Tuesday, February 23, 2021

MEMAHAMI KEKUASAAN YANG HEGEMONIK

(Catatan untuk Tulisan Prof. Teguh Supriyanto)
 
Aprinus Salam *
 
Saya mencoba berefleksi berdasarkan ngobrol-ngobrol dan ndobos-ndobos dengan beberapa teman tentang kekuasaan (Jawa). Kadang ngobrol dan ndobos itu saya anggap setara dengan sastra lisan. Terdapat beberapa hal yang ingin saya garisbawahi.
 
Pertama, biasanya kami berbicara tentang kesaktian sang raja (atau mereka yang tinggi kedudukannya). Kesaktian itu meliputi ilmu apa saja yang mereka miliki (terutama ilmu halus seperti tenaga dalam, ilmu kebal, bisa menghilang, bisa terbang, bisa hadir di beberapa tempat, dsb.), senjata-senjata pusaka yang dimiliki (berupa keris, tombak, jubah dsb), dan ketrampilan silat/perang (sebagai ilmu kasar).
 
Ada juga di antara teman-teman yang membicarakan soal kuliner, ramuan-ramuan, pengobatan. Ramuan (jamu) ini membuat sehat dan kuat. Raja harus kuat lahir batin. Ramuan itu merupakan ilmu tua yang dikembangkan oleh kraton, atau para tabib yang dibiayai kraton.
 
Kedua, terkait dengan karakter. Kami membicarakan raja yang baik hati, kejam, culas, santun, suka perempuan (maaf), dermawan, suka bertapa, suka foya-foya, dan sebagainya. Siapa yang bisa bertahan sebagai raja yang hidup dengan kebaikan, dan siapa raja yang hidup dengan keculasan. Kisah raja yang membunuh sambil tersenyum termasuk kisah favorit.
 
Ketiga, kadang kami membicarakan juga terkait dengan silsilah. Pangeran atau raja ini anak siapa keturunan yang mana, masih garis langsung atau tidak. Kenapa ini dibunuh dan kenapa yang lain tidak dibunuh. Bahwa ada yang darahnya biru kental, ada yang darahnya tidak biru-biru banget. Ada bangsawan kelas satu, ada bangsawan kelas dua, dan sebagainya. Setelah Diponogoro kalah, bangsawan kelas satu yang setia ikut menyingkir bersama Pangeran. Yang bertahan di Kraton mereka yang dianggap bukan bangsawan kelas satu.
 
Setelah saling bercerita, selalu ada tambahan komen; ngeri pokok e, silakan percaya silakan tidak, ya gitu itu, banyak hal yang kadang tidak bisa dipahami secara rasional. Akan tetapi, terlepas kisah atau peristiwa itu sungguh terjadi atau tidak, banyak cerita tentang masa lalu kita seperti cerita-cerita dalam dunia persilatan. SH Mintardja termasuk yang paling menonjol mengisahkan itu.
 
Ketika ngobrol itu, kami juga tidak pernah secara eksplisit menyebut sumber-sumber. Kadang ada teman yang mengatakan hal itu ada di babad apa gitu, di serat apa gitu. Ini juga pernah ada dicerita-cerita silat, itu loh SH Mintardja sudah menceritakannya. Ada juga yang mengatakan ini cuma cerita-cerita simbah, dsb. Namanya juga berangkat dari common sense.
 
Nah, hal yang menarik bagi saya adalah kenapa kami selalu membicarakannya dengan semangat yang sama dan selalu berulang. Bahkan diam-diam kami percaya. Saya membayangkan, jika ketemu Raja yang dikisahkan seperti itu, kami secara sukarela akan tunduk dan patuh. Istilahnya tersubjeksi. Jika berjalan mendekat raja mungkin kami akan laku dhodhok, berjalan sambil jongkok), atau berjalan sambil merangkak, atau apalah namanya.
 
Inilah yang biasa disebut bahwa diam-diam kami pun sudah terhegemoni. Dengan sukarela, kami menghormati kekuasaan Raja. Dengan sukarela, kami menikmati menjadi bagian dari masyarakat dan budaya Jawa. Kami juga secara sukarela mengikuti aturan etik menjadi bagian dari masyarakat Jawa. Tentu, sambil diam-diam membayangkan alangkah nikmatnya menjadi Raja.
 
Persoalannya, bagaimana hegemoni dimungkinkan? Bagaimana kekuasaan Jawa menjadi demikian hegemonik?
 
Pertama, terjadinya hegemoni itu membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Ini sama dengan semacam pewarisan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Para pemikir zaman dulu sudah mempersoalkan bahwa seolah kehidupan manusia dibagi dalam tiga strata; para satria (pemimpin, pemikir, dan yang membuat banyak aturan), pekerja, dan pelayan (dengan padanan Kepala, Dada, dan Perut).
 
Mereka yang percaya dengan kondisi dan keberadaan sosialnya, partisi sosial itu dianggap semacam nasib atau takdir. Dalam posisi yang lain, struktur dan hierarki sosial itu dilihat sebagai konstruksi sosial.
 
Namun, berdasarkan realitas struktur sosial, kehidupan manusia dikondisikan dalam posisi dan tanggung jawab yang “seolah” berbeda-beda, mungkin karena sejarah membawa hidup seseorang pada posisi sebagai abdi, dan sebaliknya sebagai pangeran. Kenyataan-kenyataan itu meresap dalam diri manusia untuk menjadi sebuah keyakinan.
 
Kedua, struktur dan hierarki sosial, politik, dan ekonomi membuat pihak-pihak yang mendapat kesempatan lebih luas akan memapankan atau melegitimasi posisinya. Tentu selalu ada pengecualian. Dalam sejarah Jawa yang lebih awal, terdapat subjek-subjek yang berusaha keras, dalam berbagai cara, untuk menerobos partisi sosial, hingga mendapat kedudukan penting. Selalu ada selipan kisah sosok lembu peteng.
 
Para penerusnya, dengan bantuan intelektual tradisionalnya, terus menerus mengelola cerita, tradisi (kebiasaan) dan ritual-ritual untuk memapankan kekuasaan tersebut. Cerita-cerita dan berbagai ritual tersebut (sebagian besar tentu berupa mitos-mitos) yang hingga hari-hari ini kami percaya sebagai mungkin-mungkin saja. Toh, tidak ada juga alasan untuk menganggap cerita seperti itu sebagai bualan.
 
Ketiga, hal yang penting dari cerita-cerita seperti itu adalah kisah tentang pengelolaan logika dan hal-hal hukum alam (terkait dengan hukum fisika dan kimia). Artinya, proses hegemoni juga membutuhkan sesuatu itu masuk akal (logis-rasional) dan bagaimana mendapat dukungan untuk “menjelaskan” kejadian mengatasi hukum alam, seperti manusia bisa terbang, bisa menghilang, bisa hadir di beberapa tempat, bisa memukul jarak jauh, dan sebagainya.
 
Bergayut dengan itu, kapitalisme dan modernisme, dengan dukungan ilmu, pengetahuan, dan teknologi terus menerus berkembang. Formulasi dalam menjalani kehidupan, siapa yang bekerja keras dan disiplin, akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Banyak hal, kita hidup secara modern dengan menjalankan hukum-hukum kapital dan modern.
 
Iptek menjadikan hukum alam dapat diatasi. Kini, orang bisa terbang, hadir di beberapa tempat, memukul jarak jauh, mengatasi penyakit. Dengan cara mengatasi hukum alam secara berbeda, hal itu juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesaktian. Mereka menempuh laku, semedi, bertapa, berlatih keras, melakukan berbagai uji coba mantra dan rapal, latihan pernapasan, latihan tenaga dalam, yang biasa disebut sebagai teknologisasi diri. Karena akses yang terbuka, biasanya mereka-mereka itu para tokoh atau para pemimpin (raja dan para pangeran).
 
Cerita-cerita silat sangat mendukung hal itu. Dalam arti, disadari atau tidak, cerita silat menjadi bagian dan instrumen ideologisasi untuk melegitimasi keabsahan kekuasaan. Walaupun cerita silat akan menampilkan formasi ideologi, dengan varian relasinya, namun ujung-ujungnya, terdapat ideologi dominan yang melegitimasi kekuasaan.
 
Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa hegemoni bukan cara, tetapi semacam hasil dari suatu proses mengelola hukum-hukum logis dan alam tersebut, ke dalam berbagai bentuk cerita, dan berbagai hal naratif lainnya. Cerita-cerita tersebut meresap ke dalam diri mereka yang terlibat di dalamnya, bukan sekedar sebagai pengetahuan, tetapi lebih daripada itu menjadi suatu kepercayaan/keyakinan.
 
Kasus Kanjeng Ratu Kidul, khadam (semacam jin) yang hidup dalam sebilah keris, misalnya, banyak orang Jawa meyakininya ada, walaupun tidak pernah bisa membuktikan ke-ada-annya. Dalam praktik yang berbeda-beda, ini semacam post-truth tradisional. Di zaman modern, kita juga mengalami banyak post-truth. Batas antara fakta dan fiksi berbaur. Batas antara hoaks dan tidak hoaks tidak lagi menjadi penting.
 
Konstruksi kekuasaan, praktik kekuasaan, dan mereka yang di dalam sistem kekuasaan itu, semuanya terhegemoni. Bedanya, dalam posisi yang berbeda-beda, mereka mengelola wacana dan ideologi dominan untuk keperluan, kepentingan, dan tujuan masing-masing. Termasuk diskusi kita kali ini.
***
 
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). http://sastra-indonesia.com/2021/02/memahami-kekuasaan-yang-hegemonik/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar