Thursday, November 12, 2020

Burung Kayu dan 'Yang Asing'

Juan Kromen *
 
Membaca Burung Kayu karya Niduparas Erlang bagi saya adalah usaha menyelami realitas masyarakat Mentawai di pedalaman Pulau Siberut dengan segala kompleksitasnya, sekaligus mengecap kekayaan kosakata bahasa daerahnya. Niduparas saya kira bertaruh dan berhasil menerabas pakem baku dalam dunia kepenulisan, ihwal penyertaan catatan kaki/keterangan untuk mendefinisikan dan atau menjelaskan arti kosakata bahasa daerah tertentu. Dalam konteks novel Burung Kayu: mengartikan kosakata bahasa daerah Mentawai ke dalam bahasa Indonesia.
 
Pada halaman-halaman awal, pembaca barangkali akan kebingungan ketika menemukan kosakata asing yang tidak disertai dengan keterangan dalam bahasa Indonesia. Tapi di situlah letak sensasi dan kenikmatan membaca Burung Kayu. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana kerja otak yang luar biasa untuk memahami sesuatu yang pada awalnya terasa asing. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana bahasa (daerah) dengan caranya yang ajaib, mampu menyingkap realitas bagi pembaca yang bahkan tidak pernah bersentuhan secara langsung dengan budaya dari masyarakat/etnis tertentu.
 
Beberapa tahun lalu, saya mengenal teman-teman (calon pastor) yang ditugaskan di pedalaman Mentawai. Kurang lebih setahun mereka berkesempatan untuk tinggal dan merasakan secara langsung kehidupan masyarakat Mentawai di pedalaman. Kendala paling utama dalam bersosialisasi adalah bahasa (daerah). Tapi rata-rata ketika kembali dari sana, mereka fasih berbahasa Mentawai. Tentu saja dengan cerita-cerita mengenai tantangan hidup masyarakat di sana, yang bagi kebanyakan orang di luar lingkup Mentawai masih diberi label 'terbelakang'.
 
Novel terbitan Teroka Press dengan latar belakang antropologis ini memotret sekaligus mewedarkan secara langsung kompleksitas kehidupan masyarakat Mentawai, tidak dengan telunjuk tuduhan 'terbelakang' itu. Alih-alih secara serampangan memberi label 'terbelakang' dengan pembanding 'kemajuan' di Jawa, misalnya, Nidu berusaha menampilkan citra masyarakat Mentawai sebagai subjek dengan otentisitas sosio-kultural-religius mereka. Untuk usaha bertungkus lumus dalam hal riset, entah itu dari sumber-sumber tertulis, lisan, maupun pengalaman langsung di lapangan hingga 'kelahiran' Burung Kayu ini, saya harus 'angkat topi' untuk Niduparas Erlang.
 
Bagi saya, sangat penting untuk menampilkan aspek sosio-antropologis juga refleksi teologis yang khas dari entitas masyarakat tertentu, termasuk dalam sastra. Bahwa sastra tidak serta merta datang dari ruang kosong, tetapi berangkat dari realitas dengan konteksnya yang khas. Filsuf Eksistensialisme Prancis, Jean-Paul Sartre dalam bukunya "What is Literature?" (London, 1967), membahas tanggung jawab sastra, yang dalam salah satu pokok pikirannya mengungkapkan bahwa pengarang maupun pembaca mengada dalam sejarah dan dunia-hidup yang sama.
 
Sastra, bagi Sartre, harus membimbing pembaca pada kebebasan yang lebih purna karena dunia semakin ternyatakan (revealed). Sastra merefleksikan kenyataan dunia yang partikular dan penulis (prosa) memiliki tugas untuk menyingkapkan (to disclose) dunia (J. Supriyono, "Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartra" dalam La Literature Éngagée: Menggagas Sastra yang Membebaskan, hlm 89).
 
Sejalan dengan itu, Burung Kayu merupakan pantulan realitas Mentawai dengan segudang kritikan terhadap negara, korporasi, dan institusi agama. Pembangunan yang kerap digaungkan, baik oleh institusi negara maupun agama dengan alasan klise: kesejahteraan, kerap abai terhadap kekhasan masyarakat tertentu. Rezim kerap menentukan model pembangunan tanpa pertimbangan/kajian sosio-antropologis dan juga refleksi teologis yang punya implikasi serius bagi kerusakan alam. Padahal kita tahu, sebagian masyarakat di pedalaman masih sangat bergantung kepada alam. Alam dipandang tidak semata-mata sebagai sumber penghidupan, tetapi lebih dari itu, sebagai semesta agung yang memiliki pertautan teologis dengan keyakinan aslinya.
 
Sering pula, masyarakat ditempatkan sebagai objek pembangunan yang mau tidak mau harus tunduk dan manut terhadap setiap kebijakan rezim. Belum lagi perselingkuhan antara rezim dan taipan-taipan pemilik modal yang mengeksploitasi alam secara membabi-buta, yang akhirnya berdampak terhadap ruang hidup komunitas adat. Kasus-kasus ini dapat kita jumpai dengan gamblang dalam Burung Kayu.
 
Membaca Burung Kayu juga menyeret imaginasi untuk menyusuri kembali kehidupan masyarakat di kampung-kampung di tanah kelahiran saya, Flores. Sekilas, kehidupan di Mentawai dalam beberapa adegannya mirip dengan kehidupan masyarakat di Flores, yang di satu sisi sangat dekat dengan kekatolikan, namun di lain sisi masih mempraktikkan ritus-ritus yang dianggap magi -- sebagai bagian dari ekspresi kultural. Saya membayangkan, berpuluh-puluh tahun lalu, 'wajah' sebagian besar Pulau Flores serupa dengan apa yang ditampilkan dalam Burung Kayu ini.
 
Yang khas dan tak terpisahkan dalam Burung Kayu dan masyarakat di Flores hingga saat ini ialah babi. Babi sebagai hewan yang didomestikasi memiliki fungsi yang sangat vital: sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Selain itu, dalam seremoni adat seperti perkawinan, kematian, atau pembayaran denda adat, babi-lah yang akan dikorbankan. Nyaris setiap rumah di Flores memelihara sekurang-kurangnya seekor babi. Bahkan banyak orang tua yang akhirnya bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat dari bangku kuliah karena babi. Dari hasil memelihara dan menjual babilah, anak-anak bisa bersekolah.
 
Burung Kayu memberi kebaruan dalam khazanah sastra Indonesia karena berhasil menyisipkan begitu banyak kosakata berbahasa daerah Mentawai dan merangsang otak untuk mengartikan itu tanpa keterangan bahasa Indonesia. Dibutuhkan kepiawaian sedemikian rupa untuk membangun cerita, lalu mengarahkan pembaca sehingga mampu menangkap apa yang dimaksudkan oleh Penulis.
 
Namun penilaian amatir saya sebagai pembaca, bangunan cerita dalam Burung Kayu dan konflik-konfliknya cenderung datar. Eksplorasi Niduparas terhadap konflik kurang menukik dan tajam. Gaya penceritaannya pun kerap mengulang-ulang lanskap alam Mentawai dengan gaya bahasa yang menurut saya bertele-tele. Saya sebenarnya mengharapkan gaya bahasa yang lebih 'provokatif', lugas, bahkan vulgar. Tapi soal ini tentu saja tergantung preferensi pribadi. Demikian pula mengenai muasal konflik antar-'uma' yang juga dikisahkan ulang yang saya pikir tak perlu. Tapi barangkali itu bagian dari strategi Penulis untuk kebutuhan cerita. Kelanjutan konflik antar-"uma" pun pupus dan tak ada jalan penyelesaian.
 
Mengisahkan ulang musebab konflik bagi saya adalah usaha merawat dendam. Apakah itu bagian dari strategi Penulis untuk melanjutkan kisah Burung Kayu II? Saya tak tahu, tapi saya berharap demikian. Novel ini meninggalkan celah untuk dilanjutkan kisahnya. Saya kira akan sangat menarik jika kisahnya kemudian dilanjutkan. Legeumanai sang 'sikerei' muda dengan latar belakang berbeda (berpendidikan) tentu memiliki tantangannya tersendiri dalam memimpin "uma"-nya.
 
Pada bagian akhir novel ini, kita bisa melihat bagaimana ritus/tradisi yang pada awalnya 'sakral' menjadi profan. Bagaimana kebudayaan pada akhirnya dikomodifikasi. Ini pun bagi saya bagian dari kritik. Di luar penilaian amatir saya sebagai pembaca atas 'kekurangan' novel ini, saya kira karya ini patut dan wajib dibaca oleh siapa saja.
 
Karya ini berangkat dari riset yang sungguh-sungguh dan menampilkan wajah lain dari Indonesia yang begitu luas. Kita sering 'meludahi' wajah Indonesia yang majemuk ini dengan teriakan seperti kesetanan: "NKRI harga mati!" 'Yang asing' adalah yang jauh di sana. Bayangan dalam batok kepala kita yang kecil tentang 'yang asing' itu terbentuk hanya dari sekat imaginer antar-negara. 'Yang asing' itu, ya berbeda negara; berbeda kewarganegaraan. Tapi sadarkah kita bahwa kita juga kerap menganggap yang berbeda dari kita sebagai 'yang asing'? Berbeda dalam hal apa saja: agama, budaya, cara hidup, pilihan politik, etnis, ras, dan sebagainya.
 
Novel ini wajib dibaca karena menghadirkan dengan telanjang 'yang lain' -- yang sebenarnya adalah bagian dari kita: dalam rumah besar bernama Indonesia. Mereka barangkali menempati kamar paling sempit dalam rumah besar itu, tapi di depan meja perjamuan yang menghidangkan menu keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan kemanusiaan, mereka pun wajib mengecap menu yang sama dari meja perjamuan itu. Tidak dari remah-remah yang jatuh dari atas meja. Jadi, jangan biarkan "Burung Kayu" Pancasila pada bubungan rumah Indonesia sekadar ornamen penghias!
 
Akhirnya, selamat membaca karya bagus ini!
NB: sampul novel ini keren!!!
 
PM, 261020
 
*) Juan Kromen, lahir di Waibalun, Flores Timur, NTT. Penikmat sastra dan kopi hitam tanpa gula.

https://sastra-indonesia.com/2020/10/burung-kayu-dan-yang-asing/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar