Tuesday, February 23, 2021

Memahami Kreativitas Nawal el Saadawi

Jaleswari Pramodhawardani *
Media Indonesia, 22 Nov 2006
 
Konon menurut Tao, seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dalam dan menampung. Dia tidak lasak dan tidak berada di pucuk tertinggi. Karena itu, kepemimpinan yang baik tidak dinilai dari sekadar keberaniannya bertindak, namun terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Termasuk menghargai sebuah kreativitas dan ketidaksepakatan yang berhadapan dengan dirinya.
 
Mungkin almarhum Anwar Sadat, Presiden Mesir saat itu belum mengetahui hal ini. Memang, dunia internasional memberikan penghargaan Nobel Perdamaian (1978) kepadanya. Tetapi ia juga tampaknya sebuah contoh dari apa yang dikatakan Nawal El Saadawi sebagai produk dari sebuah sistem demokrasi Barat yang salah. Kekuasaan kepemimpinannya diterjemahkan tidak lebih dari pusaran kekuatan militer, kekuasaan uang, kepentingan multinasional dan lain-lain.
 
Itulah sebabnya ketika Nawal melalui sebuah artikelnya menunjukkan kontradiksi kebijakan Sadat yang membawa implikasi bagi kehancuran ekonomi dalam negeri dengan meningkatnya jurang antara si miskin dan si kaya dan juga menggambarkan bagaimana Sadat mendorong gerakan fundamentalisme keagamaan di negaranya, hasilnya adalah penjara baginya.
 
Menurutnya, kenyataan pahit itu bukanlah khas Mesir, negaranya, namun juga terjadi di belahan bumi mana pun, seperti yang dikatakannya dalam sebuah wawancaranya.
 
If you really want to change the system, the capitalist system here, or in any country, you will be a dissident and you may land in jail, in prison, as happened to me in Egypt. Now here the system, the establishment is so strong, that writers can not change anything. In Bangladesh, in Egypt, in Africa, you know, you can make a revolution by an article. Sadat put me in prison because of one article I wrote. Just one article.
 
Siapakah Nawal el Saadawi?
 
Dilahirkan pada 1931, dari sebuah keluarga terhormat di Desa Kafr Tahla di daerah delta Mesir, Nawal tumbuh sebagai seorang feminis Mesir terkemuka yang disegani di panggung feminisme internasional. Ayahnya adalah pejabat tinggi dalam Departemen Pendidikan Mesir. Nawal sendiri adalah seorang ahli sosiologi, dokter, dan seorang pengarang.
 
Nawal tergolong pengarang Mesir kontemporer dengan hasil karya yang paling banyak diterjemahkan ke dalam 12 bahasa sedunia. Ia menghasilkan karya klasik tentang perempuan dunia Islam. The hidden face of eve (Wajah Rahasia Kaum Hawa) dan banyak karya terbitan lain, termasuk naskah sandiwara, koleksi cerita pendek, karya nonfiksi, dan novel yang sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya dalam terjemahan bahasa Indonesia, antara lain Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), Death of an Ex-Minister (Akhir Hayat Seorang Mantan Menteri), Searching (Mencari), The Innocence of the Devil (Tak Berdosanya Sang Setan) (California, 1994).
 
Karya-karyanya banyak menohok kalangan muslim dan penguasa di negaranya. The Fall of the Imam (Jatuhnya Sang Imam) misalnya, dalam novel tersebut Nawal berkisah tentang perjuangan dan perlawanan seorang anak perempuan yang lahir tanpa ayah. Sang ibu dianggap sebagai seorang perempuan pezina, namun semua orang, mulai dari penjaga hingga sang Imam telah tidur bersamanya. Akibat keingintahuannya tentang keturunannya, ia selalu dikejar-kejar dan akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Novel ini berisi tentang kejatuhan para pemimpin yang selalu bersembunyi di balik nama agama dan Tuhan.
 
Yang menarik dalam novel ini adalah keberanian pengarangnya dalam mendobrak sistem dan (manipulasi) ajaran agama yang selama ini sering terjadi. Semua itu banyak terungkap dalam dialog-dialog lugas yang terjadi antara sang putri dan para pengikut sang Imam, juga dengan teman-temannya
 
Selain itu, karismanya di bidang kesehatan umum sangat mencolok, baik di Mesir maupun di luar negeri, sampai ia mengakhiri jabatan sebagai Dirjen Pendidikan Kedokteran, Kementerian Kesehatan di Kairo tahun 1972. Ia diberhentikan oleh instansi tersebut termasuk pencopotannya sebagai direktur kesehatan masyarakat akibat tulisannya yang blak-blakan tentang seksualitas, terutama dalam karyanya Woman and Sex.
 
Sembilan tahun kemudian, pada 1981, ia dipenjarakan atas tuduhan ‘perbuatan kriminal terhadap negara’ oleh Presiden Anwar Sadat sebagai bagian dari penangkapan dan penahanan besar-besaran tokoh-tokoh intelektual Mesir. Bahkan setelah pembebasannya, jiwanya terancam dan selama beberapa tahun rumahnya di Giza dijaga oleh satpam bersenjata, sehingga ia meninggalkan negerinya untuk menjadi profesor kunjungan pada berbagai universitas di Amerika Utara. Hingga sekarang ia tetap menulis dan berkampanye demi kebebasan dan keadilan perempuan dan laki-laki.
 
Feminisme Nawal
 
Nawal sering terkesan menyerang Islam dan sistem politik negaranya, Mesir. Namun, dalam pembicaraannya di berbagai forum internasional dan sebagai pembicara kunci di hampir seluruh universitas di Amerika serta institusi akademik lainnya, ia tidak kehilangan daya kritisnya terhadap AS terutama prasangka buruknya terhadap dunia Islam. Dalam hal ini ia mempunyai pendapatnya sendiri When you criticise your own culture, there are those in your culture who are against you, who say: ‘Don’t show our dirty linen outside.’ I don’t believe in this theory. I speak one language, whether inside the country or outside. I must be honest with myself.”
 
Mungkin kepedulian, keberanian, dan kejujurannya ini merupakan pilihan sikap dan bentuk perlawanannya terhadap sistem patriarkat dan corporate capitalism yang ditolaknya selama ini.
 
Tentang feminisme, ia mengatakan bahwa di Mesir sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada feminis. Menurutnya, feminisme adalah perjuangan melawan patriarkat dan kelas. Sekaligus perlawanan terhadap dominasi laki-laki dan dominasi kelas. Dan menurutnya opresi yang dilakukan keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena hal itu saling berkaitan.
 
Ia juga mengkritik kaum feminis, yang menurutnya sebagian besar memiliki ‘kesadaran palsu’ terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Menurutnya, kalangan feminis sering tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban fundamentalisme keagamaan dan konsumerisme Amerika. Ketidaksadaran mereka tentang hubungan antara kebebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi serta negara di sisi lain, sering membuat perempuan hanya terfokus pada perjuangan melawan patriarkat semata dan mengabaikan bahaya corporate capitalism bagi kehidupan perempuan dan masyarakat.
 
Pernyataan keras ini sekilas mengesankan pandangan seorang feminis konservatif, feminis eksistensialis gelombang kedua yang masih meneguhkan wacana hegemonik dominan. Namun jika kita meletakkan dalam konteks apa yang dikatakan spoonley (1995) sebagai ”…kekhususan yang muncul sebagai hasil dari politik identitas yang dilokalisasi, kita akan melihat suatu model perlawanan pluralistik yang telah dijelaskan oleh Yeatman (1993) sebagai saling menghubungkan penindasan”.
 
Nawal tidak sendirian di sini, Yeatman mengutip Bell Hooks sebagai contoh dari seorang feminis Afrika-Amerika, yang dalam mengkritik feminisme gelombang kedua, mengartikulasikan politik perbedaan dalam menunjukkan apa yang dimaksud dengan menjadi kulit hitam dan seorang perempuan.
 
Hooks (1984) mengatakan bahwa sebagai suatu kelompok, perempuan kulit hitam berada pada posisi yang tidak lazim dalam masyarakat. Tidak saja karena status sosial ekonomi pekerjaan yang memosisikan mereka sebagai kelompok paling rendah di kelompok mana pun, namun kelompok mereka adalah kelompok yang tidak disosialisasikan untuk berasumsi pada peranan pengeksploitasi/penindas.
 
Dengan demikian, mereka tidak diizinkan untuk mengeksploitasi atau menindas ‘yang lain’ yang diinstitusionalkan. Berbeda dengan perempuan kulit putih dan laki-laki kulit hitam yang memiliki dua cara. Mereka dapat bertindak sebagai yang menindas dan ditindas.
 
Dalam derajat yang berbeda, agaknya persoalan Nawal dan kelompok perempuan Mesir (Timur Tengah) lainnya dalam perjuangannya melawan ‘penindasan’ ini harus diletakkan dalam kerangka pemahaman yang sama, kendatipun mempunyai corak dan renik-renik penindasan yang berbeda.
 
Kunjungannya ke Indonesia sebagai pembicara kunci dalam Konferensi International Ketujuh Women Playwrights International pada 19-26 November 2006, tentulah mempunyai alasan tersendiri dan bisa jadi menginspirasi gerakan perempuan di Indonesia, terutama sikap dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakininya melalui kepedulian, keberanian, dan kejujuran.
***
 
*) Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan Board The Indonesian Institute.
http://cabiklunik.blogspot.com/2006/11/esai-memahami-kreativitas-nawal.html

http://sastra-indonesia.com/2011/04/memahami-kreativitas-nawal-el-saadawi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar