Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS (Pustaka Pujangga,
2009)
Sabrank Suparno
Nurel Javissyarqi, sahabatku ini seperti menyorong sampan
ke arahku yang berdiri di seberang tepian telaga, saat ia menyuruhku: “Sabrank,
tolong kau resensi Antologi Puisi Sihir Terakhir yang ditulis Komunitas
Perempuan ASAS.” Dan aku mengibaratkan 23 penyair wanita ini sebagai bentangan
pulau-pulau Nusantara, yang tak akan pernah khatam kujelajahinya, sebab tiap
pulau menyimpan wilayah rahasia kealaman. Lelaki hanyalah perantau yang tak
pasti kakinya mampu berjejak pada jalanan setapak. Pulau Nusantara ini adalah
gempilan tembok sorga yang jatuh berpuing-puing saat tersenggol Raja Malaikat
ketika ia berdansa merayakan kemenangan kontes kilauan cahaya yang digelar
Tuhan, jauh sebelum kehidupan ada.
Per-empu-an, kata dasarnya’empu/bentol/bonggel yang
menumbuhkan tunas. Saat ia remaja disebut ‘gadis per-rawan’, kemudian nona,
nyonya yang tetap konstan sebagai wanita dan memiliki perempuan.
Adalah sebuah proyek raksasa jika kemudian wanita ASAS
berdebut di perpuisian, yang kreatifitas itu nyata mengisi celah di antara
himpitan privacy kewanitaannya. Pengantin baru temanku diawali dengan
perselisihan kecil. Sang suwami, mengajak istri berkunjung ke rumah saudara
sekiar jam 11 siang. Istri menunda sore hari biar tidak terlalu panas. Suwami
berargumen filsafat,”panas matahari saja takut, toh kepanasan tidak sendiri.
Matahari memang tercipta untuk bumi. Kenapa harus menyesali panas? Petani, kuli
bangunan, pemecah batu, lebih kepanasan dari kita.” Meski perselisihan usai
beberapa jam kemudian, pengantin wanita sempat menangis. Permasalahan mereka
sepeleh. Sang wanita sedang menstrulasi, dan dalam perhitungannya sekitar 2 jam
lagi sudah harus banjir dan ganti softtex. Ketabuahan berganti softtex di rumah
orang lain tidak dipahami suwami. Sementara istri tidak menjelaskan secara
utuh.
Puisi puisi Antologi Sihir Terahir adalah ‘jabang bayi
sejarah’ dari rahim 23 wanita: Aldika Restu Pramuli, Alfatihatus
Sholihatunnisa, Amelia Rachman, Cut Nanda A, Dea Ayu Ragilia, Desti Fatin
Fauziyyah, Dewi Kartika, Dian Hartati, Dian Budiana, Ellie R. Noer, Evi Sefiani,
Evi Sukaesih, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Ikarisma Kusmalina, Ike Ayuwandari,
Laila N. Guntari, Lela Siti Nurlaila, Maya Mustika K, Seli Desmiarti, Tita
Maria Kanita, W. Herlya Winna, Winarni Rahmawati.
Corak puisi yang meraka lahirkan dalam Antologi Puisi
Penyair Perempuan ASAS ini merupakan garis mediteranian sejarah sebelumnya,
dimana keserempakan warna tekstur menisbikan kemajalan fluktuatif. Ruang medium
semacam ini menjadi zona pembatas yang memisahkan corak bersikap wanita dari
kungkungan hepnotis sejarah sekian lama yang memandang wanita hanya sebatas
pelengkap penderita kaum Adam. Sihir Terahir bukan sekedar letupan damba puisi
Seli Desmiarti, tapi ekspresi geliat wanita zaman yang menandai proses
pelonggaran jerat konvensi perkembangan sejarah sastra yang menyerimpungnya.
Sebagai makhluk dunia, wanita tak bisa menghindar dari
ekses muara kegelapan sitem sosial, politik suatu negara. Di Indonesia,
kwantitas wanita yang lahir di atas tahun 1965 membaik seiring tertingalnya
masa traumatisasi G30 S PKI. Semakin jauh meninggalkan jejak trauma, semakin
baik pula. Apalagi perempuan ASAS lahir seputaran tahun 80 an. Wanita Indonesia
prakemerdekaan hidup dirundung was was dan ketakutan. Sedang di sisi lain,
wanita harus menggendong bayi yang dilahirkan, yang artinya ketika menggendong,
wanita sedang menghembuskan suasana hati yang direkam langsung sang bayi, dan
diputar ulang ketika bayi dewasa kelak. Jika ibu menggendong dengan hati was,
iri, takut, merasa tertindas, maka anak akan merealisasikan dalam hidupnya.
Sampai pada sekitar tahun 2017, pejabat di Indonesia adalah anak yang
dilahirkan pra1965. Rasa dendam dan was wanita waktu itu tergambar jelas dari
ulah pejabat sekarang yang tak henti korupsi, mencurigai yang lain, bersaing
menumpuk kekayaan dll. Dunia sastra pun demikian. Simak pertikaian Lesbumi,
Lekra, Manikebu, Poros Tengah, Poros Langit, Poros sorga, TUK, dll yang untung
saja tidak mengeluarkan KTP sebab royokan ‘tua’. Dan ini membosankan.
Tapak-tapak jejak meninggalkan tahun 1965, wanita masih
harus lekat dengan rendahnya SDM yang memberlakukan wanita sebagai sangkar
madu. Dan ini terjadi sampai batas yang belum diketahui ujungnya. Kekuatan
karya sastra tak pernah beranjak dari pijakan mengexploitasi aroma sex belaka.
Komposisi ini disebut sastra kelamin. Paul I. Willman, WS. Rendra dan semua
penulis sampai era2010 masih asyik mengexploitasi wanita sebagai karya
kebesaran. Dalihnya sederhana, yakni menyibak keutuhan sastra. Bahkan sepanjang
penulis wanita yang saya amati masih ajeg merelakan buka aurat dalam sastranya
yang sesungguhnya hanyalah program mendukung ambisi kaum adam.
Sejak Joyce Carol Oates, Joan Didion, Susan Sontag,
Nadine Gordimer, Elizabeth Bishop, sampai Ayu Utami, Lang Fang, Ida Ahdiah,
Yetti A.KA, Oka Rusmini, Ana Balqis, Aquarina Kharisma Sari, Abidah El Khalieqy
dan banyak lagi barisan penulis wanita yang happy enjoy dengan aroma sastra
kelamin. Keadaan ini menggambarkan kesempitan ruang sastra yang seolah olah
tidak ada lagi kreasi puncak suspansi terhadap wilayah sastra yang luas.
Puisi ASAS menapaki lambaikan tangan seraya membelok
keadaan ke arah zamaniahnya. Inilah yang disebut garis medium. Rontaan untuk
menuntut diri wanita tampil baru sebagai penghuni zaman dilontarkan Tita Maria
Kanita dalam larik puisi//menyimak wanita tidak cuma dilihat, namun didengar//
puisi Telinga. W. Herlya Winna dalam Cahaya di Halaman Mata//Kutanam cahaya di
halaman mata//menghasilkan anak-anak matahari//Kukayuh tubuh saat petang,
rubuhkan sisa-sisa waktu//. Fina Sato dalam Tak Pernah Kutemukan Wujutmu dalam
Riuh//ihwal seorang perempuan bukan dongeng si penjaga cahaya//. Ellie R. Noer
dalam Bidadari Mandi//dulu bidadari mandi di pelangi//sekarang mandi di menu
pagi//. Puisi Bahteranya Dian Hartati juga mengambil langkah tegas//aku dan
tubuhku diintai waktu//siapa penghuni berikutnya//dapatkah kujelaskan pada
mereka//tempat berlabuh yang aman tetap tubuhku//. Sikap perpuisian mereka ini
sedang mempersiapkan new space bangunan peradapan wanita yang proporsial.
Meski keadaan ini tidak nyata membalik sastra, tetapi
gelagat Sihir Terahir awal sentakan sihir sastra dalam menggali wanita sebagai
kelengkapan.
Hehehe. Tentu saja tidak bisa menuntut wanita secara
berlebihan. Wanita sebagai makhluk kealaman, syarat dengan keterbatasan. Namanya
juga wanita. Seluas jangkahnya terbatas jarik dan daster yang dikenakan. Meski
wanita menyarap bak ular kobra yang sengit, bengis, apalagi wanita produk
fakultasan, keinginannya sejajar dengan pria, kerap menghilangkan esensi
kewanitaannya. Se-gander apapun, wanita tetap menstrulasi, hamil, melahirkan,
mengasuh, menghembuskan suara hati untuk mewarnai si jabang bayi. Wanita hanya
memiliki satu gen keturunan. Tabiatnya tentu sama sejak suku Hawa, Sunda, Jawa,
Madura, Bali, Minahasa, Padang, Jombang, Bandung, Aborigin, Mindanao, Arab,
Yahudi, suku awal wanita hingga suku ahir wanita. Berbeda dengan laki-laki yang
menurunkan berjuta-juta gen spermatozoon.
Wajar. Fitroh, jika dalam Antologi Sihir Terahir masih
menyerta tradisi pramedium, yakni tradisi wanita mencipta karya sebagai
pelampiasan/ekstas diri membangun dirinya, pandangan mengenai dirinya, di
hadapan dirinya sendiri. Puisi wanita adalah wakil bahasa tabu dan diamnya.
Kejalangan menyertakan nama seseorang yang dituju dalam puisinya sesungguhnya
hanya mengotori/inveriority penafsiran sastra. Fina Sato misal, dalam puisi
Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah, ditujukan buat Rosadi, dalam puisi Kota Kuno
ditujukan buat Eko Budiharjo, dan satu lagi buat Wayan Sunarta. W.Herlya Winna
ditujukan pada Kang Nyonk dan Novia, Winarni.R membingkis khusus buat inisial
‘Deng’, Fadhila Ramadhona menyertakan A.R. Kusumah dan H.S Wijaya dalam puisi
Lelaki Senja-nya. Sementara Dian Hartati dan Ellie R. Noer masing-masing
mendata satu tautan nama: ~ba dan Acep Zamzam Noor. Hehehe, seandainya
perantauan mereka mengarungi jagat raya dan bertemu idola, kekasih, musuh,
tokoh ternama, jin, malaikat, bahkan ‘tuhan’, berapa banyak lagi deretan nama
dijumpai dalam puisi yang hanya untuk ngudal rasa pelampiasan.
Minggu 12 September 2010, buku Sihir Terahir baru sampai
di tanganku. Aku baca serius. Aku amati. Aku orasi mondar-mandir di balai
rumah, didengar saudara, bapak, ibu, teman yang mereka tak mengerti sastra.
Yang mereka tau, aku penulis dan sering diundang baca puisi. Kenapa aku seriusi
buku ini? Bukan karena aku laki-laki, dan Sihir Terahir ngerumpinya 23 penyair
wanita, hingga aku memberi perhatian khusus. Hehehe, sederhana saja yang ingin
kuketahui. Apa rahasia buku ini kok sampai menyebabkan aku dan tunanganku
terpisah gara-gara buku ini.
Sebetulnya tidak ada hubungan antara pertengkaran hebat
aku dengan tunanganku. Tapi juga tidak bisa jika buku ini tidak dihubungkan.
Setelah 3 minggu buku ini dipinjam pacarku, ia aku mainta menghantar kerumah,
karena aku ingin segera meresensinya. Sampai di tengah perjalanan pacarku tidak
mau kerumah, malu bertemu ibuku. Aku marah. Dia menangis. Aku memahami pacarku
tak ada militansi dengan kepentingan sastraku, persahabatabku yang sudah
tertunda sebulan. Pacarku memahami bahwa aku cowok yang tak memahami wanita.
Hubungan kami beku, padahal kami mestinya sudah resmi.
Ternyata, sekecil apapun oleh-oleh bagi wanita yang ia
bawa saat bertamu adalah hal penting. Tetapi lelaki kerap tak memahaminya.
Suara wanita adalah yang tak diwakili laki-laki.
Sebagaimana kekuatan wanita jika didampingi lelaki dekatnya. Untuk berkarya,
laki-laki hanya memerlukan dukungan dari wanita. Untuk berkarya, wanita
memerlukan kelonggaran waktu yang diberikan laki-laki.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/09/rahim-sastra-ibu-pertiwi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment