Tuesday, February 23, 2021

KEMBARA ATTAR

 Taufiq Wr. Hidayat *
 
Waktu seolah sungai maha besar. Sungai itu memiliki kedalaman yang tak terjelaskan, keluasan yang tak terpahamkan. Dan tak ada yang tahu, apa di kedalaman air yang misterius itu. Apa saja tenggelam ke dalam sungai tanpa diketahui nasibnya. Tetapi ada pula yang terapung-apung, berenang ke sana ke mari. Sungai maha besar itu mengalir, alirannya deras namun tenang, arusnya mematikan, gelombangnya menakutkan. Sungai itu tanpa dasar, tanpa tepian, tanpa batasan. Manusia hanya bisa mengaliri sungai waktu itu dengan perahu, seperti Nabi Nuh. Dan bagi Nietzsche, perahu itu harus senantiasa diperbaharui guna menghadapi segala kemungkinan tak terduga dalam pelayaran yang tak akan pernah menuju tepian. Para pemikir Islam seakan menangkap apa yang kelak dipikirkan Nietzsche perihal perahu tersebut, sehingga mereka menamainya “safinah” sebagaimana pesan utusan Tuhan. Bahwa menurut Muhammad sang nabi, perahu itu mestilah senantiasa dibongkar-pasang terus menerus untuk menghadapi kedalaman samudera. “Jadidis safinanata fainnal bakhra ‘amiq,” bisiknya.
 
Mari kita lupakan dulu Nietzsche. Dalam "Bahasa Burung-burung"-nya yang mashur, Fariduddin Attar menuliskan kembara burung-burung mengarungi abad-abad yang sibuk, ribut, palsu, perang, wabah, dan penderitaan. Para burung itu melakukan pengembaraan suci mencari sang sejati, yakni burung yang paling hebat, raja dari segala burung. Itulah burung sejati yang tak akan pernah selesai dikenali, tak mungkin selesai dicari-cari dan ingin ditemui.
 
Bagi Attar, keimanan pada yang maha ada tak mengharuskan Dia harus ada. Atau dengan kata lain, Dia tak harus hadir. Lantaran ada dan tak ada, hadir dan tak hadir hanyalah keharusan bagi makhluk. Bukan bagi-Nya. Dia yang tak harus, juga yang harus. Tak terjelaskan oleh keharusan dan ketidakharusan, ke-ada-an dan ketidak-adaan, kehadiran dan ketidakhadiran. “Tan kena kinaya ngapa,” kata orang Jawa. Dan dalam kerinduan yang pekat, Dia yang dirindukan itu, melampaui ada atau tidak ada, melewati segala batas kehadiran atau ketidakhadiran. Dia harus ada, tapi Dia belaka yang tak harus ada, Dia yang harus hadir, namun Dia jua yang tak harus hadir. Dan rindu itu sesungguhnya hanya tiba pada dirinya sendiri, mustahil sampai pada-Nya. Namun pecinta yang sejati, mustahil berhenti mencintai meski harus melewati kemuskilan dan kemustahilan. Lantaran mustahil dan tak mustahil hanya berada dalam pandangan-pandangan. Ia terus mencintai, mencari, dan merindukan meski mengembarai atau menempuh kemustahilan. Ia berikrar dan berupaya menyeberangi segala kemustahilan. Bagi Attar, begitulah iman. Dan begitulah nilai-nilai kemanusiaan itu dihidupkan, dijaga, dan dikerjakan dalam kehidupan.
 
Iman itu kemudian menguatkan dan mengutuhkan penerimaan kehidupan. Hidup yang diimani sebagai karunia. Tetapi juga cobaan. Lantaran yang lolos dari cobaan atau yang sanggup melampaui kemustahilan yang sesungguhnya hanya hinggap dalam pandangan-pandangan, mencicipi lezatnya keimanan bagai Bima mereguk "tirta prawitasari" di kedalaman samudera “tanpo dasar tanpo tinepi”. Kesadaran hidup yang tak hanya untuk hidup, tetapi hidup yang sanggup menerima kehidupan. Seseorang kenyang, yang lainnya lapar biarkan, seseorang selamat, yang lainnya celaka terserah, seseorang senang, yang lainnya menderita lupakan. Begitu---bagi Attar, hidup yang tak menerima kehidupan. Maka di situ, kebahagiaan yang ingin diwujudkan dalam ritus-ritus agama atau spiritualitas, cuma omong kosong dan tai kucing. Namun sedalam apa seseorang merasakan dan meringankan penderitaan, itu sesungguh keimanan. Ia melewati kemustahilan. Jika mustahil seseorang berkorban buat orang lain, ia melakukannya. Melewati kemustahilan itu dengan bahagia, tulus, dan seyakin-yakinnya.
 
Konon Attar menulis "Manthiqu't Thair"nya dalam 3 tahun (1184-1187), ia tewas dipenggal serdadu Jenghis Khan di usia lebih seabad lantaran perlawanannya yang keras kepala pada kekuasaan dan kebakhilan. Attar dijuluki "sauthus salikin" (pelecut para "pesuluk"/pejalan iman). Sastrawan Indonesia, Hartojo Andangdjaja, menerjemah "Manthiqu't Thair" Attar yang agung itu dari "The Conference of The Birds" C.S. Nott. Attar membangun 7 ngarai dalam penerbangan para burung itu, yakni Ngarai Pencarian, Ngarai Cinta, Ngarai Insaf, Ngarai Kebebasan dan Keterlepasan, Ngarai Keesaan, Ngarai Keheranan dan Kebingungan, Ngarai yang Terampas dan Kematian. Dalam sastra Attar yang mashur, burung-burung mengendarai angin dengan sayapnya, melesat ke mana saja, bebas bagai ruh. Sang raja burung yang dicari, dikisahkan berwajah dan berbentuk sama dengan para burung yang mencarinya. Simurgh adalah nama si raja burung dalam fabel kuno tersebut, memiliki bayang-bayang yang bayang-bayangnya adalah para burung yang mencarinya. Seperti Bagong, bayang-bayang Semar yang bukan Semar. Seperti manusia, bayang-bayang Tuhan yang bukan Tuhan.
 
Dialah hamba. Maka hamba sejatinya Dia. Meski hamba niscaya bukanlah Dia. Persamaan dan perbedaan yang utuh dalam nama dan sifat, "bahasa rasa" dan hidup. Jika hamba menderita, siapakah yang sesungguhnya menderita kalau bukan Dia belaka?
 
Tembokrejo, 2021
 
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/02/kembara-attar/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar