Thursday, November 12, 2020

Sastrawan Iman Budhi Santosa, Sastra, dan Pohon-Pohon

Junaidi Khab *
Lampung Post, 22 Jan 2017
 
Iman Budhi Santosa merupakan salah satu penyair Yogyakarta. Berkat tulisannya di media dia bisa lepas dari penangkapan, penjara pemerintahan Orde Baru. Suatu ketika, saat dia sedang duduk diskusi di lesehan, tiba-tiba ada razia. Semua masyarakat diminta kartu identitas. Sebagai gelandangan yang berpendidikan alam, dia tak begitu terpikirkan oleh kartu identitas. Saat akan ditangkap, dia melakukan dialog. Dia tak mengantongi kartu tanda penduduk atau kartu keluarga yang berlaku. Akhirnya, dia menunjukkan tulisannya yang dimuat, tentunya dengan identitas di dalamnya. Maka setelah itu, dia bebas sebagai warga negara yang berperilaku baik.
 
Begitu sekelumit perjalanan Iman Budhi Santosa yang kental dengan karya-karya puisinya yang penuh  nadi-nadi kehidupan. Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan formal, dia bukan seorang akademisi yang diatur oleh sistem. Tapi, pendidikannya terlahir dari rahim semesta. Mungkin, jika kita bandingkan, dia tak jauh berbeda dengan D Zawawi Imron – Sumenep, Madura. Mereka bagian dari manusia antik yang didikannya diberikan oleh alam. Sehingga, jika kita berbincang dengannya akan menemukan anak-anak alam dari pembicaraannya yang membuat nurani terobati.
 
Saat saya berkunjung ke kediamannya di Yogyakarta, beberapa deretan buku di atas rak menjadi ikon dunia akademisnya. Usianya yang mendekati senja tak memupuskan spirit hidupnya untuk terus mengajak menemui anak-anak alam yang terkandung di lingkungan sekitar. Ingatannya cukup begitu tajam dan cara bicaranya sangat bening, sebening naluriah hutan yang penuh dengan buaian oksigen bagi keberlangsungan hidup umat manusia.
 
Naluri Literasi
 
Sebuah spirit hidup yang dibangun oleh Iman Budhi Santosa merupakan seonggok fondasi yang mampu membuat dirinya tetap kukuh menjalani usianya yang dimakan waktu. Menurutnya, karya sastra itu lahir dari alam dan segala pengalaman ruh manusia tentang sesuatu yang membuatnya merasa nyaman, puas, dan penuh dengan kebahagiaan. Itu, yang bisa kita sebut dengan pengetahuan. Budhi Santosa ibarat puncak dari jantung literasi. Nafas-nafasnya terembus dari aspek keilmuan yang ditemukan di balik semak-semak dan lipatan-lipatan kertas berisi noktah rahasia kehidupan. Dari nafas-nafasnya, dia menekuni dunia literasi sebagai jalan hidupnya.
 
Beberapa deretan buku menjadi bukti bahwa dia hidup dalam pedagogi kesusasteraan dengan menekuni dunia baca dan tulis. Membaca bukan hanya terbatas pada lembaran-lembaran buku di atas raknya. Tapi, jauh dari itu, dia membaca alam dan segala sesuatu yang diciptakan oleh penguasa semesta. Sehingga, cakrawala pemikirannya tetap terasa bening bagai setetes embun yang mengalir di dahan-dahan dan reranting pepohonan kehidupan.
 
Seperti yang dia ungkapkan bahwa karya sastra – khususnya di Indonesia, lahir dari rahim alam semesta yang berhasil dikuak. Begitu pula dengan tulisan-tulisan para penulis tersohor, karyanya juga berangkat dari fenomena alam. Hakikatnya, manusia dan masyarakat Indonesia di Jawa menurutnya, merupakan manusia yang hidup dengan pohon-pohon. Dari pohon-pohon itu kembali lahir sebuah kehidupan baru. Tetapi, di era modern saat ini, masyarakat Indonesia hampir kehilangan jati dirinya demi mengikuti gaya orang lain yang bukan hakikat dirinya. Ibarat kita yang lumrah makan nasi, lalu makanan pokok itu mau diganti dengan roti dan kurma, jadilah diri kita terhimpit.
 
Rahasia Empat Jilid Buku
 
Di tengah perbincangan, Budhi Santosa sempat membicarakan perihal nama-nama pepohonan atau tumbuhan dan segala yang berhubungan dengannya. Di Indonesia – Jawa, katanya ada beberapa daerah yang diberi nama bersumber dari nama bagian pepohonan atau tumbuhan. Hal itu mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia hakikatnya dekat dengan alam. Sehingga nama-nama daerah mereka disebut dengan nama bagian dari pepohonan. Misalkan desa Alang-Alang di Jawa Timur, di daerah Bangkalan, Dukuh (Kupang) dan Bungur nama daerah di Surabaya, Paterongan (Jombang), Kangkung dan Gebanganom (Kendal, Jawa Tengah), Sawit dan Semanggi (Surakarta, Jawa Tengah), dan Papringan (Yogyakarta).
 
Pada kesempatan itu, saya dihidangi empat jilid buku berjudul Pohon Berguna Indonesia yang ditulis oleh K. Heyne berdarah Belanda-Jerman, bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Buku itu merupakan kamus botani. Di dalamnya ada beberapa nama tumbuhan dan sebangsanya berikut dengan penjelasan dan kegunaannya pada masa dahulu oleh nenek moyang masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
 
Empat jilid buku tersebut memiliki daftar-daftar nama tetumbuhan yang diambil dari asalnya masing-masing. Di sekitar kita, banyak tetumbuhan dan pepohonan. Tapi, kita banyak tidak tahu nama-nama tersebut. Padahal, pohon atau tumbuhan itu memiliki nama dan kegunaan bagi kehidupan. Sebagaimana firman Tuhan di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 26 bahwa Dia tidak akan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan seperti nyamuk masih ada manfaatnya.
 
Saya merasa terhenyak ketika mencari tetumbuhan dengan nama lokal di Sumenep, Madura. Di dalam buku itu diulas perihal ciri-ciri hingga kegunaannya. Pada saat itu pula, saya berpikir bahwa saya – khususnya bangsa Indonesia – akan banyak kalah langkah dengan orang non-pribumi yang telah mengetahui nama tetumbuhan atau pepohonan di Indonesia yang kadang kita tidak tahu bahkan tidak mau tahu. Tak heran, jika bangsa kita mudah dijajah dan dipermainkan oleh bangsa Asing. Sementara, Prof. Manu – seorang islamolog di Yogyakarta – mengingatkan bahwa Belanda telah memiliki data-data nama daerah di seluruh pelosok Indonesia. Jadi tak heran jika mekanisme jajahannya berlangsung lama.
 
Sejatinya, masyarakat Indonesia lebih dekat dengan alam seperti pohon-pohon atau tetumbuhan sehingga mereka dijuluki masyarakat agraris. Dari proses alam ini, mereka menghasilkan berbagai corak seni, budaya, karya sastra, dan segala macam pengetahuan yang memiliki peranan penting bagi proses hidup. Bangsa Indonesia memang kaya, tapi kadang kekayaannya sering dilupakan dan melihat kekayaan orang lain yang tak mungkin didapat dengan jati diri mereka tanpa memiliki kapasitasnya. Sehingga, produk gagal dan menjadi boneka bangsa Asing menggerogoti diri kita secara perlahan.
 
Maka dari itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus menaruh perhatian yang dalam terhadap jati diri kita sebagai masyarakat yang hakikatnya hidup dengan pohon-pohon dan tetumbuhan, tapi bukan pada beton-beton serta baja yang menjadi perusak kehidupan umat manusia. Mari kembalikan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang benar-benar hidup di atas kaki sendiri tanpa pengaruh dan intervensi bangsa Asing agar tetap menjadi bangsa yang kuat!
***
 
*) Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2020/11/sastrawan-iman-budhi-santosa-sastra-dan-pohon-pohon/   

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar