak orang Jawa meyakininya ada, walaupun tidak pernah bisa
membuktikan ke-ada-annya. Dalam praktik yang berbeda-beda, ini semacam
post-truth tradisional. Di zaman modern, kita juga mengalami banyak post-truth.
Batas antara fakta dan fiksi berbaur. Batas antara hoaks dan tidak hoaks tidak
lagi menjadi penting.
Konstruksi kekuasaan, praktik kekuasaan, dan mereka yang di dalam sistem
kekuasaan itu, semuanya terhegemoni. Bedanya, dalam posisi yang berbeda-beda,
mereka mengelola wacana dan ideologi dominan untuk keperluan, kepentingan, dan
tujuan masing-masing. Termasuk diskusi kita kali ini.
***
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965.
Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat
Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016).
Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program
Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3
Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM,
lulus 2010). http://sastra-indonesia.com/2021/02/memahami-kekuasaan-yang-hegemonik/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment