Sunday, February 7, 2021

Membaca Jalang ! Maroeli Simbolon

Hernadi Tanzil
 
Judul : Jalang!
Penulis : Maroeli Simbolon
Editor : Anwar Holid
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : xx + 209 hlm
 
Siapa yang tidak mengenal legenda Ken Arok dengan Keris berdarahnya? Sebuah Keris yang menghantar Ken Arok menjadi Raja Singasari. Keris Mpu Gandring yang dikutuk oleh pembuatnya itu dikenal dengan keris yang haus darah, tujuh nyawa meregang sia-sia tertikam oleh keris terkutuk itu. Keris, tombak, pisau, hingga yang lebih modern –pistol- yang tadinya sekedar alat untuk membela diri tak jarang menjadi alat pembunuh bagi pemiliknya, tak perlu kutukan Mpu Gandring untuk membuat sebuah senjata menjadi haus darah, aura kekerasan yang memancar dari sebuah senjata membuat pemiliknya menjadi lebih beringas dan tak segan-segan menggunakan senjatanya untuk memperoleh apa yang diinginkannya
 
Novel Jalang! karya Maroeli Simbolon bukan kisah perebuatan kekuasaan seperti Ken Arok, melainkan kisah bagaimana sebuah senjata mampu memunculkan hasrat paling gelap bagi pemiliknya untuk menjadi jagoan, membalas dendam, dan melancarkan serangan yang menghantar pada kematian. Novel ini bertutur mengenai sebuah pistol yang haus akan darah. Di tangan Maroeli, benda mati, sebuah pistol dipersonifikasikan menjadi begitu hidup dan memiliki hasrat membunuh yang liar. Tokoh sentral novel ini adalah sebuah pistol yang terus berpindah-pindah kepemilikan dari satu tangan ke tangan lainnya. Awalnya pistol ini milik sebuah instansi resmi yang berhak menyimpan senjata, sensasi kekerasan pertama yang dirasakan oleh pistol ini bermula ketika seseorang berpakaian seragam membawanya ke medan perang. Pistol ini bekerja tak kenal lelah. Mataku muntah sebutir demi sebutir. Maka, satu demi satu pun terjatuh meregang nyawa dan bersimbah darah oleh kebuasanku. Aku menjilati sepuasnya (hlm 88)
 
Ketika sosok berseragam itu tewas tertembak peluru musuh ketika berada dalam daerah konflik, pistol tersebut berganti pemilik, ia diambil oleh oleh seseorang yang berpakaian biasa. Berganti pemilik tidak membuat dirinya semakin terkendali, malah pistol tersebut semakin liar memuntahkan peluru-pelurunya. Maka ia jadi kekasihku. Dari sinilah aku terlibat percintaan semakin liar. Dari tangannya aku pindah ke tangan lain, lalu ke tangan baru, lalu ke tangan asing, ah, entah sudah berapa. Aku juga tak pernah menghitung jumlah korbanku. Tentu saja sebelum pindah, aku sudah menjilati korban-korbanku lebih dulu (hlm 89).
 
Novel ini secara menarik mengisahkan penggalan perjalanan hidup si pistol yang haus darah bersama pemiliknya yang selalu berganti-ganti. Masing-masing pemilik memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Pembaca diajak berpetualang bersama si pistol dan pemiliknya. Di halaman-halaman awal pembaca disuguhkan oleh narasi kekerasan antara seorang wanita dan dua orang yang anggota sindikat (Tonny & Viddy) yang ditugasi oleh bossnya untuk menghabisi nyawa si wantia yang dianggap telah menghianati kelompoknya. Lalu ada juga kisah yang bisa dikatakan mendominasi dan mengikat novel ini yaitu kisah perselingkuhan dengan nafsu yang liar antara Frans dan Helen, sekertarisnya. Padahal Frans telah memiliki Clara, istri yang cantik dan melayaninya dengan baik. Diam-diam Andre, tetangga depan rumah mereka menaruh kekaguman pada Clara dan selalu merekam kegiatan Clara lewat sebuah kamera video dari rumahnya. Lalu ada juga tokoh John, pegawai pabrik yang di-PHK oleh majikannya dan dengan pistol ditangannya berhasil membunuh mantan majikannya. Terseok-seok oleh kemiskinan akibat menganggur dan menghindar dari kejaran polisi, John menjadi pelaku kriminal yang merampok seorang wanita di tempat parkir sebuah plaza.
 
Yang paling menarik dari novel ini tentu saja personifikasi si pistol itu sendiri. Dalam novel ini Maroeli mendeskripsikan tokoh sentral dalam novel ini sebagai benda mati yang memiliki hasrat dan perasaan. Si pistol digambarkan sebagai sosok anak kegelapan dan malaikat maut yang siap menyambar nyawa siapapun. Aku adalah peri, bidadari, malaikat bermata satu, jin, iblis bertanduk seribu….Aku adalah binatang jalang! Amboi, betapa aku menyukai semua yang penuh birahi dan menyeramkan yang disematkan kepadaku (hlm 83).
 
Seperti keris Mpu Gandring dikutuk oleh pembuatnya dan selalu haus akan darah, demikian juga tokoh pistol dalam novel ini Ia jalang dan haus darah, setiap dirinya ditodongkan pada calon korbannya, dengan kemampuannya menghasut ia mencoba membujuk pemiliknya untuk segera menarik pelatuk pistolnya dan merasakan sensasi nikmatnya luncuran timah panas menembus tubuh korban. Hampir semua yang pernah memiliki pistol ini terhasut untuk menumpahkan kemarahan, mengumbar dendam, dan melancarkan serangan yang mematikan dari orang-rang yang dibencinya.
 
Hanya satu yang luput dari hasutannya, ketika pistol ini dibuang oleh John dan ditemukan oleh pemulung sampah, pistol ini tak berhasil membujuk si pemilik barunya untuk memenuhi hasrat membunuhnya. Ketika Pistol ini hendak dibuang, sebuah mobil yang dikendarai Frans menyerempet gerobak sampahnya dan si pemulung terpental bersama pistolnya. Alih-alih menolong si pemulung sampah, Frans malah mengambil pistol itu. Di tangan Frans-lah akhirnya pistol itu berhasil mempengaruhi Frans untuk melampiaskan hasrat jalangnya.
 
Melalui Novel ini, secara lugas dan berani Maroeli menyajikan cerita yang keras, memacu adrenalin bahkan cenderung kasar, seperti judul novel ini “Jalang!” dan cover buku yang didominasi dengan warna hitam dan lukisan pistol yang memuntahkan pelurunya, novel ini pun sama hitam dan kasarnya dengan citra yang dicoba dibangun oleh desainer cover novel ini. Penulisnya tampaknya berhasil membangun sebuah cerita yang menarik dengan memunculkan sebuah pistol sebagai tokoh sentral, sebuah ide cerita yang orisinil dan menyajikan petualangan yang imajinatif dengan setting kehidupan kaum urban yang memiliki kehidupan yang gelap dan keras dimana penghianatan, dendam seorang korban PHK, kemiskinan, kehancuran rumah tangga akibat perselingkuhan yang liar dan panas terungkap dengan gamblang dalam novel ini.
 
Walau novel ini sarat dengan deskripsi kekerasan, tentunya bukan berarti novel ini dimaksud untuk memunculkan hasrat gelap dari pembacanya, namun setidaknya novel ini menyadarkan pembacanya bahwa kekerasan dengan mudah akan ditemui dimana-mana dan menyusup dalam tiap sendi-sendi kehidupan masyarakat kaum urban yang tampaknya semakin tak toleran satu dengan yang lainnya.
 
Sebagai catatan, Jalang! Adalah novel pertama dan terakhir dari Maroeli Simbolon. Selama ini Maroeli dikenal dengan cerpen-cerpennya yang tersebar di berbagai media massa nasional, beberapa telah dibukukan oleh penerbit Jalasutra yaitu, Bara Negeri Donngen (2002), Cinta? Tai Kucing! (2003) dan Sepasang Luka Cinta (2004). Novel Jalang! diselesaikan oleh Maroeli ketika sakit kronis mulai mendera tubuhnya. Karena novel ini terbit setelah penulisnya wafat, bisa dikatakan novel ini adalah novel anumerta (posthumous), sebelumnya novel ini pernah dimuat secara bersambung di harian Sinar Harapan pada Februari-Maret 2005.
 
Proses kreativitas menulis Maroeli seperti diutarakan Anwar Holid dalam Avant Provos novel ini memang tak lepas dari sakit yang dideritanya. Namun Mareoli adalah penulis yang tangguh dan punya vitalitas yang hanya akan berhenti jika ia harus berhenti. Akhirnya Maroeli Simbolon memang harus berhenti sesuai dengan kehendakNYA. Setelah beberapa bulan bertahan dan berjuang melawan sakit, pada 18 Januari 2006 Maroeli Simbolon meninggal dunia di Jakarta 2 hari setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke 39.
 
@h_tanzil

http://sastra-indonesia.com/2020/09/membaca-jalang-maroeli-simbolon/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar