Sunday, February 7, 2021

Pohon

Maroeli Simbolon
sinarharapan.co.id
 
KONON. Tersebutlah desa yang indah permai. Namanya termasyur di jagat raya. Keindahannya adalah taman impian.
 
Desa ini dibatasi dua sungai yang bening; tempat ikan dan udang menari. Keramahtamahan penduduknya, wah, tiada banding, tiada tanding: saling menolong dan tepo saliro. Bahkan angin merasa berdosa jika tidak mengabarkannya. Maka tak mengherankan bila dunia selalu membicarakannya.
 
“Penduduknya ramah luar biasa.,” ujar warga asing bermata sipit.
 
“Sopan santunnya terpelihara,” puji warga asing berkulit hitam.
 
“Senantiasa tersenyum bak bunga bakung di taman,” tanggap warga asing berambut jagung.
 
Begitulah! Kehidupan desa ini adalah buah bibir. Tak pernah sepi dari kunjungan wisata. Berbondong-bondong turis datang melihatnya. Malah tak sedikit desa lain menjadikan desa ini sebagai contoh atau panutan. Maka, itu yang menjadi alasan penting mengapa para peneliti mancanegara dari berbagai bidang ilmu melakukan riset.
 
“Desa yang menakjubkan!” decak mereka begitu menikmati suasana desa. “Harus ditulis. Desa ini adalah sejarah sepanjang masa.”
 
Lalu mereka meneliti lebih intens. Setiap jengkal diteliti dengan saksama dan dalam tempo yang seluas-luasnya. Bahkan tak sedikit yang dianggap aneh bin unik diperiksa di laboratorium. Dan entah tenaga gaib dari mana, semakin giat mereka meneliti semakin tersedot ke tengah desa. Ada kekuatan dahsyat yang menarik mereka, dan mereka tak kuasa melawannya. Hingga akhirnya mereka terdampar di depan sebatang pohon yang teramat besar ? berdiri angkuh persis di tengah desa dan siap melahap habis isinya.
 
Para peneliti terbelalak setengah mati. “Wah, pohon langka!” teriak mereka tak percaya. Pohon menatap mereka dengan tajam, menyimpan kilat kekejaman.
 
Seketika mereka bergidik. Angin bergidik. Langit bergidik.
 
“Pohon apakah ini?”
 
Belum lagi pertanyaan mereka berjawab, mereka semakin terperangah begitu menyaksikan penduduk berduyun-duyun menyembah pohon itu sembari memberi sesaji yang luar biasa banyak ? berupa berlian, mobil, rumah, hotel, dan wanita cantik. Sesaji dipersembahkan dengan khusuk.
 
“Aneh bin mustajab,” pekik peneliti dari Arab. “Bukankah mereka teguh memeluk agama?” teriak peneliti dari Inggris.
 
“Malah dikenal paling taat menjalankan ibadah,” ucap peneliti dari Rusia. Bingung.
 
“Apakah mereka sudah ganti agama?” tanya peneliti dari Prancis. “Ya. Siapa tahu mereka telah mengganti tuhannya?” tanggap peneliti dari Cina.
 
“Kukira pohon sebesar ini cuma ada dalam dongeng,” desis peneliti dari Jepang.
 
“Benar-benar tak masuk akal!” sengau peneliti dari Jerman dengan kening berkerut.
 
“Atau, mungkinkah mereka sudah gila?!” sungut peneliti dari Afrika.
 
Bersama awan yang bergulung, para peneliti digulung kebingungan. Bahkan terbodoh. Semua rencana dan program yang sudah tersusun rapih jadi terganggu. Semua ilmu yang mereka pelajari seperti tak berarti apa-apa. Pohon itu tetap menjadi misteri yang mencengangkan. Akhirnya, dalam keletihan dan ketidakmengertian mereka adakan diskusi darurat. Silang pendapat terjadi. Teramat alot. Tetapi solusi tetap tak tercapai. “Pohon angker…” desis mereka berselimut kabut.
***
 
BERSELIMUT misteri para peneliti terus bekerja. Lebih serius. Data dan fakta dikumpulkan. Sejumlah sumber dihubungi. Tetapi semakin dalam mereka membongkar misteri pohon itu semakin dicekam keanehan; apalagi tak seorang pun yang tahu asal muasal pohon itu ? kapan tumbuhnya dan siapa yang menanamnya. Penduduk yakin, pohon itu tumbuh secara ajaib. “Suatu pagi, kami sudah melihatnya. Ya, begitu saja.” “Dewa yang menanamnya.” “Atau, kuasa dari langit.” “Dan kami sangat yakin, pohon ini titisan dewa.” “Pohon keramat; tempat bersemayam makhluk-makhluk suci.” “Memberi kami kesejahteraan. Lihat, kami sukses dan gemuk-gemuk, hingga tujuh turunan.” “Sejumlah Petinggi Desa dan Penasihat Desa malah lebih tekun menyembahnya.” Maka para peneliti kehilangan akal. Angin kehilangan jejak. “Pohon misterius?” desis mereka. “Lebih misterius dari mumi.” Dan para peneliti terpaku dalam ruang pikiran masing-masing. Misteri pohon itu menuntut pemikiran kredibel. “Mungkinkah pohon itu seperti dewa matahari?” “Mungkin saja. Mereka memang mendewakannya.”
 
“Ya. Mereka menyebutnya dewa segala dewa.” Lalu, bersama angin yang berputar-putar, para peneliti terkapar dalam kehampaan. “Jangan-jangan pohon itu lambang ajaran baru?” “Maksudmu, kepercayaan baru?” “Ya. Buktinya, mereka sangat tunduk pada pohon itu. Bahkan mereka siapkan dana khusus untuk merawatnya. Seperti baru-baru ini dihabiskan 90 dan 45 emas.” “Mereka mati-matian membelanya, hingga tetes darah terakhir.” Akhirnya para peneliti terseret gelombang ketakutan yang maha dasyat. Bulan berkarat di pelukan awan hitam dan burung hantu merintih pilu di bubungan menara. Para peneliti jatuh terkapar di bawah pohon itu. Seketika itu juga mereka menjerit histeris. “Astaga!” teriak mereka bersamaan. Biji mata meloncat berputar-putar. Napas terhenti. Mereka berusaha lari, tetapi lutut hilang daya. Sekujur tubuh mendadak matirasa.
 
Mereka menyaksikan di pohon itu beranak-pinak segala jenis hewan berbisa seperti ular dan kalajengking. Gemuk-gemuk, nyengir dengan air liur bau anyir. Sementara pohon itu mendesis dengan mata berkilat haus darah. Tiba-tiba petir menggelegar luar biasa. Bulan lari ketakutan dan bersembunyi di balik awan pekat. Dan dari balik awan, ribuan burung hantu melesat turun. Lalu berputar-putar mengitari pohon itu dengan suara memekik-mekik tajam. Pohon itu semakin mencekam, menatap tajam. Hewan-hewan berbisa yang memenuhinya tertawa menyeringai. Para peneliti membisu biru. Wajah seputih kapas kering. Keringat menderas terjal. “Jangan-jangan pohon ini pohon hantu …” Seketika bulan meleleh. Petir menyambar-nyambar buas.
***
 
SUBUH. Bunyi tetabuhan dan nyanyian pemujaan memecah kelengangan desa, mencabik-cabik rongga dada. Penduduk sedang melaksanakan upacara ritual. Kaum pria memainkan alat-alat musik tradisional, sementara kaum wanita melolong-lolong sambil menari-nari histeris. Bergerak ritmis mengitari pohon itu. Kutang-kutang mereka diacung-acungkan tinggi-tinggi. Dan ternyata, di cabang-cabang pohon tergantung mayat para peneliti dengan mata melotot dan lidah terjulur darah kental. Tali menjeret leher.
 
Hewan-hewan berbisa berpestapora di tubuh menikmati sekujur tubuh para peneliti. “O, pohon keagungan. Nikmatilah persembahan kami. Telah kami persembahkan sesaji paling mulia. Terimalah untuk kesucian kami dan desa ini?!” teriak pemimpin ritual tengadah ke langit jingga. Disambarnya botol arak, diteguknya setengah, lalu sebagian lagi disembur-semburkannya ke arah pohon.
 
Penduduk menyambut dengan teriakan histeris. Ada yang menjilati tanah. Ada yang bergulingan. Bahkan ada yang memukul-mukulkan kepalanya ke batang pohon hingga berdarah. “Ampuni kami, o, pohon kebaikan! Berilah kami rezeki melalui tangan-tangan sucimu!” ratap pemimpin ritual dengan tubuh bergetar. Dia berputar-putar mengitari batang pohon, lalu diciuminya berkali-kali. Dan untuk kesekian kali disambarnya botol arak, diteguknya hingga tandas.
 
Matanya merah tuba. Pohon itu terkekeh puas menyaksikan upacara ritual itu. Tubuhnya sampai terguncang-guncang. “Bagus, bagus. Mari bersulang untuk kematian,” desisnya. Hewan-hewan berbisa di sekitar pohon ikut tertawa. Lalu berdansa ria dalam kelabu persundalan. Musik semakin bertalu-talu. Jerit-jerit histeris semakin mengerikan. Bahkan menjadi lolongan anjing-anjing kekelaman. Langit pecah tuba. Sejak itu, di sekitar desa ditandai garis-garis kuning. Dan nama desa semakin termasyur dengan sebutan baru: DAERAH TERLARANG!
 
Jakarta, 2002. http://sastra-indonesia.com/2010/09/pohon-2/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar