Maman S. Mahayana *
Novel Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El
Shirazy, secara sosiologis, tak pelak lagi, telah menancapkan dirinya sebagai
novel paling laris, paling banyak dibaca, dan luar biasa fenomenal. Dalam
perjalanan sastra Indonesia, baru kali inilah sebuah novel meraup angka
penjualan yang sangat mencengangkan. Jika novel itu kemudian difilmkan dan
berhasil menyedot jumlah penonton yang juga mencengangkan, tentu saja sukses
itu, terutama, tidak terlepas dari kehebohan yang diciptakan karya Habiburrahman
itu. Dari sana lalu muncullah wacana tentang sastra Islam; sebuah fenomena yang
wajar dari sebuah kegandrungan yang tanpa sadar menciptakan kelatahan.
Pertanyaannya, benarkah novel itu sebagai representasi
sastra Islam? Ataukah ia sekadar label saja sebagai bentuk rivalitas atas
karya-karya sastra yang secara tematik dianggap berseberangan? Lalu, benarkah
dalam sastra Indonesia (modern) ada sastra Islam? Apa pula bedanya dengan
sastra kitab yang banyak dihasilkan para ulama agung kita tempo dulu? Sejumlah
pertanyaan lain niscaya masih dapat kira deretkan lebih panjang lagi, meskipun
duduk perkaranya bergeming pada tema sastra Islam.
Tepat Momentum
Kegandrungan yang lalu menciptakan kelatahan—dalam
sejarah sastra kita—kerap mengundang munculnya berbagai wacana yang
sesungguhnya lebih didasarkan pada asumsi seolah-olah. Novel Ayat-Ayat Cinta
(AAC) yang bercerita tentang sosok tokoh Fahri, secara ideologis mengusung
citra pemuda Muslim yang paripurna; sempurna dalam segala hal. Pindas –pintar dan
cerdas, ganteng dan berwibawa, baik hati dan care, terutama pada nasib
perempuan, berani, gigih dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan, rajin dan tak
mengenal menyerah, toleran dan penuh rasa hormat pada sesama yang dilandasi
aura cinta, berwawasan dan rendah hati, dan seterusnya. Ringkasnya, segala
kebaikan dan kesempurnaan seorang manusia melekat pada sosok tokoh itu.
Sebagai sebuah usaha menyelusupkan sebuah ideologi,
gambaran tokoh dengan penokohan yang seperti itu tentu saja penting artinya
dalam politik pencitraan. Sebuah teknik propaganda yang efektif menyelusupkan
dan sekaligus menanamkan nilai-nilai. Dalam sastra, teknik itu sering kali
cenderung diterapkan dalam genre prosa –novel atau cerpen—dibandingkan puisi
atau drama. Prosa bermain dalam sebuah narasi yang di sana sebuah dunia,
seolah-olah terwakili. Prosa seolah-olah paling dekat merepresentasikan sebuah
potret kehidupan. Maka novel AAC pun diperlakukan sebagai potret ideal perilaku
pemuda Muslim. Dari sanalah lalu muncul pandangan, bahwa AAC sejatinya dapat
ditempatkan sebagai novel (sastra) Islam. Ia berhasil menyuguhkan sebuah kisah
yang sejalan dengan horison harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai
Islam. Ia lalu menjadi trend dan menyebar menjelma jadi kehebohan massal.
Selain itu, sesungguhnya, sukses AAC tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia. Jangan
lupa, ketika novel AAC terbit (2004), gema sastra Indonesia sedang dilanda
semangat mengeksploitasi tubuh. Atau, paling tidak, novel-novel yang terbit
pada awal tahun 2000-an itu didominasi oleh novelis wanita yang sebagian besar
di dalamnya mengandungi adegan jantina (jantan—betina). Sebutlah, misalnya,
karya-karya Ana Maryam, Stefani Hid, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf,
atau Djenar Maesa Ayu. AAC hadir pada saat yang tepat, ketika sebagian pembaca
(sastra Indonesia) mulai dihinggapi keemohan, bahkan kejemuan, disuguhi
sejumlah novel Indonesia yang di sana-sini menyelusup adegan jantina.
Novel-novel sejenis itu dianggap oleh –sebagian— masyarakat pembaca kita tidak
sesuai dengan tata susila Indonesia.
Munculnya polemik tentang seks dalam sastra Indonesia
yang menghadirkan pro dan kontra, sesungguhnya merupakan bentuk tarik-menarik
antara keemohan—kejemuan pada tema seks di satu pihak, dan semangat mengusung
sastra yang bebas dari berbagai kerangkeng, termasuk beban ideologi di pihak
yang lain. Maka, ketika AAC hadir, ia seolah-olah mewakili ekspresi
keemohan—kejemuan itu. Ia laksana “senjata pamungkas” yang memberi jawaban atas
tarik-menarik dan rivalitas tadi. Itulah representasi rivalitas dari dua
gelombang sastra yang sepertinya tidak dapat didamaikan.
Sebagai bahan analogi, simaklah fenomena yang terjadi
pada novel Harry Potter. Ketika komik-komik Jepang dan kisah-kisah petualangan
deras melanda pembaca remaja kita, Harry Potter, dalam banyak hal, datang
laksana menawarkan segala harapan yang tak dapat dipenuhi semuanya oleh
sejumlah komik Jepang dan kisah-kisah petualangan itu. Meskipun kehebohan Harry
Potter itu juga tidak terlepas dari peranan media massa, secara intrinsik ia
berhasil menyuguhkan segala horison harapan pembaca. Dan itulah yang terjadi
pada AAC di tengah kerumunan novel-novel yang mengangkat tema yang dianggap
tidak dapat sepenuhnya memenuhi horizon harapan pembaca.
Pertanyaannya: mengapa novel Geni Jora (2004) karya
Abidah El Khalieqy –yang juga berada di antara deretan novelis wanita itu—tak
pernah disinggung, padahal dilihat dari semangat menempatkan citra ideal sosok
Muslimah, Geni Jora tak kalah substansialnya. Lihatlah, bagaimana tokoh utama
dalam novel itu harus melawan stigma perempuan dalam tradisi pesantren, kultur
Jawa, dan budaya Arab. Tokoh Kejora terpasung di pesantren wanita, merdeka di
Maroko, dan berhadapan dengan Zakky Hedouri—Indo-Arab-Eropa, Don Juan sang
petualang yang gagah dan kaya, tetapi juga mengagumi sosok Asaav, lelaki dari
komunitas Yahudi Ashkenaz. Secara ideologis, Geni Jora seperti hendak
menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam pandangan Islam.
Dalam konteks itu, jelas bahwa problem rivalitas dari dua
gelombang sastra itu justru terjadi pada tataran horison harapan pembaca AAC
yang dilatarbelakangi oleh hasrat melakukan perlawanan pada tema-tema yang
dianggap berseberangan. Perlawanan yang sekian lama tak terucapkan tiba-tiba
seperti memperoleh saluran selepas AAC membawa gelombang kehebohan. Di sinilah
lalu muncul kesadaran untuk menciptakan label sebagai penanda identitas. Dengan
demikian, label sastra Islam yang coba dilekatkan pada novel AAC sebagai salah
satu ikonnya, sebenarnya sekadar klaim untuk menunjukkan panji identitas.
Bahwa novel Geni Jora tak masuk hitungan, tentu saja
lantaran ia tak sejalan dengan horison harapan pembaca. Novel itu sama sekali
tidak bermaksud memanjakan emosi pembaca, meskipun tokoh Kejora, tampil sebagai
perempuan ideal.
Salah Konsep
Dalam beberapa kasus, masyarakat sastra kita, cenderung
latah ketika seseorang melemparkan istilah atau konsep tertentu berkenaan
dengan isu-isu aktual. Sastra sufi, sastra kontekstual, sastra pedalaman,
sastra marjinal, sastra koran, dan beberapa istilah lain, pernah cukup
menghebohkan yang kemudian bergulir menjadi polemik. Belakangan, munculnya
istilah sastra Islam yang memayungi novel-novel yang senafas dengan AAC
–seperti telah disebutkan—sesungguhnya juga tidak lebih dari wujud kelatahan
itu. Apakah lantaran novel-novel itu berkisah seputar sosok seorang Muslim yang
tampil sempurna sebagai manusia, tanpa sifat buruk secuil pun atau lantaran ia
berkisah tentang percintaan ideal model Islam yang kerap memelihara perkara
muhrim—bukan muhrim?
Di Indonesia, perbincangan mengenai sastra Islam secara
konseptual sering kali tidak punya landasan teoretis yang kokoh, bahkan
terkesan tumpang tindih. Sebutlah dua novel karya ulama Buya Hamka: Di Bawah
Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Kedua novel ini kerap
dihubungkaitkan dengan keulamaannya. Padahal, novel-novel itu berkisah tentang
percintaan yang kandas; kasih tak sampai –Zainuddin—Hayati dan Hamid—Zainab,
seperti juga yang dikisahkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Apakah
lantaran Hamid menghebuskan nafasnya di Mekah, lalu novel itu masuk kategori
sastra Islam? Rindu-dendam Hamid adalah cinta kepada sesama, jadi tentu saja
itu sangat berbeda dengan gambaran cinta yang dilantunkan para penyair sufi,
seperti Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Ibn Arabi,
Firdausi, Omar Khayyam atau Mohammad Iqbal. Dalam khazanah sastra (Melayu)
lama, tentu saja kita juga tidak dapat mengabaikan beberapa nama penting:
Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-Ranirri—yang berseberangan, atau Raja Ali Haji
dengan Gurindam Dua Belas-nya?
Pada awal tahun 1960-an, sebelum sastrawan Lekra
melakukan serangan pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapan van der Wicjk, Djamil
Suherman menerbitkan sebuah novel berjudul Perjalanan ke Akherat (1963), sebuah
kisah di alam barzah yang menampilkan sosok seorang guru yang lantaran
kejujurannya, masuk surga, dan istrinya—karena bunuh diri— terlunta-lunta di
akherat. Bukankah kisah itu, khas doktrin Islam? Lalu, mengapa pula novel itu
tidak masuk kategori sastra Islam? Sebelum itu, Muhammad Ali, juga mengangkat
tema keagamaan dalam novelnya, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957). Suasana
keagamaan yang digambarkan novel itu terasa begitu kuat, tetapi tokh novel itu
tidak juga masuk kategori novel (sastra) Islam.
Sesungguhnya kita masih dapat menyebut sejumlah karya
lain yang sarat bermuatan doktrin Islam. Sebutlah misalnya karya Mohammad
Diponegoro (Siklus, 1975) atau Ahmad Tohari (Kubah, 1980). Bahkan sejumlah
cerpen kedua sastrawan itu, jelas sekali mengangkat kisah-kisah sufi.
Belakangan, Motinggo Busye dalam novel pendeknya, Sanu, Infinita-Kembar (1985)
juga mengangkat kisah sufistik. Jika hendak lebih jelas lagi, periksa cerpen
Danarto yang berjudul “Lempengen-Lempengen Cahaya”. Di sana, Danarto
menampilkan tokoh Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya. Lalu, apakah karya-karya
yang disebutkan tadi termasuk kategori sastra Islam?
Pada tahun 1970-an, Abdul Hadi WM, Danarto, Fudoli Zaini,
Ikranegara, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan beberapa sastrawan
lainnya, pernah pula menggulirkan konsepsi sastra Islam secara lebih luas.
Munculnya istilah-istilah sastra sufi, sufistik, sastra tasawuf, sastra
profetik, dimungkinkan lantaran terjadinya polemik tentang itu. Pertanyaannya:
apakah karya-karya mereka itu termasuk sastra Islam yang sejajar dengan karya
penyair sufi itu?
Novel Islam?
Rahasia apakah gerangan yang menyebabkan AAC begitu
fenomenal, sehingga secara salah kaprah orang memasukkannya sebagai novel
Islam? Secara intrinsik, AAC tampil di luar mainstream. Tokoh Fahri yang sangat
Islami, latar Mesir yang meyakinkan, pola percintaan segi empat yang tetap
berada dalam koridor muhrim—bukan muhrim merupakan bagian penting yang
menjadikannya beda dari novel lain yang terbit sebelumnya. Kekhasan itu
didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar, kekayaan ungkapan-ungkapan
Arab serta gaya bahasa yang agak hiperbolis. Satu hal yang yang penting dalam
novel itu adalah akhir cerita yang bahagia: happy ending!
Dikisahkan, meskipun tokoh Fahri hidup di sebuah flat
bersama sejumlah temannya, Rudi, Hamdi, Saiful, pola interaksi yang
digambarkannya laksana merepresentasikan kehidupan di lingkungan pesantren.
Lihat saja, bagaimana rasa syukur Fahri ketika dinyatakan lulus proposalnya
untuk menulis tesis: “Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan.” Dan
selepas itu, Fahri mengajak teman-temannya berpesta: makan ayam bakar! Sebuah
pesta sederhana, tetapi tokh dapat menyebarkan kebahagiaan. Apa makna fragmen
itu?
Bagi masyarakat perkotaan, konsep pesta tentu saja harus
dengan musik dan tentu juga harus melibatkan pasangan lawan jenis. Tetapi, bagi
para santri, konsep pesta yang seperti itu, berada di luar wilayah
pengalamannya. Dalam konteks itulah, AAC berhasil secara meyakinkan menyuguhkan
sebuah peristiwa yang bagi masyarakat pesantren begitu dekat dengan kehidupan
keseharian mereka. Sebuah familiarisasi bagi kelompok masyarakat tertentu, dan
terasa “aneh” bagi kelompok masyarakat lain yang tidak punya pengalaman tentang
itu. Maka, sudah dapat diduga, kelompok masyarakat mana saja yang begitu
tersihir AAC.
Meskipun dalam banyak hal, AAC menampilkan kehidupan yang
sarat dengan suasana Islami, tidaklah berarti novel itu masuk kategori sastra
Islam. Bahwa AAC dipandang inspiring, menyuguhkan pesan-pesan moral, bahkan
diyakini memberi pencerahan jiwa, tidaklah berarti novel lain pun –yang
dianggap profan—tidak menawarkan pesan-pesan moral. Sebutlah misalnya, novel
Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Bukankah novel itu pun menyuguhkan pesan
moral dan memberi pencerahan –paling tidak bagi sebagian pembacanya—tentang
pentingnya keteguhan iman. Bahkan, dilihat dari aspek penokohannya, agaknya
kita dapat membandingkannya dengan model penokohan dalam sejumlah novel populer
yang cenderung karikaturis. Dalam hal ini, yang dapat kita tangkap dari
ketokohan Fahri adalah sosok manusia ideal yang secara fisikal sempurna. Oleh
karena itu, ia seperti tidak punya problem psikologis.
***
Begitulah, AAC sebagai representasi novel Islam,
sesungguhnya lebih didasarkan pada persoalan sosiologis pembacanya. Tentu saja
cara pandang ini tidak berarti novel itu kehilangan ruhnya yang menghembuskan
nafas Islam. Kiranya ia lebih tepat disebut novel Islami, novel yang di
dalamnya, memancar suasana Islam.
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18
Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya
dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005).
Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI)
tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai
Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan
menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University
of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan
penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi
Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi
Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita
Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment