Wednesday, January 6, 2021

Kesederhanaan, Bahasa Puisi, dan Imajisme

Indra Tjahyadi
sinarharapan.co.id
 
Bahasa puisi memanglah bahasa yang indah. Akan tetapi, ia tidaklah harus berarti hiperbolis. Dalam kata lain bahasa puisi, bisa saja terjadi dari bahasa-bahasa yang terkesan sederhana sekali. Misalnya dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Emily Dickinson, Joko Pinurbo atau Ezra Pound.
 
Dalam puisi-puisi karya mereka, bahasa yang hadir seakan-akan mencerminkan suatu kesederhanaan, tanpa adanya usaha untuk melebih-lebihkan, pendeknya: terkesan non-hiperbolis. Meskipun demikian, hal ini tidaklah dapat secara serampangan dikatakan bahwa puisi-puisi mereka minim imaji. Sebab dengan memaksimalkan kesederhanaan berbahasa, imaji-imaji yang muncul dalam puisi-puisi mereka justru terkesan tajam dan tidak basa-basi.
 
Ini adalah hal yang mengherankan. Seperti juga yang terlihat pada puisi Bertolt Brecht yang berjudul “Schicke mir ein Blatt” (Tinggalkan Sehelai Daun Untukku):
 
Bila kau pergi merantau
Berangkatlah, aku akan terus
Menantimu di sini.
Namun tinggalkan sehelai daun
Untukku, yang kau petik dari
Ranting pohon mawar di jendela
Kamarmu.
Agar aku tidak terlalu rindu.
(1996: 9)
 
Kesan yang sama, dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini, juga dapat ditemui dalam puisi-puisi karya Medy Loekito. Salah satunya pada puisinya yang berjudul “Iowa River”:
 
mengalir sungai
pada angin yang memberi
mengalir waktu
pada usia yang mencari
(2003: 132).
 
Nama Medy Loekito adalah sebuah nama yang tidak asing lagi dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini. Ia bahkah terhitung salah satu dari sekian nama besar penyair perempuan Indonesia terkini. Meskipun bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya, seperti pada puisinya di atas, terkesan sederhana. Akan tetapi ia dapat dengan maksimal mengimajikan apa yang ia tangkap dari sebuah sungai Iowa. Begitu juga pada puisi-puisi karya F. Azis Manna dalam kumpulan puisinya Kumelambungkan Cintaku (Gapus, 2003). Cobalah saja tengok puisinya yang berjudul “Surau”:
 
suara itu begitu akrab didengar
tanpa sadar, ia menirukannya
pelan-pelan dan tertahan?
ia teringat ayahnya
waktu dikuburkan.
(2003: 9)
 
Kesederhanaan bahasa puisi disertai penukikan ke alam imaji yang demikian ketat, yang diperlakukan oleh Bertolt Brecht, Medy Loekito ataupun F. Azis Manna melalui puisi-puisinya tersebut jelas-jelas mengingatkan saya pada gagasan puisi Imajis.
 
Dalam puisi Imajis, pemaksimalan minimalitas bahasa dibarengi dengan penukikan ke arah imaji. Sehingga bahasa puisi terkesan hadir dengan semangat kesederhanaannya. Dick Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya Pemandu di Dunia Sastra berpendapat bahwa pada puisi-puisi aliran Imajis ini terdapat sebuah pengaruh dari simbolisme Prancis, puisi-puisi Cina dan juga puisi haiku Jepang (1986: 63). Untuk kasus pengaruh puisi haiku Jepang dalam puisi Imajis, yang digunakan bukanlah acuan persajakan-persajakan yang telah tetap dan konvensional, melainkan tenaga-tenaga asasi yang telah menghidupi puisi haiku Jepang.
 
Hal ini disebabkan, merujuk pada Subagio Sastrowardoyo, kebanyakan penyair Imajis memang telah menerima pengaruh persajakan haiku. Hal ini, menurutnya, diperlihatkan pada kehematan dalam menyampaikan ekspresi pada puisi-puisi Imajis, serta pembatasan pada satu kesan atau perasaan saja yang juga menjadi asas pengucapan sajak haiku Jepang.
 
Pada larik-larik puisi karya F. Azis Manna tersebut dapatlah dilihat kelugasan bahasa yang dipergunakan F. Azis Manna dalam puisinya tersebut, guna untuk menghadirkan imaji. Hal ini menimbulkan efek kesan bahwa puisi F. Azis Manna tersebut hadir dengan bahasa yang biasa. Meskipun demikian hal tersebut bukan berarti mengurangi ketajaman imaji yang coba untuk dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam puisinya tersebut.
 
Kesan penggunaan bahasa yang biasa, dalam artian tidak hiperbolis, pada puisi F. Azis Manna yang berjudul “Surau” tersebut justru menimbulkan efek gambaran imaji yang tajam. Keinginan F. Azis Manna untuk menghadirkan gambaran imaji tentang seorang anak pada penguburan ayahnya ketika ia mendengar suara adzan, justru hadir secara tepat dengan penggunaan bahasa yang terkesan biasa dalam puisinya tersebut.
 
Hal ini mengingatkan saya pada teori “a direct treatment of the thing” dari gagasan puisi Imajis. Maksudnya, bahwa dalam puisi-puisi Imajis, gambaran imaji hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan “the thing”. Dan untuk mencapai hal tersebut, puisi-puisi Imajis memakai bahasa yang biasanya terkesan biasa, dan bebas dari paksaan metrum.
 
Sejalan dengan pendapat tersebut, Subagio Sastrowardoyo, dalam bukunya yang berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1983: 13) berpendapat, bahwa hal tersebut di atas terjadi karena puisi-puisi Imajis menginginkan agar puisi dapat meng-image kesan-kesan dan perasaan, yakni dengan membayangkan pengalaman-pengalaman tersebut secara konkret dan keinderaan dengan pemberian batas-batas lukisan yang jelas dan tegas.
 
Dalam puisi Imajis bayangan dunia lahir harus diterima di dalam yang lahir itu juga. Dalam puisi Imajis, bayangan yang objektif dan keinderaan sering tidak memperkenankan penafsiran kepada makna-makna yang abstrak. Subagio Sastrowardoyo berpendapat, bahwa hal tersebut dikarenakan subjek puisi Imajis cenderung mencukupkan diri pada satu kesan atau perasaan saja dengan tidak disangkutkan pada pengalaman-pengalaman yang lebih luas dan dalam (1983: 14).
 
Sampai di sini, saya tiba-tiba teringat dengan salah satu puisi karya Gu Cheng, salah seorang penyair terkenal RRC, yang berjudul “Garis Lengkung”:
 
Seekor unggas di tengah badai
Cepet-cepat mengubah arah
Seorang remaja memungut
Satu sen
Dalam fantasi pohon-pohon anggur
Menjulurkan belalainya
Ombak ketika surut
membungkukkan punggungnya
(Kalam, edisi 4-1995: 125).
 
Keinginan yang menggebu dari Gu Cheng untuk menghadirkan gambaran imaji tentang garis lengkung dalam puisinya tersebut tidak memperkenankan munculnya interpretasi yang abstrak atas bayangan objektif dan keinderaan yang ingin disampaikannya. Sehingga gambaran imaji sebuah garis lengkung yang ingin dihadirkan Gu Cheng pada puisinya yang berjudul “Garis Lengkung” tersebut menimbulkan pemahaman bahwa bayangan dunia lahir harus diterima di dalam dunia lahir itu juga.
 
Meskipun Imajis menyukai puisi-puisi yang pendek dengan mempergunakan kata-kata yang setepat-tepatnya dan sehemat-hematnya, serta cenderung untuk menekankan diri pada pengalaman konkret, bukanlah berarti bahwa puisi-puisi Imajis telah kehilangan daya kontemplatif sebuah puisi.
 
Dengan penggunaan puisi-puisi yang pendek dan tajam sifatnya, serta adanya keyakinan dalam puisi Imajis bahwa inti sari sebuah puisi adalah konsentrasi, justru membuat puisi-puisi Imajis hadir dengan daya kontemplatif puisi yang tak kalah besar dan tingginya. Bahkan hal tersebut bagi pembacanya, dalam menghadapi puisi-puisi Imajis, demikian mungkin untuk tidak dapat menghindarkan diri dari penafsiran yang abstrak, bersifat religi atau filsafat, karena terbawa oleh suasana dan angan-angan yang dihidupkan di dalam diri pembaca oleh bayangan di dalam puisi. Seperti yang terlihat puisi karya F. Azis Manna, dalam kumpulannya tersebut, yang berjudul “Senggama”:
 
ranting
patah
jatuh
menancap di tanah
sunyi tertembus suara
(2003: 8).
 
Atau juga pada puisinya yang berjudul “Uzlah I”:
 
musim kemarau datang
dari selatan angin kencang
meliuk di dahan
menerbangkan bulu-bulu
bunga randu
seorang tua di tepi jalan raya
(2003: 10).
 
Meskipun kedua puisi karya F. Azis Manna tersebut pendek (masing-masingnya berisi 5 larik dan satunya lagi 2 bait dengan bait terakhir yang hanya berisi 1 larik), pun dengan bahasa yang terkesan minim hiperbolis sekali, akan tetapi dengan daya konsentrasi yang tinggi yang diakibatkan oleh tajamnya gambaran imaji yang coba dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam kedua puisinya tersebut, membuat puisi-puisi karya F. Azis Manna tersebut hadir dengan daya kontemplatifnya yang demikian terasa kuat.
 
Pada akhirnya, bahasa puisi tidaklah melulu selalu menggunakan bahasa yang hiperbolis, melainkan lewat kesederhanaannya pun sebuah puitisasi bisa saja terjadi seperti yang terlihat pada puisi-puisi dengan gaya. Meskipun puisi Imajis ini, pada mulanya, hadir sebagai reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan unsur emosionalitas yang teramat besar pada khazanah perpuisian pada masa Perang Dunia (PD) I. Dan pada mulanya, ia merupakan sebuah gerakan dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika menjelang PD I. Puisi Imajis ini dipengaruhi oleh T.E. Hulme dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Selain kedua nama tersebut, Imajis juga diwakili oleh Amy Lowell, Richard Aldington, Hilda Doolittle, Jhon Goold Fletcher dan FS Flint.
***

*) Penyair, esais, Staf Pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. http://sastra-indonesia.com/2009/03/kesederhanaan-bahasa-puisi-dan-imajisme/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar