Sunday, February 7, 2021

Iwan Simatupang, Sartre Indonesia

Sigit Susanto
 
Judul: Esai-Esai Iwan Simatupang
Penulis: Iwan Simatupang
Cetakan: I (Oktober 2004)
Penerbit: Buku Kompas
Tebal: 366 hal
 
Membaca karya sastra dalam bentuk novel, puisi, teater, atau cerpen, kita lebih sering dihadapkan pada imajinasi seni penulisnya. Dengan kata lain seluruh kekuatan seni menulis, gaya bahasa, pilihan tema menjadi prioritas. Sebaliknya pada penulisan esai, imajinasi seni sering tidak dikedepankan lagi, melainkan lebih mengutamakan wawasan, pengalaman, pandangan politik, dan sosial dari penulis bersa ngkutan. Faktor lain yang tak kalah penting pada penulisan esai adalah mengikuti secara intensif berita teraktual yang sedang beredar di masyarakat. Kualitas esai sering pula dinilai dari bagaimana esais mampu mengaplikasikan antara tema yang dipilih dengan banyak referensi buku bacaan. Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Akan tetapi Nietzsche justru berseberangan dengan argumen, orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi.
 
Pada buku “Esai-Esai Iwan Simatupang” ini, Iwan menulis 44 esai yang secara garis besar terbagi dalam tiga bagian. Bagian I: Masa Menjadi Guru SMU (1950-1955). Bagian II: Masa di Eropa (1955-1959). Bagian III: Masa Menulis Novel (1960-1970).
 
Buku setebal 366 halaman ini cukup menantang. Setidaknya untuk mengintip pandangan-pandangan seorang Iwan terhadap dunia sastra pada umumnya. Novel-novel Iwan, seperti: “Ziarah“ “Kering“, dan “Merahnya Merah“ bisa kita anggap sebagai ciptaan imajinasi seni Iwan. Pada esai-esai ini pembaca disodori sumpah serapah, emosional serta niveau intelektual seorang pengarang yang kritis. Kalau orang membicarakan kepengarangan Iwan, sering dikaitkan dengan gaya bahasanya yang berbeda dengan pengarang sezamannya. Atau kepengarangannya sering pula diparalelkan dengan tokoh eksistensialisme Perancis, Sartre atau Camus.
 
Pada esai berjudul “Sartre dan Konsekuensi“ (hal:75), Iwan tampak habis-habisan mendudukkan persoalan seorang Sartre yang dianggap hanyalah sebagai Ecce homo. Keterlibatan Sartre pada Partai Komunis Perancis, serta kesalahan tentara Rusia menduduki Hongaria, tak bisa dinilai secara separuh-separuh. Istilah yang dipakai Iwan harus dinilai secara totalitet. Kalau tidak ingin pincang menemukan sosok Sartre sebagai filosof. Pada esai itu disebutkan keretakan hubungan antara Sartre dan Camus dipicu lahirnya buku Camus berjudul “L`Home révolté“. Polemik Sartre-Camus dilangsir oleh jurnal  “Les Modernes Temps“. Jurnal yang didirikan oleh Sartre sendiri dan lebih banyak menganalisis hasil pemikirannya. Pada jurnal tersebut Camus mengakhiri perpisahannya dengan mengucapkan, ”Adieu, Monsieur le Directuur“-Bien, Bien.” Sartre menjawab, ”Au revoir, Monsieur Camus.“ Iwan pada esai ini tidak banyak menyinggung Camus. Justru ketertarikan Sartre pada marxisme, dibela oleh Iwan dengan membandingkan ketertarikan awal Dostojewsky pada sosialisme.
 
Pada buku Sartre ”L`Existentialisme estun humanisme” (Eksistensialisme Adalah Humanisme), Sartre menyitir pula pandangan Dostojewsky yang menyebut, ”Bila Tuhan tidak ada, semuanya bisa dibebaskan.“ Pandangan Dostojewsky tersebut bagi Sartre dianggap sebagai jalan keluar pemikiran eksistensialisme. Pada prinsipnya manusia terlempar ke dunia tanpa harus punya rasa beban bersalah. Sebaliknya mereka harus bebas. Sebab masa depan manusia terletak pada manusia itu sendiri. Mereka bisa dan harus mandiri. Di sini letak perbedaan sekaligus persamaan teori marxisme dengan eksistensialisme. Marxisme mengajak manusia menentukan masa depannya dengan kekuatan kolektif kaum proletar seluruh dunia. Artinya kaum proletarlah yang dapat dan harus mengubah sistem untuk masa depannya. Sebaliknya eksistensialisme menawarkan kemandirian menatap masa depan dimulai dari diri sendiri secara individu. Niscaya bila setiap individu sudah mampu mandiri, dengan sendirinya masyarakat bisa mengurus dan menjawab beban hidupnya di dunia.
 
Sebaliknya Camus menyebutkan pada bukunya ”L`Homme révolté“, kejahatan zaman kini bukan lagi dari anak-anak bersenjata, melainkan dari orang-orang dewasa yang berusaha mencari alasan dengan logika. Sejalan dengan itu pada buku ”Inspirasi? Nonsens!“ karangan Kurnia Jr mengutip perkataan Gunawan Mohamad sebagai berikut, ”Tokoh pada `Merahnya Merah` ada selalu unsur ke-Tarzan-an. Tokoh Iwan yang tak bernama dan disebut `tokoh kita` dan `dia` punya fisik mental yang kuat untuk memilih situasi yang paling keras sekalipun. …seperti pahlawan dalam sastra realisme-sosialis.“ Pada buku yang sama Kurnia Jr menyitir pendapat Arief Budiman, “Tapi kesulitan Iwan menurut saya, dia terlalu genit, bombas dengan ide-idenya. Dia menurut saya bukan pengarang. Dia lebih seorang esais atau kritikus. Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas menulis esai atau kritik.“
 
Lepas dari berbagai interpretasi terhadap kepengarangan Iwan, tetap saja Iwan telah pergi dan mewariskan guratan corak kepenulisan baru. Tampaknya Iwan lebih dekat dengan pemikiran Sartre daripada Camus. Pada beberapa esainya di buku ini dia sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk moral berlatar luas yakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia, Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiran Sartre. Sebab itu layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia.
 
Pada esa inya berjudul ”Manusia-souterrain“ (hal:43), dia berang dengan seorang berinisial H.S. Berawal dari pidato Iwan di sebuah radio, mendapat kritik pedas dari H.S yang dimuat di majalah ”Jaman Baru“ milik Lekra edisi 20 Juni 1953. Iwan ditantang bertemu H.S untuk berdialog. Tapi Iwan menolak dengan jawaban santai “Mari mencipta! Masih terlalu sedikit ciptaan dalam kesustraan kita. Yang banyak baru ngomongnya sa ja.” Apalagi kalau dikaitkan dengan prediksinya, bahwa masa produktif seorang pengarang berkisar antara 15-20 tahun. Masa itu penanya masih basah, khayalnya kaya. (Sekitar Surat Kabar Selentingan, hal:202).
 
Tentang proses kreatif pengarang, Iwan menurunkan esai berjudul “Kemungkinan- kemungkinan bagi Para Tunas Muda“ (hal:195). Dia memaparkan kejujuran Winston Churchill, peraih nobel sastra yang mengakui, karyanya “Memoires“ yang terdiri atas empat jilid sangat sukses. Kesuksesannya bukan karena mutu karyanya, malainkan Churchill menganggap lebih banyak disebabkan oleh pengaruh kepopuleran namanya sebagai negarawan dan pengarang.
 
Pengembaraan Iwan di negeri Eropa tak hanya mempelajari seni teater di Amsterdam, antropologi di Leiden, dan filsafat di Sorbonne, namun dia melakukan pengamatan pada perkembangan sastra di Belanda khususnya serta Eropa pada umumnya. Iwan mencontohkan seorang pengarang Belanda bernama Simon Vestdijk yang sangat berbakat saat itu. Pria bujang berusia 50 tahun itu dalam waktu setahun mampu menghasilkan tiga novel, satu kumpulan esai, dan satu kumpulan sajak. Karya-karya Vestdijk digemari dan selalu ditunggu-tunggu publik. Dalam pandangan Iwan keberhasilan sebuah karya lebih banyak ditentukan oleh bakat penulisnya. Penyair kenamaan Jerman, Rilke tak lepas pula dari kritiknya. Iwan menuduh Rilke penyair nyinyir, berdasar bacaan Iwan atas buku berjudul “Buku harian Malte Laurids Brigge“ (Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge). Iwan muak dengan ulasan panjang Rilke berhalaman-halaman hanya bicara tentang cat yang hampir pudar pada sebuah bingkai. Inginnya Iwan melemparkan jauh-jauh atau merobek-robek buku itu. Mitos seniman yang harus morat-marit hidupnya atau didepak dari asmaranya, seperti dilakukan Rilke tak seharusnya diteruskan. Cara demikian menurut Iwan seperti beribadah pada era romantik. Dari daratan Jerman Iwan meluruk ke Australia mempertanyakan kritik Harry Aveling perihal tak adanya humor sastra Indonesia yang sophiticated. Iwan memperkirakan humor model Indonesia sering tidak langsung. Puisi rakyat jelata kita adalah puisi alam bernada riang gembira. Dongeng-dongeng kita adalah folklore yang kocak tentang peri, jin, raksasa, dan roh nenek moyang kita. Singkatnya tanpa bakat alam akan humor ini, sudah sejak lama bangsa kita pupus dari muka bumi.
 
Dengan membaca kumpulan esai Iwan Simatupang ini, setidaknya pembaca bisa mendekatkan diri pada pola pikir pengarang yang pernah dijuluki sebagai pembaharu sastra Indonesia. Bagi pembaca yang datang dari generasi belakangan, terasa akan sedikit terganggu dengan banyaknya ungkapan bahasa Belanda yang dipakai Iwan. Mungkin pada zaman itu trend berbahasa Belanda menjadi barometer niveau intelektual seseorang. Pengantar Frans M. Parera berjudul “Visi dan Misi Seniman Pascarevolusi“ sampai 57 halaman, terlalu panjang. Terdapat kesalahan nomor jalan pada alamat Museum Multatuli di Amsterdam. Sekarang ini bukan di jalan Korsjepoortsteeg, No. 44, melainkan No. 20. (Museum Multatuli, hal:152).
 
***
http://sastra-indonesia.com/2020/09/iwan-simatupang-sartre-indonesia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar