Tuesday, February 23, 2021

PETA SASTRA TAMADUN MELAYU

Maman S. Mahayana *
 
Edi Sedyawati, dkk., Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa, 2006, xii + 419 halaman.
 
“Tak kenal maka tak sayang.” Itulah yang terjadi pada dunia Melayu, khasnya yang menyangkut selok-belok ketamadunannya (peradaban). Dunia Melayu yang pernah dicitrakan para orientalis sebagai bangsa Timur -pribumi- yang serbaterbelakang, sesungguhnya menyimpan kekayaan tamadun yang agung. Sejak lama ketamadunannya itu wujud dan mendapat apresiasi yang tinggi dari bangsa-bangsa yang sudah lebih dulu menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia. Bangsa-bangsa besar Asia, seperti Mesir, Tiongkok, India, Parsi, dan bangsa Eropa, mengenal dunia Melayu melalui hubungan perdagangan, penyebaran agama, dan pertukaran kebudayaan. Bahkan, dilihat dari penyebarannya, jejaknya hingga kini masih tampak dalam wilayah yang begitu luas.
 
Kawasan Asia Tenggara adalah pusat kebudayaan Melayu. Dari sana gelombang pengaruhnya menyebar mungkin dibawa para gujarat India, pedagang Cina atau para penyebar agama melalui jalan darat lewat jalur sutra Tiongkok, India, Parsi, sampai ke Turki di Asia Barat dan berakhir di ujung Eropa Timur. Melalui pelayaran dari Laut Cina Selatan ke selat Malaka sampai Kepulauan Nikobar dan berakhir di Madagaskar sampai Afrika Selatan. Kita juga dapat menemukan jejaknya di pulau-pulau di sekitar laut Karibia terus ke timur sampai Suriname. Jejaknya di Selandia Baru dan Australia adalah perkembangan terakhir. Jadi, betapa luasnya penyebaran kebudayaan Melayu. Ia dapat ditelusuri melalui kosakata bahasa dan benda-benda budaya yang menunjukkan proses akulturasi kebudayaan Melayu dengan kebudayaan setempat atau sebaliknya.
 
Buku Sastra Melayu Lintas Daerah (editor Edi Sedyawati, dkk. Jakarta: Pusat Bahasa, 2006, xii + 419 halaman), tentu saja belum berpretensi hendak melakukan pemetaan tamadun Melayu sampai ke wilayah yang begitu luas. Ia baru mencoba mencungkil salah satu aspek yang sering dianggap representasi peradabannya, yaitu dunia sastra! Maka, konsep sastra dalam buku ini ditempatkan dalam konteks yang sangat luas, bahkan juga cenderung longgar. Hal yang sama diperlakukan pada konsep daerah. Meski secara dikotomi istilah itu mengisyaratkan adanya hubungan pusat-daerah yang berbau hegemonik, para penyusun buku ini menempatkannya sebagai lokalitas yang tidak dibatasi wilayah administrasi dan politik. Pengertian lintas daerah, di dalamnya termasuk khazanah sastra di wilayah Patani (Muangthai), Mindanao (Filipina), Semenanjung Melayu (Malaysia, Singapura, Brunei) dan kawasan yang masuk wilayah Indonesia.
 
Sebagai usaha membuat peta sastra Melayu, tentu saja itu merupakan langkah yang mustahak. Sebuah panorama terpampang dengan berbagai ulasannya yang dalam dan dangkal. Tak terhindarkan, problem kedalaman dan kedangkalan itu kerap mewarnai sebuah buku yang menghimpun setumpuk tulisan dari sejumlah sarjana. Termasuk juga perkara pembagian bab yang kurang proporsional. Meski begitu, cara pembabakannya yang sistematik menggiring kita memasuki dunia Melayu sampai ke pelosok-pelosok yang tak terduga. Maka, buku ini tidak hanya berhasil mencantelkan sastra -lisan dan tulisan- dengan kebudayaan yang mempengaruhinya, tetapi juga dengan keberagaman masyarakat yang menghasilkannya. Dengan demikian, buku ini sekaligus juga mengisi banyak ruang kosong yang tak disentuh Liaw Yock Fang (Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, 1975) dan T. Iskandar (Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, 1995).
 
Periksa saja, misalnya, tulisan Susanto Zuhdi yang menempatkan dunia Melayu dalam perspektif sejarah dan pergulatan hegemoni kerajaan-kerajaan di Nusantara. Perebutan kekuasaan politik dan penguasaan wilayah perdagangan secara langsung ikut mempengaruhi perkembangan kebudayaan Melayu. “Perkembangan kemelayuan kuno dimungkinkan oleh kehadiran Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan Jambi yang memainkan peranan penting di Asia Tenggara tidak kurang 500 tahun lamanya sejak abad ke-7” (hlm. 34).
 
Dalam perkembangannya, masuknya bangsa asing, terutama Portugis, di satu pihak, terjadi akulturasi, dan di pihak lain, ikut melancarkan atau bahkan menghambat peranan penyebaran kebudayaan Melayu. Pada saat kekuasaan kesultanan Aceh mencapai puncaknya, misalnya, “penyebaran kebudayaan Islam mempengaruhi dan mewarnai kehidupan kesusastraan Melayu.” (hlm. 392). Tetapi, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, perluasan kebudayaan Melayu yang dikembangkan kesultanan Aceh, menghadapi kendala. ?Untuk menghindari pedagang Portugis di Selat Malaka, para pedagang Muslim menggunakan pantai barat Sumatera untuk berlayar ke Kepulauan Maluku. Jalur pelayaran ini justru yang menyebabkan Kesultanan Banten maju pesat, di samping tumbuhnya kota-kota pesisir di utara Jawa. (hlm. 393).
 
Lihat juga tulisan Abdul Hadi W.M. yang begitu banyak menyentuh dunia Melayu dalam hubungannya dengan sufisme. Menurutnya, ?Kepeloporan para cendekiawan sufi dalam sejarah kebangkitan sastra Islam di Melayu dimungkinkan oleh dua faktor utama. Pertama, perhatian yang besar para cendekiawan itu terhadap estetika dan seni “termasuk juga di dalamnya kesusastraan. Kedua, keinginan mereka untuk mengembangkan tafsir sendiri atas teks keagamaan yang menggunakan bahasa puitik.” (hlm. 346). Dari sanalah berlahiran kekayaan khazanah sastra tasawuf dalam bahasa Melayu.
***
 
Secara keseluruhan, buku yang disusun ke dalam delapan bab ini, menghimpun setumpuk tulisan tentang berbagai aspek kesusastraan Melayu. Sistematikanya disusun secara tematik, sehingga memudahkan kita memasuki pelosok dunia Melayu sampai ke segala ceruknya. Perbincangannya diawali dengan menelisik lebih jauh dan mendalam perkara latar belakang (: cikal-bakal) sejarah penyebaran bahasa, aksara yang digunakan sampai hubungan antarbangsa yang memungkinkan sastra ?dan secara keseluruhan kebudayaan?Melayu begitu kaya akan unsur asing dan kultur kedaerahan. Inklusivitas bangsa Melayu yang gampang menerima apa pun yang datang dari luar dunianya, tidak serta-merta membuang kultur lokal yang sudah mendarah-daging. Akibatnya, akulturasi terjadi di hampir semua aspek kehidupan.
 
Dari sana, pembicaraan merembet ke berbagai wilayah yang memperlihatkan adanya jejak Melayu. Inilah yang tak terduga. Jejak Melayu nyaris dapat ditemukan di hampir seluruh pelosok Nusantara, bahkan penyebaran pengaruhnya jauh lebih luas. Bahasa Melayu tidak hanya berfungsi sebagai lingua franca, tetapi juga sebagai alat yang efektif untuk menyebarkan agama, kebudayaan, bahkan ideologi kekuasaan. Dari situlah ekspresi kreatif melahirkan beraneka ragam karya sastra. Sebuah peta tentang wilayah sastra Melayu, jejak langkah dan penetrasi kemelayuan terpampang begitu lengkap, beraneka ragam dengan kelak-kelok aliran sungai dan jalan-jalannya, tonjolan pegunungan dan lembah-lembahnya, dan warna-warnanya yang menunjukkan jalur penyebarluasan pengaruhnya yang wujud dalam karya sastra dengan kearifan lokalnya.
 
Jika pengelompokan dalam sejumlah buku pelajaran (sastra) sebagian besar disajikan tanpa konsep dan argumen, maka buku ini coba memberi penjelasan panjang lebar mengenai jenis dan ragam sastra (Melayu), disertai contoh kasus dan sejumlah pembahasannya. Maka, ketidaklengkapan buku-buku M.G. Emeis (Bunga Rampai Melaju Kuno, 1949), Hooykaas (Perintis Sastera, 1951, Penjedar Sastera, 1952, dan Literatuur in Maleis en Indonesisch, 1952), Sutan Takdir Alisjahbana (Puisi Lama, 1961) telah dijawab secara komprehensif oleh buku Sastra Melayu Lintas Daerah, sekaligus dengan pelurusan konsep-konsepnya.
 
Inklusivisme, toleransi, apresiasi, dan kreativitas bangsa ini dalam menyikapi perbedaan etnisitas, kultur lokal dan masuknya budaya asing seperti direpresentasikan dalam khazanah sastra Melayu. Di sana, selain mengeram kultur lokal, selalu akan kita jumpai napas Hindu-Buddha (India), Jawa, Parsi, Cina, dan Islam yang akomodatif, terbuka, dan toleran. Dan segala bahan itu, diterima tanpa membuang yang lama, lalu diolah secara kreatif, jadilah ia sebuah karya yang khas yang dalam banyak kasus, justru lebih kaya dan memukau. Itulah khazanah sastra Melayu yang kaya dengan kearifan lokal dan sekaligus sarat pengaruh kebudayaan Timur, bahkan juga Barat, yang justru sering diluputkan oleh pengamatan para orientalis.
***
 
Inilah buku tentang sastra Melayu yang komprehensif dan mumpuni. Inilah pintu masuk untuk mengenal lebih jauh tentang kekayaan kebudayaan dan tamadun Melayu. Dari sana terbuka jalan lempang memahami dunia Melayu.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/05/peta-sastra-tamadun-melayu/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar