Pada sekitar tahun 90-an, Tommy J. Pisa pernah menyanyikan lagu “Di Sini di Batas Kota Ini” ciptaan Zahir C. Lubis. Lagu-lagu pop cengeng Tommy jadi kegemaran kalangan muda 90-an. Ada kisah perihal putus cinta, berkasih-mesra di antara jarak, dan pengkhianatan cinta yang selalu saja ada sepanjang sejarah umat manusia.
Tetapi kenapa di batas kota? Kenapa seringkali kehilangan atau pertemuan selalu ditandai sebuah batas? Kenapa selalu sebuah kota yang entah di mana dalam kenangan seseorang?
Di tahun-tahun 80-an sampai 90-an, perkotaan tumbuh pesat di negeri ini. Apa saja dibangun oleh negara. Di situ, perubahan terjadi sangat menakjubkan dan singkat. Menandai tergusurnya becak dan sepeda di ibukota atau di kota-kota besar, kejahatan, dan mereka yang diinjak keharusan zaman melaksanakan pembangunan fisik dari kebijakan kekuasaan sebagaimana dalam cerita-cerita kelam Seno Gumira Ajidarma. Kebutuhan kota itu tak hanya menagih tumbal materi, melainkan telah merenggut jiwa atau kehidupan yang tak bisa turut dalam perubahan, yang kalah dan selalu musti dikalahkan. Pandangan orang lebih pada materi dan status hidup. Itu menjadi kisah muram dalam lagu-lagu pop dan dangdut di zaman itu, yang seseorang sampai tega mengkhianati cinta demi harta-benda.
Kemudian ada apa dan ada siapakah di batas kota yang entah di mana itu? Atau apa dan siapakah di batas sebuah penanda waktu? Atau kenapa ada air mata di batas segalanya, di pedalaman ingatan manusia yang selalu sukar dijelaskan, dan kenangan samar perihal kehilangan yang kadangkala ditangisi tatkala malam?
Tetapi menurut seseorang, segala kehilangan tak perlu terlampau pedih ditangisi. Barangkali memang demikianlah nasib waktu, perubahan yang meniscayakan pergantian entah sampai kapan. Dan lagu kehilangan dan harapan dari yang kalah itu, agaknya terdengar lagi saat ini. Suara khas penyanyi pop Indonesia dulu, Tommy J. Pisa, memasuki waktu yang seolah kebingungan menemukan harapan.
Di Sini di Batas Kota Ini
Di sini di batas kota ini
Ingin kutuliskan surat untukmu
Biar engkau mengerti perjalanan hidupku
Di dalam menggapai cita-cita
Rintangan yang datang silih berganti
Pedih-perih mencekam menyusupi
Aku mengharap selalu doa suci darimu
Duhai kasih tambatan hatiku
Kukenang lagi saat menjelang perpisahan
Kau menangis di pangkuanku
Begitu tulus akan cinta kasihku
Semakin pilu aku mengenangmu
Mungkinkah kau masih mengharapkanku
Kini tubuhku penuh dengan luka
Gagal dan gagal lagi apa yang aku cari
Tangis pedih tersimpan dalam hati
Kenapa ketika berada di batas sebuah kota, seseorang terasa ingin menuliskan sepucuk surat buat kekasihnya? Mungkin lantaran di perbatasan kota itu, ia merasa telah meninggalkan segalanya, meninggalkan kenangan dan masa kecilnya. Pergi sendiri seorang diri. Tapi hari ini, orang tak membutuhkan sepucuk surat yang lama dinanti, bertele-tele, dan tidak praktis. Mesin android telah menggantikan surat, dengan gambar, dengan suara, dan video-call yang jauh lebih mendekatkan segenap jarak dan sanggup melipat waktu. Tak ada getaran di situ. Hanya komunikasi singkat tanpa sekat. Cepat selesai. Dan tak menyisakan kenangan berkesan, kata orang. Dan di batas sebuah kota, tak ada seorang kekasih yang berharap doa suci dari sang tambatan hati. Juga tak ada yang berjalan dengan kecemasan panjang tentang apakah dirinya akan diterima kembali untuk pulang dengan segenap kelelahan ke dalam kenangan. Lantaran hari ini segalanya sudah pasti, kemudahan pencapaian menciptakan kepastian, tanpa harapan.
Namun zaman selalu punya dirinya sendiri, memiliki sesuatu yang berharga yang selalu dirahasiakan di dalam tubuhnya. Bahwa orang-orang hari ini yang tak lagi berkirim surat buat kekasihnya, tak perlu membanting android atau membunuh video-call. Meski segala kemudahan komunikasi itu tak senantiasa mendekatkan antar orang. Dalam sebuah pertemuan, orang terbenam pada layar kaca di tangannya. Pembicaraan langsung rasanya hampa, tanpa kedalaman, dan tanpa jiwa. Kedekatan itu justru menciptakan jarak. Terlebih di masa pandemi, orang jaga jarak karena takut mati. Dalam pertemuan, masing-masing orang terbenam dengan dirinya sendiri bersama layar sentuh, iseng mengintip status-status, memainkan game, atau tertawa sendiri melihat peristiwa aneh pada video. Betapa ganjil dan sumpeknya. Manusia seperti seekor kucing yang menemukan sebuah bola di jalan, ia melompat-lompat dan menyentuh-nyentuh bola tersebut, mengabaikan sekitarnya, lantaran si kucing heran dan takjub: benda apakah ini?
Orang memudahkan komunikasi, tetapi orang menciptakan jarak kemanusiaan dengan sesamanya. Segalanya menjadi mutlak dan harus. Orang mengira, kesembuhan harus mutlak dengan obat, dan mutlak dokter dan tenaga medis yang harus menangani. Selain itu, haram! Orang meyakini, benda-benda adalah mutlak. Selain benda---apakah itu pikiran dan daya hidup, haram dipakai untuk mengatasi kehidupan. Bahkan zaman yang disebut yang mutakhir ini pun terperangkap sendiri pada soal halal-haram, boleh-tak boleh yang begitu absolut. Membatu seperti berhala yang dipenggal oleh Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/02/di-batas-sebuah-kota/
No comments:
Post a Comment