Wednesday, February 10, 2021

DI BATAS SEBUAH KOTA

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Pada sekitar tahun 90-an, Tommy J. Pisa pernah menyanyikan lagu “Di Sini di Batas Kota Ini” ciptaan Zahir C. Lubis. Lagu-lagu pop cengeng Tommy jadi kegemaran kalangan muda 90-an. Ada kisah perihal putus cinta, berkasih-mesra di antara jarak, dan pengkhianatan cinta yang selalu saja ada sepanjang sejarah umat manusia.
 
Tetapi kenapa di batas kota? Kenapa seringkali kehilangan atau pertemuan selalu ditandai sebuah batas? Kenapa selalu sebuah kota yang entah di mana dalam kenangan seseorang?
 
Di tahun-tahun 80-an sampai 90-an, perkotaan tumbuh pesat di negeri ini. Apa saja dibangun oleh negara. Di situ, perubahan terjadi sangat menakjubkan dan singkat. Menandai tergusurnya becak dan sepeda di ibukota atau di kota-kota besar, kejahatan, dan mereka yang diinjak keharusan zaman melaksanakan pembangunan fisik dari kebijakan kekuasaan sebagaimana dalam cerita-cerita kelam Seno Gumira Ajidarma. Kebutuhan kota itu tak hanya menagih tumbal materi, melainkan telah merenggut jiwa atau kehidupan yang tak bisa turut dalam perubahan, yang kalah dan selalu musti dikalahkan. Pandangan orang lebih pada materi dan status hidup. Itu menjadi kisah muram dalam lagu-lagu pop dan dangdut di zaman itu, yang seseorang sampai tega mengkhianati cinta demi harta-benda.
 
Kemudian ada apa dan ada siapakah di batas kota yang entah di mana itu? Atau apa dan siapakah di batas sebuah penanda waktu? Atau kenapa ada air mata di batas segalanya, di pedalaman ingatan manusia yang selalu sukar dijelaskan, dan kenangan samar perihal kehilangan yang kadangkala ditangisi tatkala malam?
 
Tetapi menurut seseorang, segala kehilangan tak perlu terlampau pedih ditangisi. Barangkali memang demikianlah nasib waktu, perubahan yang meniscayakan pergantian entah sampai kapan. Dan lagu kehilangan dan harapan dari yang kalah itu, agaknya terdengar lagi saat ini. Suara khas penyanyi pop Indonesia dulu, Tommy J. Pisa, memasuki waktu yang seolah kebingungan menemukan harapan.
 
Di Sini di Batas Kota Ini
 
Di sini di batas kota ini
Ingin kutuliskan surat untukmu
Biar engkau mengerti perjalanan hidupku
Di dalam menggapai cita-cita
 
Rintangan yang datang silih berganti
Pedih-perih mencekam menyusupi
Aku mengharap selalu doa suci darimu
Duhai kasih tambatan hatiku
 
Kukenang lagi saat menjelang perpisahan
Kau menangis di pangkuanku
Begitu tulus akan cinta kasihku
Semakin pilu aku mengenangmu
 
Mungkinkah kau masih mengharapkanku
Kini tubuhku penuh dengan luka
Gagal dan gagal lagi apa yang aku cari
Tangis pedih tersimpan dalam hati
 
Kenapa ketika berada di batas sebuah kota, seseorang terasa ingin menuliskan sepucuk surat buat kekasihnya? Mungkin lantaran di perbatasan kota itu, ia merasa telah meninggalkan segalanya, meninggalkan kenangan dan masa kecilnya. Pergi sendiri seorang diri. Tapi hari ini, orang tak membutuhkan sepucuk surat yang lama dinanti, bertele-tele, dan tidak praktis. Mesin android telah menggantikan surat, dengan gambar, dengan suara, dan video-call yang jauh lebih mendekatkan segenap jarak dan sanggup melipat waktu. Tak ada getaran di situ. Hanya komunikasi singkat tanpa sekat. Cepat selesai. Dan tak menyisakan kenangan berkesan, kata orang. Dan di batas sebuah kota, tak ada seorang kekasih yang berharap doa suci dari sang tambatan hati. Juga tak ada yang berjalan dengan kecemasan panjang tentang apakah dirinya akan diterima kembali untuk pulang dengan segenap kelelahan ke dalam kenangan. Lantaran hari ini segalanya sudah pasti, kemudahan pencapaian menciptakan kepastian, tanpa harapan.
 
Namun zaman selalu punya dirinya sendiri, memiliki sesuatu yang berharga yang selalu dirahasiakan di dalam tubuhnya. Bahwa orang-orang hari ini yang tak lagi berkirim surat buat kekasihnya, tak perlu membanting android atau membunuh video-call. Meski segala kemudahan komunikasi itu tak senantiasa mendekatkan antar orang. Dalam sebuah pertemuan, orang terbenam pada layar kaca di tangannya. Pembicaraan langsung rasanya hampa, tanpa kedalaman, dan tanpa jiwa. Kedekatan itu justru menciptakan jarak. Terlebih di masa pandemi, orang jaga jarak karena takut mati. Dalam pertemuan, masing-masing orang terbenam dengan dirinya sendiri bersama layar sentuh, iseng mengintip status-status, memainkan game, atau tertawa sendiri melihat peristiwa aneh pada video. Betapa ganjil dan sumpeknya. Manusia seperti seekor kucing yang menemukan sebuah bola di jalan, ia melompat-lompat dan menyentuh-nyentuh bola tersebut, mengabaikan sekitarnya, lantaran si kucing heran dan takjub: benda apakah ini?
 
Orang memudahkan komunikasi, tetapi orang menciptakan jarak kemanusiaan dengan sesamanya. Segalanya menjadi mutlak dan harus. Orang mengira, kesembuhan harus mutlak dengan obat, dan mutlak dokter dan tenaga medis yang harus menangani. Selain itu, haram! Orang meyakini, benda-benda adalah mutlak. Selain benda---apakah itu pikiran dan daya hidup, haram dipakai untuk mengatasi kehidupan. Bahkan zaman yang disebut yang mutakhir ini pun terperangkap sendiri pada soal halal-haram, boleh-tak boleh yang begitu absolut. Membatu seperti berhala yang dipenggal oleh Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/02/di-batas-sebuah-kota/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar