Wednesday, February 17, 2021

Gola Gong, Jangan Ditiru!

Makmur Dimila *
blog.harian-aceh.com
 
Ketika berusia 41 tahun, Gola Gong yang mulai bertangan satu sejak berusia 10 tahun menulis autobiografinya. Ia merasa setengah hati menulisnya, namun hati lelaki bernama asli Heri Hendrayana H itu berteriak terus.
 
Tangan kanannya tak kuasa menahan gejolak jiwa. Kelima jarinya tak mau diam. “Aku ingin dibaca! Aku ingin dibaca!” Begitu batinnya saat itu, mengenang sebuah nama idamannya: Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, pengarang novel hebat Max Havelaar. Di mana di pengantar novel itu, Multatuli menggoreskan kata sakti, “Ya, aku bakal dibaca!”.
 
Meski bertangan satu, Golang Gong sangat percaya diri menjalani hidupnya hingga ia menjadi seorang penulis hebat. Semula, ia bercita-cita ingin menjagi guru. Karena menurutnya guru adalah pekerjaan mulia. Hanya saja saat rezim Soeharto, banyak peraturan yang memojokkan orang cacat. “Jadi guru tidak boleh cacat,” kata Soeharto.
 
Namun karena kedua orang tuanya guru, maka ia lebih memilih bertualang, di mana setiap hasil pertualangan fisik, batin, dan otaknya akan dituangkan ke dalam tulisan. Hingga ia menghasilkan banyak karya, terutama novel. Balada Si Roy, adalah novel serial remajanya yang sangat diburu saat itu. Ia berkisah kehidupan seorang petualang dengan kelelakiannya yang amat kuat, sehingga banyak anak muda terinspirasi oleh karyanya. Gola Gong mengetik naskah novel yang diterbitkan 10 jilid pada 1989-1994 oleh Gramedia Pustaka Utama itu dengan menggunakan mesin tik hadiah ayahnya.
 
Pada 1986, saat usianya masih 23 tahun, Gola Gong meninggalkan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran hanya untuk menggenggam dunia, menjelajahi Nusantara. Ia jenuh dengan teori melulu. Ia pun berhasil mengunjungi suku Dani di Pegunungan Jayawijaya, Lembah Belien, Papua. Pada suku itu ia banyak belajar tentang kesederhanaan dan kebijaksanaan bahwa alam adalah bagian dari dirinya.
 
Dan suatu pagi di pertengahan 1986, ia terdampar di Kota Manise, Ambon ketika melanjutkan pertualangannya jelajahi Nusantara. Lalu dari Tolehu ia menyebrang ke Amahai sampai ke Pulau Geser. Ia sempat mampir di suku terasing, Nowaulu. Dari Pulau Geser ia naik kapal perintis ke Fakfak, Irian. Kemudian menyusuri pantai Pulau Seram dengan berjalan kaki selama sebulan. Dari pertualangan itu, ia banyak menemukan hal baru, rasa kesetiakawanan yang tinggi dari penduduk Pulau Seram.
 
Setiap kemalaman ia mengetuk pintu mereka yang terbuat darin pohon sagu. Lalu mereka membuka puntu dan menjamunya dengan bubur sagu dan kari ikan. Padahal secara suku dan agama Gola Gong dengan mereka berbeda, namun ia diterima dengan baik.
 
Pada 1990, Gola Gong bersepeda dari Kuala Lumpur-Malacca-Bangkok. Dia membeli sepeda di Kuala Lumpur dengan uang pembekalan ayahnya. Dan menjual lagi ketik tiba di Khao San, Bangkok, karena sulit menyusuri Myanmar dengan bersepeda. Ia mengayuh sepeda dengan tangan satu, melalui kelok-kelokan, tanjakan, dan turunan. Tidur di masjid-masjid sepanjang Malaysia dan di wat-wat perjalanan menuju Thailand.
 
Setelah puas mengelilingi Nusantara, pada 1990-1991 Gola Gong melakukan perjalanan jurnalistik menyusuri beberapa negara Asia: Serawak, Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Myanmar, Bangladesh, India, Nepal, dan Paikistan. Setiap melewati negara-negara itu, ia menuliskan catatan perjalanan. Kemudian dikirim ke pemimpin redaksi majalah Anita Cemerlang (sudah tutup sekarang) melalui jasa pos. Catatannya itu dimuat bersambung di majalah tersebut hinggga pada 1992 dibukukan dan diterbitkan Puspa Swara dengan judul Perjalanan Asia. Dari hasil pertualangan itu semua, ia menuliskan pengalamannya dalam beragam jenis karya sastra.
 
Puncak hidup Gola Gong digapai pada 3 Maret 2002, saat ia meresmikan Rumah Dunia, yaitu pusat belajar yang berlokasi di halaman belakang rumahnya, seluas 1.000 meter persegi. Rumah Dunia itu diperuntukkan bagi anak-anak, pelajar, dan mahasiswa. Gratis. Mereka bisa belajar sastra, jurnalistik, seni rupa, dan teater. Adalah visi Rumah Dunia itu untuk mencerdaskan dan membentuk generasi baru yang cerdas dan kritis.
 
Ternyata, pengarang bertangan satu itu juga lihai bermain bulu tangkis. Saat masih di SMP dan SMA, Gola Gong dikenal sebagai pebulutangkis handal di Banten. Ia menjadi tim utusan sekolah mewakili kota Serang di tingkat Jawa Barat. Bahkan ia mengumpulkan banyak prestasi pada 1986. Ia mengikuti Fespic Games (Far East South and Pasific Games), pestanya olahraga cacat se-Asia Pasifik. Ia meraih juara single, double, dan beregu putra. Dan pada 1990, ia menyabet emas double dan beregu putra di kejuaraan Fespic Games, Kobe, Jepang.
 
Masa SMA (1980-1982), Gola Gong membuat majalah kumpulan cerpen (kumcer) seperti Anita Cemerlang, Aneka Yess dan Annida. Cerpenis dan ilustratornya adalah dia sendiri. Ia menggunakan nama samaran, Aris H.R. dan Gino Fhikalqees sebagai nama cerpenis. Di halaman pertama majalah itu, ia bubuhi kata pengantar dari pengarang hebat saat itu, Edi D. Iskandar serta tanda tangannya. Majalah yang disebearkan di sekolahnya SMAN 1 Serang langsung mendapat jempol manis dari kawan-kawannya ketika membaca kata penagantar “palsu” itu.
 
Hobinya ketika SMP (1977-1979) lain lagi, ia membuat komik silat. Ia menggabar tokoh-tokoh silat favoritnya dengan cat air, seperti Bruce Lee, Fu Shen, Chen Kuan Tai, dan Yasuaki Kurata. Cerita dan dialognya dia bikin sendiri. Di samping itu, jika teman kecilnya belajar dan mengerjakan PR, ia malah menonton bioskop hampir setiap malam.
 
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Gola Gong sudah gemar membaca buku dan alam semesta. Ia juga suka menonton film. Selain koran dan majalah, ia suka membaca komik-komik semisal Pangeran Kodok, Kisah 1001 Malam, dongeng pewayangan dan lain-lain, berdasarkan anjuran orangtuanya. Dia juga gemar menonton film TV favorit seperti Tarzan, Zorro, Batman dan Robin, Superman, The Lone Ranger hingga Jendral Kancil yang diperankan Ahmad Albar.
 
“Membaca itu seperti tenaga dalam yang dimiliki oleh para jagoan kungfu di flim-film silat. Semakin tinggi tenaga dalamnya, semakin hebat ilmu yang dimiliki. Marahimin menulis, membaca adalah sarana utama menuju ke keterampilan menulis.” Tulis Gola Gong dalam buku memoarnya, Menggenggam Dunia, Bukuku, Hatiku.
 
Usai membaca dan menonton itu semua, pikirannya merangasang. Ia pun ingin menjadi seperti tokoh pahlawan dalam cerita-cerita itu. Tak hanya itu, ia juga merasakan dirinya pada setiap apa yang dilihat di kehidupan. Gola Gong pun ingin bertualang, ingin mengelilingi dan menggenggam dunia.
 
Pada 5 Oktober 1973 di Serang, Gola Gong kecil menikmati prajurit merayakan Hari ABRI yang melakukan atraksi terjun payung. Mereka berjatuhan di alun-alun. Ada juga yang nyangkut di pohon asam. Dipicu oleh atraksi itu dan sedang mewabahnya film Jendral Kancil, maka Gola Gong beserta kawan-kawan sekompleksnya mulai merebut pengaruh. Harus ada pemimpin di antara mereka, karena semua ingin menjadi Jendral Kancil. Lalu mereka bersepakat, harus ada “casting”. Siapa yang berani naik pohon pete Cina dan melompat dari ketinggian, dan siapa yang paling tinggi dialah yang berhak menyabet gelar Jendral Kancil. Dan yang berani melakukannya saat itu hanyalah Gola Gong dan seorang kawannya.
 
Hingga dua kali lompatan, setinggi 2 meter, belum ada yang gugur di antara keduanya. Kemudian Gola Gong mencoba pada ketinggian 3 meter. Namun ia terpeleset akibat ketakutan yang ditimbulkan oleh hadirnya angin kencang, sehingga ia jatuh kurang tepat. Alhasil, sikut kirinya lepas dari engselnya. Dia merasakan sakit yang luar biasa. Beberapa hari setelah insiden itu, tangan kirinya harus diamputasi. Sejak itu lah ia bertangan satu. Hop! Yang satu ini, “jangan ditiru!”
***
 
*) Mahasiswa KPI-Jurnalistik Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.

http://sastra-indonesia.com/2010/11/gola-gong-jangan-ditiru/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar