Thursday, January 21, 2021

Labirin Produktivitas

Beni Setia *
lampungpost.com
 
Jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.
 
Memahami kasus Dadang Ari Murtono, cerpenis Jawa Timur, yang pada catur wulan akhir 2010 dan awal 2011 sangat produktif mempublikasikan karya di beberapa media massa cetak nasional dan lokal, bermakna belajar memahami “sihir psikologi” dari kepuasan melihat karya terpampang di halaman koran dan majalah. Sesuatu yang membuat seorang cerpenis kesohor pun terpukau dibandingkan dengan hanya melihat manuskrip tulis yang belum dipublikasikan, atau hanya terpampang di blog.
 
Jarak di antaranya itu yang disebut Budi Darma, di forum TSI 2010 di Tanjungpinang, sebagai laku kritik redaksional (redaktur) media massa yang tersembunyi tak pernah berterang mengumumkan kriterianya—generasi 1980, dengan mengutip Paulo Freire menyebutnya sebagai “kritik bisu”, dan Saut Situmorang menyebutnya sebagai politik sastra. Ketika sebuah cerpen dari sekian cerpen yang ditulis dan ditawarkan ke media massa di-acc serta terpampang di halamannya, maka sihir kemenangan di satu sisi, dan sukses penaklukan kriteria redaksional membubung. Bahkan terkadang menjadi kebanggaan legitimatif karena dimuat di koran X atau majalah Z dan bukan yang lain.
 
Celakanya, kebanggaan itu terkadang ditempelak yang lain sebagai kebetulan—mengutip tetangga Jawa saya—salah mangsa, tak berkompetisi ketat karena pada saat bersamaan tidak ada naskah yang baik untuk pembanding komparatif. Sebab itu, satu pemuatan mendorong melakukan penulisan berikut, serta sekaligus syahwat pemuatan berikut, untuk membuktikan yang pertama bukan kebetulan dan yang berikutnya akan menunjukkan kekhasan si bersangkutan—
 
karena itu itu menjadi ikon khazanah sastra mutakhir. Itu yang barangkali mendorong Dadang Ari Murtono tak hanya kreatif dan produktif menulis, tetapi ingin lebih sering dan beruntun (karya) terpublikasikan.
 
Ilusi yang diikuti dengan membuta, terutama saat cerpen Lelaki Sepi Kompas, (14-10-2010) membuat beberapa kawan di Jawa Timur terperangah dan bangga punya cerpenis unggulan masa depan. Sementara cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang lebih dulu terbit di Lampung Post justru memberi indikasi lain: ada bagian yang mirip teks cerpen Akutagawa—yang berasal dari satu cerita lisan di Jepang, yang juga mengilhami film Kurusawa. Di titik ini kita dipaksa berhati-hati dengan menyebutkan: Dadang melakukan kutipan tapi lupa etika menuliskan “dari mana kutipan itu berasal” di catatan kaki. Selain: apa ada upaya sadar melakukan deformasi serta dekonstruksi (teks) yang menyebabkan bisa dianggap karya sendiri—seperti si pelukis menggambar (ulang) Monalisa atau kaleng Coca Cola dengan teknik penggambaran ulang berbeda.
 
Sayangnya “pembenaran” itu dimentahkan oleh fakta, cerpen itu dimuat (lagi) di Kompas, yang menimbulkan ledakan kemarahan akan ketidakdisiplinan menawarkan satu cerpen ke satu media massa. Meskipun mungkin cerpen itu tertahan lama, kemudian ditawarkan ke media massa lain—masalah teknis. Tapi yang menohok, menelanjangi pola kreasi Dadang di satu sisi dan syahwat karya dimuat di media berwibawa di sisi lain, justru kasus cerpen Para Penutur Akutagawa Horison, Januari 2011. Sebuah cerpen yang jelas merupakan pengetikan ulang dari bagian novelet Kappa, karena itu S. Joga mengatakan Dadang hanya tukang ketik, sambil menghadirkan cerpen Dadang dan penggalan novelet Kappa dalam blog-nya.
 
Fenomena yang menunjukkan kala produktivitas menulis (cerpen) itu tidak pernah berbanding lurus dengan kreativitas dan orsinilitas (karya) yang menghasilkan tulisan yang diakui bermutu media massa cetak—dipampangkan di halaman seni-budayanya. Kreativitas itu satu hal, kadang berada di luar produktivitas, sedang orisinilitas selalu sulit diperoleh meski tiap pengarang selalu berusaha untuk tidak menulis dengan tata kalimat dan gaya yang sama ketika menuliskan topik yang sama. Ketaksadaran akan kodrat alamiah itu menyebabkan pengarang terjebak syahwat dimuat dan ada mau lagi dimuat agar mendapatkan legitimasi yang kukuh. Padahal setiap ilham dan setiap ujud teks orsinil itu tidak melulu milik si pengarang tapi milik mutlak Allah swt., dan jadi sesuatu yang diwangsitkan sebagai berkah dan kemurahan.
 
Berdimensi rahasia ilahiah, karena itu banyak cerpenis yang berbakat tetapi cuma menghasilkan beberapa karya. Seperti cerpenis Jawa Timur yang lain, Sony Karsono, yang dua dekade sebelumnya menunjukkan teknik dan cara bercerita yang orsinil, tapi setelah beberapa cerpen tidak terlihat memaksakan diri untuk menulis cerpen lagi. Ia merasa gagal, tak punya bakat menulis cerpen lagi, meski ia secara intelektual sangat gemilang dengan meneruskan potensi akademiknya di bidang psikologi—ia mendapat beasiswa, kuliah di Amerika Serikat, dan menulis disertertasi tentang sikap batin wong Jawa. Itu jalan lurus dari kesadaran akan keterbatasan, sekaligus mengembangkan apa yang lebih nyata dari anugerahkan Allah swt.
 
Hal yang sebenarnya dengan sangat halus disampaikan R. Giryadi pada Dadang, agar tak tergoda ilusi over produktif—sekaligus terjebak syahwat selalu terpampang di lembaran media massa cetak. Bersabar meniti tahap demi tahap kematangan. Karena tudingan bahwa karya plagiat atau menelad karya lain bahkan bisa jadi cambuk untuk maju, dengan lebih kreatif dan orsinil menulis. Di 1954, cerpen Ajip Rosidi, Malam Jika Tiba dan Perjanjian dengan Maut dianggap meniru cerpen Stepen Vinet Benet, sedang Perhitungan dengan Diri Sendiri dituduh meniru cerpen Maxim Gorki. Ajip Rosidi bereaksi secara khas: ia tidak mempercayai lagi fantasi dan menulis cerpen dan novel berdasar pengalaman autobiografik yang unik serta personal—kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, misalnya.
 
Atau sastrawan Sunda Godi Suwarna, yang di dekade 1980 cerpen pertamanya tembus Kompas, dan lalu dianggap curian dari penggalan novel S. Sinansari Ecip, Kursi Pemilu, karena itu di-blacklist. Ia lari ke sastra Sunda, dan jadi si salah satu sastrawan kontemporer Sunda terkuat, yang puisi, cerpen, sereta novelnya diakui paten. Dengan kata lain, jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.
***

*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya. http://sastra-indonesia.com/2011/02/labirin-produktivitas/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar