Sunday, February 7, 2021

Delapan Puisi Karya Charles Bukowski

Penerjemah: Lutfi Mardiansyah *
 
DORONGAN ANGGUR
 
ini satu lagi puisi tentang jam 2 pagi dan bagaimana aku masih saja diam di depan
mesin tik mendengarkan radio dan mengisap cerutu bagus.
jahanam, aku tidak tahu, kadang aku merasa seperti Van Gogh atau Faulkner
atau,
katakanlah, Stravinsky, ketika aku menyesap anggur dan mengetik
dan merokok dan tak ada keajaiban sebaik ini.
beberapa kritikus bilang aku menulis hal yang sama berulang-ulang.
yah, kadang aku begitu dan kadang tidak juga, tapi ketika aku menulis hal yang sama
itu karena yang kutulis betul-betul begitu, ini seperti bercinta dan
kalau kau tahu bagaimana menyenangkannya hal itu, kau akan memaklumiku
karena kita sama-sama tahu betapa kebahagiaan bisa angin-anginan.
jadi aku akan pura-pura bodoh dan akan kukatakan lagi bahwa
sekarang jam 2 pagi
dan aku adalah
Cézanne
Chopin
Céline
Chinaski
kupeluk segala sesuatu:
kugusah asap cerutu
gelas anggur yang lainnya
gadis muda yang cantik
kriminal dan pembunuh
orang gila kesepian
buruh pabrik,
mesik tik ini di sini,
radio menyala,
kuulangi lagi semua ini
dan akan selalu kuulangi semua ini
sampai keajaiban yang terjadi kepadaku
terjadi kepadamu.
 
***
 
 
 
BUDDHA CHINASKI BERSABDA
 
kadang
kau harus ambil
satu atau
dua langkah
ke belakang,
mundur
 
ambil
waktu
satu bulan
 
jangan
lakukan apa pun
jangan
ingin
melakukan apa pun
 
tenang adalah
yang terpenting
langkah adalah
yang terpenting
 
apa pun
yang kau inginkan
kau takkan
mendapatkan-
nya dengan
berusaha terlalu
keras.
 
ambil
waktu
sepuluh tahun
 
kau akan
jadi
lebih kuat
 
ambil
waktu
dua puluh tahun
 
kau akan
jadi jauh
lebih kuat.
 
tak ada apa pun
untuk dimenangkan
dengan cara apa pun
 
dan
ingat
hal terbaik kedua di
dunia
adalah
ucapan selamat malam
sebelum tidur
 
dan
hal terbaik pertama:
maut
yang lembut.
 
sementara itu
bayar tagihan
gasmu
kalau bisa
dan
hindari
cekcok dengan
istri.
 
***
 
 
 
MASUK!
 
selamat datang di nerakaku yang penuh belatung.
musik menggilas dengan suara sumbang.
mata ikan mengamati dari dinding.
inilah tempat di mana tegukan bahagia terakhir
adalah api.
pikiran menggemeretak tertutup
seperti pikiran menggemeretak
tertutup.
kita harus menemukan kehendak baru dan cara
baru.
kita terjebak di sini sekarang
mendengarkan gelak tawa
dewa-dewa.
pelipisku sakit karena kebenaran dari
segala kebenaran.
aku bangkit, bergerak ke sana-kemari, menggaruk
diriku sendiri.
aku adalah sebuah bidak.
aku adalah seorang pendoa yang lapar.
nerakaku yang penuh belatung menyambutmu.
halo. halo yang di sana. masuk, ayo masuklah!
ada banyak ruang di sini untuk kita semua,
dasar goblok.
kita hanya bisa mengutuk diri sendiri, jadi
kemarilah duduk denganku di dalam kegelapan.
ini baru separuh jalan
entah ke mana.
ke mana pun.
 
***
 
 
 
“BEAT”
 
beberapa orang coba mengaitkanku dengan
para penulis “Beat” itu
tapi aku hampir tidak menerbitkan apa pun
tahun 1950-an
dan
bahkan kemudian
aku amat sangat
sangsi dengan kesombongan dan
semua
gaya-gayaan
publik mereka.
 
dan ketika bertemu beberapa dari mereka
di kemudian hari
kusadari sebagian besar pendapat
awalku tentang
mereka
tak
berubah.
 
beberapa kawanku sependapat dengan-
ku; yang lainnya berpikir aku
seharusnya mengubah
anggapanku.
 
anggapanku masih
sama: menulis dilakukan
seseorang
di satu waktu
di satu tempat
 
dan segala kegandrungan
dari
gerombolan
itu
sangat sedikit
punya sangkut-paut
dengan
apa pun.
 
siapa saja dari mereka
bisa punya
kehidupan mapan sebagai
pemungut tagihan atau
penjual
mobil bekas
 
dan mereka
tetap bisa
punya kehidupan yang lurus
alih-alih menggerutu soal
perubahan-perubahan mode dan
jalan nasib.
 
tapi bukan
di mimbar-mimbar
universitas yang menyedihkan
dan di aula-aula pembacaan
puisi, menjajakan
kata-kata yang cemar
 
tetap teriak-teriak menuntut
derma,
tetap bicara
omong kosong
yang sama.
 
***
 
 
 
TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA
 
di sini
ada makin sedikit alasan untuk menulis saat segalanya mendekat.
aku sudah memalang pintu dan jendela, menyimpan air dalam botol,
makanan
dalam kaleng, lilin, perkakas, tali, perban, tusuk gigi, catnip,
jebakan tikus, bahan bacaan, kertas toilet, selimut, senjata api,
cermin, pisau
—rokok, cerutu, permen—
ingatan, penyesalan, akte kelahiran,
foto-foto
piknik
pawai
penyerbuan;
aku punya sempotan serangga, anggur Prancis yang enak, klip kertas dan kalender
tahun terakhir karena
INI BISA JADI PUISI TERAKHIRKU.
itu bisa saja terjadi dan, tentu, aku sudah menimbang dan
menimbang ulang
kematian
tapi aku belum sampai pada suatu cara, yangmembuatku merasa
agak bodoh tentang segala sesuatu.
terutama sekarang.
—hanya menunggu adalah hal paling buruk.
tak ada yang lebih buruk daripada menunggu
hanya menunggu. selalu benci
menunggu. ada apa dengan menunggu sampai-sampai hal itu amat
sangat berat?
—seperti kau menungguku menyelesaikan puisi
ini dan
aku benar-benar tidak tahu
bagaimana caranya
karena itu puisi ini takkan kuselesaikan
—jadi, kalau kau kebetulan membaca ini
di majalah atau buku
renggutlah
halaman itu
robek puisi ini
dan itulah cara terbaik
menyelesaikan puisi ini
untuk sekali dan
selamanya.
 
***
 
 
 
GELEMBUNG AIR HANGAT
 
yang kusuka adalah
saat aku berendam di bak mandi
dan aku kentut
dan kentut itu betul-betul busuk
sampai bisa kucium bau busuk
kentut itu
naik ke permukaan air.
 
kekuatan itu nikmat:
Mahatma Gandhi sekarat.
bunga iris terseret-seret.
 
cinta begitu mengagumkan
tapi juga merupakan bau busuk
isi perut,
keluar dari tempat-tempat
tersembunyi.
kentut. tai. kematian
paru-paru.
 
tepian bak mandi, pucuk tai di kloset
banteng-banteng sekarat diseret di atas kotoran orang Meksiko
Benito Mussolini dan pelacurnya Claretta
melayang di atas sepatu tumit mereka
dan dicabik-cabik gerombolan orang banyak—
hal-hal ini memiliki kemuliaan yang lebih lembut
dibanding yang dimiliki Kristus dengan
luka-luka-Nya yang sempurna letaknya itu.
 
pernah kubaca (dan aku tak lagi yakin pihak mana
yang melakukan itu) di masa revolusi Rusia
mereka menangkap seorang lelaki, membedahnya, memaku
ujung ususnya di pohon
lalu memaksanya lari memutari
pohon itu, menggulung ususnya di sekeliling
batang pohon. aku bukan orang sadis. barangkali aku bakal
menangis kalau aku melihat itu, barangkali aku bakal gila.
tapi aku tahu bahwa kita lebih dari yang
kita pikirkan
meskipun orang-orang romantis itu
memusatkan pikiran pada rasa benci/dan atau/cinta dalam
hati.
 
kentut di dalam bak mandi memuat seluruh
sejarah esensial umat manusia.
cinta begitu mengagumkan.
begitu pula dengan kentut.
terutama kentutku.
banteng-banteng sekarat diseret di atas kotoran
orang Meksiko dan aku di dalam bak mandi
tengadah menatap bohlam 60 watt dan merasa baik-baik saja.
 
***
 
 
 
SELAMAT, CHINASKI
 
saat mendekati usia 70
aku mendapat surat, kartu ucapan, kado-kado kecil
dari orang-orang yang tak kukenal.
selamat, kata mereka
kepadaku,
selamat.
 
aku tahu maksud mereka:
cara hidupku
seharusnya aku sudah mati di separuh
waktu itu.
 
aku telah menimbun diriku sendiri dengan banyak sekali
kata-kata kasar, telah
mengabaikan diriku sendiri
nyaris telak ke titik
kegilaan,
aku masih di sini
membungkuk di depan mesin tik ini
di kamar penuh asap rokok ini,
tempat sampah biru besar ada di sebelah
kiriku
penuh kotak kemas
kosong.
 
para dokter itu tak punya jawaban
dan dewa-dewa itu
bungkam.
 
selamat, kematian,
atas kesabaranmu.
aku telah membantu kalian semua
sebisaku.
 
sekarang satu puisi lagi
dan aku akan pergi ke balkon,
malam yang menyenangkan di luar sana.
 
aku memakai celana kolor dan kaus kaki,
dengan lembut menggaruk-garuk
perut tuaku,
mengintai ke luar sana
menatap ke luar sana
di mana kegelapan bertemu kegelapan
 
menjadi neraka permainan bola
gila.
 
***
 
 
 
AMERIKA-KU, 1936
 
kau ini tidak gesit dan semangat,
kata ayahku,
kau tahu berapa banyak uang
yang kuhabiskan untuk membesarkanmu?
kau tahu berapa harga baju?
berapa harga makanan?
kau cuma duduk di kamar
terkutukmu, murung di atas
pantat buntetmu!
16 tahun dan tingkahmu
macam orang mampus!
apa yang akan kau lakukan kalau
kau pergi ke dunia luar?
lihat si Benny Halsey, dia
penjaga pintu di
bioskop!
Billy Evans jualan koran
di simpang jalan Crenshaw
dan Olympic
dan kau bilang kau tidak bisa
menemukan pekerjaan!
yah, kenyataannya, kau cuma
tidak menginginkan pekerjaan!
aku dapat pekerjaan!
siapa pun yang benar-benar menginginkan
pekerjaan bisa dapat pekerjaan!
aku punya ide bagus
melemparmu ke
jalan,
yang kau lakukan cuma duduk dan
murung!
aku tidak percaya kau itu anak-
ku!
ibumu malu dengan-
mu!
kau sudah membunuh ibumu!
aku punya ide bagus, menyepak
pantat sialmu itu, supaya
kau bangun!
apa?
jangan bicara seperti itu kepadaku!
AKU INI AYAHMU!
JANGAN PERNAH LAGI BICARA
SEPERTI ITU KEPADAKU!
APA?
BAIKLAH, BAIKLAH,
KELUAR KAU DARI RUMAH INI!
KELUAR KAU!
KELUAR!
KELUAR!
MAMA, KULEMPAR
BAJINGAN INI
KELUAR!
 
MAMA!
 
***

*) Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya-karya sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/10/delapan-puisi-karya-charles-bukowski/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar