Tuesday, January 5, 2021

WAFATNYA JOEN SOEGANDA

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Bagi orang sepenting Joen Soeganda---yang kaya dan berkuasa, kepergiannya meninggalkan dunia fana ini disebut “wafat” atau "mangkat". Dan bagi yang tidak sepenting Joen Soeganda, orang akan menyebut kematian seseorang dengan kata “tewas”, “mati”, “modar”, “beres”, “selesai”, “tamat”, atau “dead”. Kata-kata kasar seperti itu sangat tidak layak untuk menyebut kematian Joen Soeganda. Siapa yang berani berkata seperti itu? Joen Soeganda bukan orang sembarangan! Dia orang mulia, orang agung, baik, kaya raya, gemar memberi sembako sama orang-orang miskin. Bahkan kata “wafat” untuk menyebut kematiannya pun terasa kurang sopan.
 
Pagi itu adalah pagi yang merekah. Cahaya matahari bersinar cerlang menyambut jenazah Joen Soeganda dari luar negeri. Selama seminggu lebih, Joen Soeganda yang sudah berusia 97 tahun itu dirawat di rumah sakit paling bagus di luar negeri. Dokter mengerahkan seluruh kemampuan dan pengalaman kedokterannya selama bertahun-tahun, begitu berhati-hati, dan melakukan pemantauan setiap detik terhadap pasien agung itu. Tapi apa boleh buat? Tuhan berkehendak lain. Joen Soeganda wafat tepat setelah tiga bulan ia merayakan ulang tahunnya yang ke-97.
 
Siapa yang tidak tahu Joen Soeganda. Di tanah air, ia sosok yang hebat. Apa saja yang dipegangnya jadi emas. Ia memegang lumpur, lumpur jadi emas. Ia menyentuh kelereng, kelereng jadi emas. Ia membelai tepung, berton-ton tepung menjelma emas. Ia berhasil menciptakan kerajaan bisnis yang meraksasa di segala sektor. Negara selalu meminta pertolongannya untuk mengentaskan pengangguran dalam negeri, membujuknya memulihkan perekonomian bangsa.
 
Pagi itu, para pelayat berjubel memenuhi istana Joen Soeganda. Para pelayat yang terdiri dari orang-orang penting dalam pemerintahan, dari pejabat kecil sampai pejabat besar, tokoh masyarakat, dan tamu mancanegara. Orang-orang penting berkumpul di ruang tamu istana Joen Soeganda, rumah dan halamannya seluasnya dua hektar lebih. Kursi-kursi mewah berlapis emas. Orang-orang yang setengah penting berkumpul di teras istana yang berlantai kaca dengan kolam ikan di bawahnya. Orang-orang yang tidak penting berkerumun duduk di lantai granit halaman istana Joen Soeganda. Dan orang-orang yang sangat tidak penting, nongkrong di tepian jalan aspal di depan istana Joen Soeganda. Jalanan tertutup manusia. Tangis mengharu biru. Keluarga menunjuk seorang tokoh agama untuk menyampai sepatah kata sambutan mewakili keluarga Joen Soeganda yang terdiri dari seorang istri, seorang anak laki-laki, dan tiga orang anak perempuan. Tokoh agama yang sering muncul di tivi itu tampil ke hadapan ribuan pelayat, mengenakan songkok putih yang bertengger di kepalanya, berjubah putih, berambut hitam, alisnya hitam. Ia adalah tokoh agama, pendakwah yang cukup muda dengan empat orang istri. Dipanggil ustadz muda dengan ribuan jamaah. Ia akan menyampaikan sepatah kata sambutan mewakili keluarga besar Joen Soeganda sebelum jenazah diberangkatkan dengan Baby Benz ke pemakaman keluarga.
 
“Saudara-saudaraku, puji syukur kepada Tuhan. Saya mewakili keluarga yang mulia Bapak Joen Soeganda, mengucapkan terima kasih yang mendalam atas kehadiran saudara-saudara di rumah duka. Kita berduka amat sangat mendalam atas kepergian yang mulia Bapak Joen Soeganda, tokoh kita yang dermawan, yang selalu mengeluarkan uangnya buat orang-orang miskin, orang yang dengan tulus memulihkan perekonomian negara kita, orang yang tiada bandingnya, kaya raya dan baik hati suka tersenyum. Tuhan telah memanggilnya dengan cinta-Nya yang luhur…” kalimat tokoh agama itu terputus di tenggorokan. Air mata mengalir ke pipinya. Ia mengusap air mata di pipinya. Ia terisak begitu pedih. “Kita semua merasakan kehilangan yang sangat mendalam,” lanjutnya.
 
Orang-orang tertunduk haru. Orang-orang menangis. Beberapa orang histeris. Air mata tumpah, tangis yang dalam dan membiru.
 
“Kita semua akan menyembahyangkan yang mulia Bapak Joen Soeganda sebelum jenazahnya yang suci dimakamkan. Saya minta semua melakukan penyembahyangan. Agama kita menjelaskan, bahwa jenazah yang disembahyangi lebih dari 40 orang, jenazah tersebut akan langsung masuk surga. Kita di sini bukan 40 orang. Kita di sini ribuan orang. Ribuan orang akan menyembahyangkan jenazah yang mulia Bapak Joen Soeganda tercinta. Beliau pasti masuk surga, yang mulia Bapak Joen Soeganda pasti disambut oleh Allah, karena kita yang akan menyembahyangkannya berjumlah ribuan orang.”
 
Tangis-tangis makin histeris. Tapi suasana tetap hikmat.
 
“Mari kita berdoa dan menyembahyangkan dengan khusyuk agar beliau langsung masuk surga dan diterima Allah dengan cinta-Nya.”
 
Orang-orang menyambut ajakan tokoh agama itu dengan hikmat, mendalam, dan bersungguh-sungguh.
 
“Tuhan Maha Besar.”
 
“Maha Agung Tuhan.”
 
“Puji Tuhan.”
 
“Damai-damai.”
 
“Innalillahi wa innailaihi roji’un.”
 
“Saudara-saudara tercinta, para pelayat yang dimuliakan Allah. Mari kita menyembahyangkan jenazah yang akan langsung masuk surga ini, yang mulia Bapak Joen Soeganda, yang telah ditunggu-tunggu Tuhan di surga-Nya yang maha tinggi.”
 
Sembahyang jenazah pun dilakukan. Ribuan orang melakukan sembahyang jenazah. Jalanan penuh orang melakukan sembahyang jenazah. Ada yang hanya berdiri tegak sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. Ada yang begitu khusyuk menyilang tanda salib pada dadanya. Semua berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dan setelah sembahyang jenazah selesai, tokoh agama itu kembali menyampai sepatah kata terakhir mewakili keluarga Joen Soeganda, orang yangvkaya raya selama hidupnya.
 
“Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah. Yang mulia Bapak Joen Soeganda jelas tidak mempunyai hutang semasa hidupnya. Beliau kaya raya, bisnis dan perusahaannya di mana-mana memenuhi negeri ini, mana mungkin dia punya hutang kepada sesamanya? Beliau suka memberi uang kepada sesamanya, yakni sembako sama orang-orang miskin dan hadiah-hadiah. Beliau tidak pernah punya hutang kepada siapa pun. Kitalah yang telah banyak berhutang kepadanya. Dan hingga beliau wafat, kita belum mempertanggungjawabkan hutang-hutang kita kepadanya. Betul, saudara-saudara?”
 
“Betul.”
 
“Benar.”
 
“Joen Soeganda tidak pernah berhutang.”
 
“Kitalah yang banyak meminta.”
 
“Kita yang banyak berhutang.”
 
“Kamilah yang seharusnya membayar.”
 
Orang-orang menjawab bersahutan. Tokoh agama itu kembali mengambil alih keadaan.
 
“Baik! Baiklah, saudara-saudara. Yang mulia Bapak Joen Soeganda tidak punya hutang sepeser pun selama hidupnya, beliau selalu memberi. Beliau tidak punya hutang budi kepada siapa pun. Beliau tidak punya hutang hak kepada siapa pun. Beliau bersih lahir dan batin. Betul, saudara-saudara?”
 
“Betul.”
 
“Benar.”
 
“Joen Soeganda tidak punya hutang budi.”
 
“Joen Soeganda tidak punya hutang hak.”
 
“Kitalah yang berhutang budi dan hak kepadanya.”
 
“Joen Soeganda tidak punya salah sedikit pun.”
 
“Kitalah yang banyak salah selalu merepotkannya.”
 
“Baik! Baiklah, saudara-saudara. Maka dengan ini, yang mulia Bapak Joen Soeganda saya nyatakan tidak punya tanggungan apa-apa terhadap kita yang masih hidup. Dari semua bisnis dan kehidupan yang dijalani Bapak yang mulia Joen Soeganda bersih lahir dan batin. Setujukah, saudara-saudara?”
 
“Setujuuuuuu….”
 
Orang-orang serentak.
 
“Baik! Baiklah, saudara-saudara. Terima kasih atas perhatian dan kehadirannya. Atas nama keluarga Bapak yang mulia Joen Soeganda, saya menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam. Sekian.”
 
Jenazah diusung dengan peti yang mewah, berlapis emas. Peti mati yang berisi jenazah Joen Soeganda itu dimasukkan ke dalam Baby Benz. Iring-iringan jenazah begitu padat dan ramai. Aparat keamanan sibuk mengamankan. Baby Benz berjalan pelan menuju pemakaman keluarga besar Joen Soeganda. Orang-orang miskin dan bersandal jepit, sebagian malah tak beralas kaki, berbaju kotor dan compang-camping berjajar sepanjang jalan memadat. Mereka melepaskan jenazah Joen Soeganda, orang terkaya di negeri itu. Baby Benz berjalan pelan menuju pemakaman keluarga Joen Soeganda, Baby Benz mengantarkan Joen Soeganda ke surga.
 
Selang beberapa hari kemudian, di selokan kota ditemukan mayat perempuan telanjang. Kedua matanya melotot, mulutnya dikerubung semut, lehernya tercekik. Orang-orang menutup hidung, bau busuk menikam hidung manusia. Petugas mengamankan jenazah korban kejahatan itu.
 
“Dasar sundal!”
 
“Pelacur!
 
“Mampus!”
 
“Neraka!”
 
Mobil jenazah petugas mengangkut mayat perempuan telanjang itu. Seseorang berbisik pada kawannya; “ke mana mobil jenazah itu pergi?”
 
“Ke neraka!” jawab kawannya.
 
“Kenapa begitu?”
 
“Sudahlah. Orang miskin ke neraka. Orang kaya ke surga. Orang bodoh diceramahi. Orang tolol kayak kamu, baiknya diam saja!”
 
“Lalu apa makna hidup ini?”
 
“Hidupmu susah, segalanya bagimu harus bermakna. Jangan mencari makna hidup, itu hanya dicari orang-orang kaya dan kaum yang memakai baju agama yang berdakwah ke mana-mana. Sedang kita yang paling penting bagaimana bisa hidup, bukan makna hidup, bukan pula makna agama.”
 
“Ke mana mobil jenazah membawa mayat tragis itu?”
 
“Neraka!”
 
Banyuwangi, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/01/wafatnya-joen-soeganda/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar