Thursday, November 12, 2020

Rahim Sastra Ibu Pertiwi

Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS (Pustaka Pujangga, 2009)
Sabrank Suparno
 
Nurel Javissyarqi, sahabatku ini seperti menyorong sampan ke arahku yang berdiri di seberang tepian telaga, saat ia menyuruhku: “Sabrank, tolong kau resensi Antologi Puisi Sihir Terakhir yang ditulis Komunitas Perempuan ASAS.” Dan aku mengibaratkan 23 penyair wanita ini sebagai bentangan pulau-pulau Nusantara, yang tak akan pernah khatam kujelajahinya, sebab tiap pulau menyimpan wilayah rahasia kealaman. Lelaki hanyalah perantau yang tak pasti kakinya mampu berjejak pada jalanan setapak. Pulau Nusantara ini adalah gempilan tembok sorga yang jatuh berpuing-puing saat tersenggol Raja Malaikat ketika ia berdansa merayakan kemenangan kontes kilauan cahaya yang digelar Tuhan, jauh sebelum kehidupan ada.
 
Per-empu-an, kata dasarnya’empu/bentol/bonggel yang menumbuhkan tunas. Saat ia remaja disebut ‘gadis per-rawan’, kemudian nona, nyonya yang tetap konstan sebagai wanita dan memiliki perempuan.
 
Adalah sebuah proyek raksasa jika kemudian wanita ASAS berdebut di perpuisian, yang kreatifitas itu nyata mengisi celah di antara himpitan privacy kewanitaannya. Pengantin baru temanku diawali dengan perselisihan kecil. Sang suwami, mengajak istri berkunjung ke rumah saudara sekiar jam 11 siang. Istri menunda sore hari biar tidak terlalu panas. Suwami berargumen filsafat,”panas matahari saja takut, toh kepanasan tidak sendiri. Matahari memang tercipta untuk bumi. Kenapa harus menyesali panas? Petani, kuli bangunan, pemecah batu, lebih kepanasan dari kita.” Meski perselisihan usai beberapa jam kemudian, pengantin wanita sempat menangis. Permasalahan mereka sepeleh. Sang wanita sedang menstrulasi, dan dalam perhitungannya sekitar 2 jam lagi sudah harus banjir dan ganti softtex. Ketabuahan berganti softtex di rumah orang lain tidak dipahami suwami. Sementara istri tidak menjelaskan secara utuh.
 
Puisi puisi Antologi Sihir Terahir adalah ‘jabang bayi sejarah’ dari rahim 23 wanita: Aldika Restu Pramuli, Alfatihatus Sholihatunnisa, Amelia Rachman, Cut Nanda A, Dea Ayu Ragilia, Desti Fatin Fauziyyah, Dewi Kartika, Dian Hartati, Dian Budiana, Ellie R. Noer, Evi Sefiani, Evi Sukaesih, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Ikarisma Kusmalina, Ike Ayuwandari, Laila N. Guntari, Lela Siti Nurlaila, Maya Mustika K, Seli Desmiarti, Tita Maria Kanita, W. Herlya Winna, Winarni Rahmawati.
 
Corak puisi yang meraka lahirkan dalam Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS ini merupakan garis mediteranian sejarah sebelumnya, dimana keserempakan warna tekstur menisbikan kemajalan fluktuatif. Ruang medium semacam ini menjadi zona pembatas yang memisahkan corak bersikap wanita dari kungkungan hepnotis sejarah sekian lama yang memandang wanita hanya sebatas pelengkap penderita kaum Adam. Sihir Terahir bukan sekedar letupan damba puisi Seli Desmiarti, tapi ekspresi geliat wanita zaman yang menandai proses pelonggaran jerat konvensi perkembangan sejarah sastra yang menyerimpungnya.
 
Sebagai makhluk dunia, wanita tak bisa menghindar dari ekses muara kegelapan sitem sosial, politik suatu negara. Di Indonesia, kwantitas wanita yang lahir di atas tahun 1965 membaik seiring tertingalnya masa traumatisasi G30 S PKI. Semakin jauh meninggalkan jejak trauma, semakin baik pula. Apalagi perempuan ASAS lahir seputaran tahun 80 an. Wanita Indonesia prakemerdekaan hidup dirundung was was dan ketakutan. Sedang di sisi lain, wanita harus menggendong bayi yang dilahirkan, yang artinya ketika menggendong, wanita sedang menghembuskan suasana hati yang direkam langsung sang bayi, dan diputar ulang ketika bayi dewasa kelak. Jika ibu menggendong dengan hati was, iri, takut, merasa tertindas, maka anak akan merealisasikan dalam hidupnya. Sampai pada sekitar tahun 2017, pejabat di Indonesia adalah anak yang dilahirkan pra1965. Rasa dendam dan was wanita waktu itu tergambar jelas dari ulah pejabat sekarang yang tak henti korupsi, mencurigai yang lain, bersaing menumpuk kekayaan dll. Dunia sastra pun demikian. Simak pertikaian Lesbumi, Lekra, Manikebu, Poros Tengah, Poros Langit, Poros sorga, TUK, dll yang untung saja tidak mengeluarkan KTP sebab royokan ‘tua’. Dan ini membosankan.
 
Tapak-tapak jejak meninggalkan tahun 1965, wanita masih harus lekat dengan rendahnya SDM yang memberlakukan wanita sebagai sangkar madu. Dan ini terjadi sampai batas yang belum diketahui ujungnya. Kekuatan karya sastra tak pernah beranjak dari pijakan mengexploitasi aroma sex belaka. Komposisi ini disebut sastra kelamin. Paul I. Willman, WS. Rendra dan semua penulis sampai era2010 masih asyik mengexploitasi wanita sebagai karya kebesaran. Dalihnya sederhana, yakni menyibak keutuhan sastra. Bahkan sepanjang penulis wanita yang saya amati masih ajeg merelakan buka aurat dalam sastranya yang sesungguhnya hanyalah program mendukung ambisi kaum adam.
 
Sejak Joyce Carol Oates, Joan Didion, Susan Sontag, Nadine Gordimer, Elizabeth Bishop, sampai Ayu Utami, Lang Fang, Ida Ahdiah, Yetti A.KA, Oka Rusmini, Ana Balqis, Aquarina Kharisma Sari, Abidah El Khalieqy dan banyak lagi barisan penulis wanita yang happy enjoy dengan aroma sastra kelamin. Keadaan ini menggambarkan kesempitan ruang sastra yang seolah olah tidak ada lagi kreasi puncak suspansi terhadap wilayah sastra yang luas.
 
Puisi ASAS menapaki lambaikan tangan seraya membelok keadaan ke arah zamaniahnya. Inilah yang disebut garis medium. Rontaan untuk menuntut diri wanita tampil baru sebagai penghuni zaman dilontarkan Tita Maria Kanita dalam larik puisi//menyimak wanita tidak cuma dilihat, namun didengar// puisi Telinga. W. Herlya Winna dalam Cahaya di Halaman Mata//Kutanam cahaya di halaman mata//menghasilkan anak-anak matahari//Kukayuh tubuh saat petang, rubuhkan sisa-sisa waktu//. Fina Sato dalam Tak Pernah Kutemukan Wujutmu dalam Riuh//ihwal seorang perempuan bukan dongeng si penjaga cahaya//. Ellie R. Noer dalam Bidadari Mandi//dulu bidadari mandi di pelangi//sekarang mandi di menu pagi//. Puisi Bahteranya Dian Hartati juga mengambil langkah tegas//aku dan tubuhku diintai waktu//siapa penghuni berikutnya//dapatkah kujelaskan pada mereka//tempat berlabuh yang aman tetap tubuhku//. Sikap perpuisian mereka ini sedang mempersiapkan new space bangunan peradapan wanita yang proporsial.
 
Meski keadaan ini tidak nyata membalik sastra, tetapi gelagat Sihir Terahir awal sentakan sihir sastra dalam menggali wanita sebagai kelengkapan.
 
Hehehe. Tentu saja tidak bisa menuntut wanita secara berlebihan. Wanita sebagai makhluk kealaman, syarat dengan keterbatasan. Namanya juga wanita. Seluas jangkahnya terbatas jarik dan daster yang dikenakan. Meski wanita menyarap bak ular kobra yang sengit, bengis, apalagi wanita produk fakultasan, keinginannya sejajar dengan pria, kerap menghilangkan esensi kewanitaannya. Se-gander apapun, wanita tetap menstrulasi, hamil, melahirkan, mengasuh, menghembuskan suara hati untuk mewarnai si jabang bayi. Wanita hanya memiliki satu gen keturunan. Tabiatnya tentu sama sejak suku Hawa, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Minahasa, Padang, Jombang, Bandung, Aborigin, Mindanao, Arab, Yahudi, suku awal wanita hingga suku ahir wanita. Berbeda dengan laki-laki yang menurunkan berjuta-juta gen spermatozoon.
 
Wajar. Fitroh, jika dalam Antologi Sihir Terahir masih menyerta tradisi pramedium, yakni tradisi wanita mencipta karya sebagai pelampiasan/ekstas diri membangun dirinya, pandangan mengenai dirinya, di hadapan dirinya sendiri. Puisi wanita adalah wakil bahasa tabu dan diamnya. Kejalangan menyertakan nama seseorang yang dituju dalam puisinya sesungguhnya hanya mengotori/inveriority penafsiran sastra. Fina Sato misal, dalam puisi Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah, ditujukan buat Rosadi, dalam puisi Kota Kuno ditujukan buat Eko Budiharjo, dan satu lagi buat Wayan Sunarta. W.Herlya Winna ditujukan pada Kang Nyonk dan Novia, Winarni.R membingkis khusus buat inisial ‘Deng’, Fadhila Ramadhona menyertakan A.R. Kusumah dan H.S Wijaya dalam puisi Lelaki Senja-nya. Sementara Dian Hartati dan Ellie R. Noer masing-masing mendata satu tautan nama: ~ba dan Acep Zamzam Noor. Hehehe, seandainya perantauan mereka mengarungi jagat raya dan bertemu idola, kekasih, musuh, tokoh ternama, jin, malaikat, bahkan ‘tuhan’, berapa banyak lagi deretan nama dijumpai dalam puisi yang hanya untuk ngudal rasa pelampiasan.
 
Minggu 12 September 2010, buku Sihir Terahir baru sampai di tanganku. Aku baca serius. Aku amati. Aku orasi mondar-mandir di balai rumah, didengar saudara, bapak, ibu, teman yang mereka tak mengerti sastra. Yang mereka tau, aku penulis dan sering diundang baca puisi. Kenapa aku seriusi buku ini? Bukan karena aku laki-laki, dan Sihir Terahir ngerumpinya 23 penyair wanita, hingga aku memberi perhatian khusus. Hehehe, sederhana saja yang ingin kuketahui. Apa rahasia buku ini kok sampai menyebabkan aku dan tunanganku terpisah gara-gara buku ini.
 
Sebetulnya tidak ada hubungan antara pertengkaran hebat aku dengan tunanganku. Tapi juga tidak bisa jika buku ini tidak dihubungkan. Setelah 3 minggu buku ini dipinjam pacarku, ia aku mainta menghantar kerumah, karena aku ingin segera meresensinya. Sampai di tengah perjalanan pacarku tidak mau kerumah, malu bertemu ibuku. Aku marah. Dia menangis. Aku memahami pacarku tak ada militansi dengan kepentingan sastraku, persahabatabku yang sudah tertunda sebulan. Pacarku memahami bahwa aku cowok yang tak memahami wanita. Hubungan kami beku, padahal kami mestinya sudah resmi.
 
Ternyata, sekecil apapun oleh-oleh bagi wanita yang ia bawa saat bertamu adalah hal penting. Tetapi lelaki kerap tak memahaminya.
 
Suara wanita adalah yang tak diwakili laki-laki. Sebagaimana kekuatan wanita jika didampingi lelaki dekatnya. Untuk berkarya, laki-laki hanya memerlukan dukungan dari wanita. Untuk berkarya, wanita memerlukan kelonggaran waktu yang diberikan laki-laki.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/09/rahim-sastra-ibu-pertiwi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar