Peresensi: Ali Audah *
The Day the Leader was Killed
Penulis: Naguib Mahfouz
Penerjemah: Malak Mashem
Penerbit: Anchor Books, New York, 2000
majalah.tempointeraktif.com
“My pride wounded and my heart broken, I wander aimlessly
about like a stray dog. The heat does away with the pleasures of walking. Café
Riche is a refuge from the pain of loneliness. …This is a temple where
offerings are made to the late hero, who has become a symbol of lost hope, hope
for the poor and the alienated…” (Dari “Elwan Fawwaz Muhtashimi” dalam The Day
the Leader was Killed).
Di sebuah subuh, ketika Muhtashimi bangun tidur, yang
pertama dilakukan adalah berdoa. Setelah itu ia berwudu dan melaksanakan salat
subuh. Ia bersyukur, dalam usia setua itu masih bermanfaat. “Aku sudah tua,
tapi sehat. Alhamdulillah.” Tiga zaman pernah dirangkumnya berturut-turut.
Selintas lalu, ia melompati beberapa kekuasaan politik: Masa Raja Fuad I sampai
zaman revolusi.
Ketika Hanaa, menantunya, memberitahukan sarapan sudah
disiapkan, tak lupa ia bersyukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan kepadanya.
Mereka hanya makan kacang dan falafel, makanan murahan serupa. Tetapi, bagi
Muhtashimi, dua macam makanan ini lebih penting daripada Terusan Suez. Ia
mengenang masa lalu sebagai ciri orang lanjut usia zaman telur, keju, pastrami,
dan selai sudah berlalu. Itu terjadi sebelum masa Infitah masa desentralisasi
dan diversifikasi ekonomi zaman kebijakan pintu terbuka ekonomi Anwar Sadat.
Inilah novel Mahfouz yang terjemahannya dalam bahasa
Inggris oleh penerbit Anchor Original baru saja beredar di Jakarta dengan judul
The Day the Leader was Killed (diterjemahkan dari bahasa Arab dengan judul Yaum
qutila al-za-”im).
Sesungguhnya, teknik penulisan novel yang tebalnya
sekitar 100 halaman ini tidak baru dan sudah sering dilakukan oleh sastrawan
terkemuka sebelumnya, seperti J.D. Salinger. Teknik Mahfuz kali ini adalah
dengan menggunakan nama tokoh-tokoh pelaku sebagai judul tiap bab. Bab satu,
misalnya, berjudul Muhtashimi Zayed, bab dua berjudul Elwaan Fawwaz Muhtashimi,
sedangkan bab tiga adalah Randa Sulayman Mubarak. Pada bab-bab berikutnya, nama
ini berulang bergantian, sesuai dengan jalan cerita.
Muhtashimi Zayed adalah sang kakek, sedangkan Elwan
Muhtashimi cucu lelaki Muhtashimi. Randa adalah gadis tetangga teman sekolah
Elwan yang jelita dan berpendirian teguh. Pada tiap bab mereka dibiarkan
berkisah sebagai “aku” yang mengutarakan pengalamannya, cita-cita, pandangannya
tentang peristiwa dan kehidupannya. Di dunia sastra Indonesia, kita juga
mengenal teknik penulisan semacam ini, yang dilakukan oleh Umar Kayam dalam
novel Para Priyayi.
Dari bab-bab itu, kita kemudian mempelajari bagaimana
keluarga itu rajin meriung sambil berdiskusi. Suatu saat mereka berbincang dan
kita paham betapa penghasilan mereka—anak dan menantu—uang pensiunnya, ditambah
gaji Elwan, yang digabung semua, masih jauh dari mencukupi. Mereka tinggal di
sebuah flat tua, kecil, dan sangat sederhana, menghadap ke Sungai Nil, di
tengah gedung-gedung yang menjulang tinggi yang dihuni oleh para keluarga kaya.
Mereka bertetangga dengan Sulayman Mubarak, yang juga
sudah tua dan sakit-sakitan, bersama istri dan anaknya, Randa, yang menempati
flat setingkat di atasnya. Cucu Muhtashimi berteman dengan Randa sampai mereka
lulus sekolah menengah dan bekerja di kantor Anwar Allam. Keduanya sudah dipadu
dalam cinta kasih. Setelah mendapat persetujuan kedua keluarga, pertunangan
mereka diumumkan. Tetapi setelah berlangsung 11 tahun, mereka belum juga dapat
segera melaksanakan pernikahan. Akibat kebijakan Infitah, keluarga Muhtashimi
dan keluarga Sulayman mengalami kesulitan ekonomi.
Anwar Allam, atasan yang sudah berumur 50 tahun tapi
masih bujangan, tinggal dengan adiknya, Gulstan, seorang janda kaya. Dengan
cerdik, Anwar menjodohkan Elwan dengan Gulstan karena dia sendiri berminat
kepada Randa. Anwar adalah lelaki yang hanya memiliki satu ukuran dalam hidup:
uang. Randa, yang melihat sikap Elwan berangsur dingin kepadanya akibat tipu
muslihat Anwar, mengira cinta Elwan sudah berpindah kepada Gulstan. Randa
terjebak ke perangkap Anwar, yang kemudian melamar resmi kepada orang tuanya.
Hidup Randa berakhir tragis. Tipu muslihat Anwar berhasil menghancurkan
kehidupan Elwan dan Randa. Akhirnya, Anwar tewas di tangan Elwan.
Melalui renungan pendek Muhtashimi, pembaca lalu
mendapatkan sebuah akhir cerita. “…Setelah menjalani hukuman, Elwan akan lebih
matang menghadapi tantangan hidup… Kurasa, ia tidak akan bertemu aku lagi.
Tetapi ia akan melihat kamarku yang sudah kosong dan akan menempatinya, akan
melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya… Mungkinkah aku masih dapat hidup
lebih lama?…”
Membaca novel ini, pelbagai kesan dan pertanyaan bisa
timbul. Perjalanan awal novel ini cukup menarik: Muhtashimi, yang berusia
lanjut, sehat, dan bijaksana, mengungkapkan kenangan masa-masa lalu sembari
mengungkapkan kekaguman pada pemimpin Mesir karismatik, Saad Zaghlul. Sementara
itu, Mahfouz mendeskripsikan bagaimana keluarga itu menyelenggarakan diskusi
serta kebebasan berbicara dan berpendapat antara orang tua, anak, dan cucu,
sekalipun mengenai kehidupan pribadi dan dalam menentukan masa depan mereka.
Berpindah ke keluarga Sulayman, dalam suasana yang
sedikit berbeda tapi juga cukup simpatik, akan memperlihatkan suatu hasil kerja
yang berbobot, seperti kebanyakan karya Naguib Mahfouz (Najib Mahfuz). Dari
suasana awal dalam kedua keluarga itu, terutama kenangan Muhtashimi,
tertanamlah sebuah keyakinan bahwa selanjutnya kita akan melihat sebuah roman
sejarah revolusi dan peristiwa politik di Mesir yang lebih menarik. Hal ini
bahkan terasa selintas ketika ketegangan semakin memuncak pada saat upacara
kenegaraan. Sosok penonton TV dan mendengarkan berita-berita radio digambarkan
sibuk menyimak pengumuman tentang terbunuhnya seorang pemimpin (namanya tak
disebutkan, tapi indikasinya tentu kepada Presiden Anwar Sadat).
Hampir bersamaan dengan itu, kelanjutan langkah demi
langkah segera berubah. Peristiwa tergambar seolah tak pernah terjadi sesuatu,
padahal dalam kenyataan sebenarnya ada kejadian besar luar biasa dalam sejarah
bangsa itu. Suasana itu tak sejalan dengan dugaan karena hampir semua tokoh dan
suasana dipaksa hanyut ke dalam soal intrik-intrik cinta yang sangat sederhana
dan terkesan klise.
Sampai akhir cerita, ternyata sang pengarang tak sepatah
kata pun menyebut soal politik dan revolusi. Sebagai sastrawan pertama dan
satu-satunya—saat itu—dalam dunia Arab yang telah menerima hadiah Nobel Sastra
pada 1988, tentu kita mengharap Najib Mahfuz akan menghasilkan karya yang lebih
berbobot, paling tidak seimbang dengan karya sebelumnya. Novel ini terbit
pertama kali dalam bahasa Arab pada 1985, tiga tahun sebelum ia menerima hadiah
Nobel, dan tiga tahun setelah Presiden Mesir Anwar Sadat terbunuh. Tentunya ia
menulis novel ini paling kurang umurnya sudah di atas 70 tahun jika kita
hubungkan dengan kematian Sadat pada 1981.
Sekadar perbandingan, Andre Gide menulis novel Theseus
ketika usianya sudah di atas 70 tahun. Orang menilai karya ini lebih
memperlihatkan kematangan dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya, kendati
panjangnya tak sampai 100 halaman. Begitu juga Leo Tolstoi dalam Resurrection,
novel tebal terakhir yang ditulisnya dalam usia 71 tahun. Sedangkan kematangan
serupa tidak terpancar dalam novel The Day the Leader was Killed karya Mahfuz.
Karya Najib cukup banyak—hampir 40 buah—salah satunya
yang terkemuka adalah Zuqaq al-Midaq (1947). Persoalan yang diolah hampir ada
kesamaannya dalam hal pertentangan kemanusiaan yang dihadapkan kepada masalah
kehidupan materi dan masalah kerohanian di kalangan masyarakat golongan
menengah dan bawah. Tetapi cerita ini diakhiri dengan optimisme masa depan dan
keimanan yang kuat yang tecermin melalui sosok Sayid Ridwan Husaini, sang tokoh
agama yang ingin mengangkat masyarakat bangsanya di lorong Midaq yang
melambangkan tanah airnya, Mesir.
Menurut saya, novel ini jauh lebih bermakna dan memiliki
misi yang jelas. Novel Al-Qahirah al-Jadidah, yang menggambarkan kehidupan
partai dan suburnya kolusi dalam pemerintahan, melalui antara lain pandangan
berbagai mahasiswa. Makmun Ridwan yang saleh, taat, dan simpatik, berhaluan Islam
nasionalis sosialis; Ali Taha teman sekampus, dan lawannya—kendati mengakui
kejujuran Makmun—hanyut dalam filsafat materialisme Hegel. Semua karyanya ini
memperlihatkan kepedulian Najib terhadap drama bangsa dan tanah airnya.
BEBERAPA dekade belakangan, perkembangan sastra modern
Arab cenderung memilih tema persoalan gender dan bahasa. Tentu saja ini tak
terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat, yang dimulai pada masa Muhammad Ali
(1769-1849), dengan usaha penerjemahan karya sastra Barat secara besar-besaran
ke dalam bahasa Arab.
Sementara itu, pada tahun 1970-an, nama yang lebih sering
disebut sebagai calon untuk hadiah Nobel Sastra adalah Taha Husain, Taufiq
al-Hakim, dan Muhammad Husain Kamil; inilah nama besar di dunia sastra Arab
modern yang dianggap guru oleh Najib Mahfuz. Ternyata, pada 1988, justu nama Naguib
Mahfouz yang disebut oleh Akademi Swedia sebagai penerima hadiah Nobel Sastra.
Jauh sebelum itu, tentu saja ia sudah memiliki reputasi
dunia dan dipandang sebagai sastrawan produktif yang sangat dihargai. Beberapa
novel dan kumpulan cerpennya telah mengalami puluhan kali cetak ulang dan
mendapat hadiah sastra dari lembaga pemerintah dan swasta. Perkembangan bahasa,
yang dalam sastra Arab banyak menentukan, dengan sendirinya juga mengalami perubahan,
yaitu dari gaya tradisional dengan kecenderungan kalimat yang
berpanjang-panjang dan berbunga-bunga; pengaruh pleonasme dengan penggunakan
kosakata klasik, serta tradisi menyelipkan syair-syair dan peribahasa, yang
mulai berubah gaya sejalan dengan zaman, serba singkat, serba cepat.
Perkembangan bahasa dalam sastra Arab modern yang lebih mencolok ialah
digunakannya bahasa percakapan dalam dialog, sekalipun dalam deskripsi tetap
menggunakan bahasa baku.
Kecenderungan ini memiliki pembela, juga banyak
penentangnya. Najib Mahfuz adalah salah seorang yang kukuh mempertahankan
penggunaan bahasa baku. Jika kita membaca novel-novelnya—dalam bahasa Arab
tentunya—akan terlihat betapa Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat cermat
dalam menggunakan bahasa. Di dunia Arab ia dikenal sebagai pengarang yang
sangat mencintai bahasanya, menulis dengan gayanya yang indah dan lancar,
dengan gramatika yang terpelihara baik. Dalam novel dan cerpennya ia
menghindari penggunaan bahasa percakapan (vernacularism), sekalipun dalam
dialog antarwarga desa.
Selain keindahan bahasa, kekuatan Naguib Mahfouz yang
cukup menonjol adalah tinjauan analitisnya yang dalam dan menarik dalam
melukiskan watak, sifat, sosok, dan gerak-gerik para pelakunya. Ini sudah
terlihat dari novel-novelnya yang ditulis sejak usianya masih belia. Ia mampu
memadu teknik penulisan Barat dengan tradisi Arabnya yang kental.
Menurut Faruk Mawasi (1992)—penyair dan kritikus sastra
Arab modern —hampir tak ada studi sastra yang begitu besar tentang seorang sastrawan
Arab yang dapat menandingi studi Naguib Mahfouz. Novel dan cerpennya banyak
menjadi sasaran studi. Tak kurang dari 30 buku tentang Najib Mahfuz yang sudah
terbit, termasuk beberapa tesis akademik, di samping ribuan tulisan yang
tersebar di majalah sastra dan dalam berbagai bahasa.
Lahir di Kairo pada 1911, Mahfuz memperoleh gelar
kesarjanaannya dalam filsafat dari Universitas Kairo. Ia banyak membaca karya
sastra juga dari bahasa Inggris dan Prancis-Chekov, Dostojevski, Proust, atau
Galsworthy, Thomas Mann, atau Kafka. Najib Mahfuz memulai sastranya dengan
penulisan cerita-cerita pendek sejak tahun 1930-an, dan sudah menerbitkan
kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Hams al-Junun pada 1938.
Dalam pengakuannya mula-mula ia menulis cerpen karena
terpengaruh oleh dua penulis cerpen terkemuka, Mahmud Taimur dan Ibrahim
Mazini, serta terjemahan-terjemahan oleh Muhammad Sibai. Banyak karyanya yang
mula-mula berlatar belakang sejarah Mesir lama, setelah ia membaca Anatole
France. Pengaruh ini kemudian juga memantul dalam tiga novel sejarahnya.
Tetapi, dalam karya-karyanya yang kemudian, ia lebih akrab dengan kekinian. Ia
sering membidik kehidupan orang bawahan atau menengah dengan pelaku orang-orang
sederhana.
Triloginya yang terkenal Bainal Qasrain, Qasr asy-Syauq,
dan As-Sukkariyah, yang berkisah tentang keluarga Mesir kelas menengah di
sela-sela perubahan sejarah sosial yang mencatat berbagai masalah sejarah Mesir
modern dalam tiga generasi. Dari 40 novel dan kumpulan cerpennya yang sudah
terbit dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pembaca Indonesia sudah
mengenal novel Zuqaq al-Midaq (Lorong Midaq) dan beberapa cerpennya yang sudah
diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dan melalui berbagai bahasa, terlihat
untaian Mahfuz adalah serangkaian cahaya yang dikirim melalui panggung sastra
dunia.
*) Sastrawan dan penerjemah novel “Lorong Midaq” karya
Najib Mahfuz.
https://sastra-indonesia.com/2010/10/cahaya-naguib-mahfouz-di-panggung-sastra-dunia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment