Thursday, November 12, 2020

Mengagumi Abdullah Harahap

(Catatan pendek atas novel “Manusia Kera” karya Abdullah Harahap)
 
Erwin Setia *
 
Saya telah membaca soal Abdullah Harahap, penulis cerita-cerita horor kelahiran Sipirok yang amat produktif sejak bertahun-tahun silam. Beberapa kali Eka Kurniawan menuliskan soal Abdullah dengan maksud memuji. Bahkan secara terang-terangan Eka mengakui pengaruh karya-karya Abdullah (bersama karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan Enny Arrow) terhadap cerita-ceritanya. Lebih dari itu, bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad, Eka pernah menulis buku Kumpulan Budak Setan sebagai bentuk perayaan atas cerita-cerita Abdullah. Baru-baru ini Mikael Johani juga menerbitkan catatan menarik berjudul “Bangkit dari Lapak: Abdullah Harahap dalam Kanon Sastra Indonesia” yang mengemukakan bahwa terpinggirnya karya-karya Abdullah dalam skena sastra Indonesia adalah salah kanon sastra Indonesia sendiri yang tidak punya kanon(isasi) sastra yang jelas sehingga karya-karya Abdullah musti terjerumus dalam status “picisan/stensilan/murahan/sastra kaki lima”.
 
Meskipun Eka dan Mikael telah bicara, nyatanya pembahasan soal karya-karya Abdullah belumlah ramai-ramai amat. Untuk ukuran penulis yang telah menelurkan puluhan karya kelas atas, porsi pembahasan untuk Abdullah kelewat sedikit. Kebanyakan penulis dan pembaca saat ini lebih asyik membicarakan karya-karya baru. Sayangnya, mereka membicarakan karya-karya baru bukan karena karya-karya itu sangat bagus dan layak dibicarkan, kerap kali alasan mereka membicarakan karya itu karena kebaruannya semata, karena terbit baru-baru ini, kendati dalam setahun-dua tahun ke depan karya itu akan teronggok dan dilupakan (ya, karena kualitasnya tak sebagus yang orang-orang gemborkan).
 
Secara pribadi saya juga tidak puas terhadap karya-karya penulis dalam negeri yang muncul belakangan. Mungkin ini salah saya yang tidak mudah jatuh cinta. Untuk itu saya pun mencoba untuk menengok ke belakang, membaca buku-buku lama yang tak banyak orang bicarakan, padahal layak dibaca.
 
Sebulan belakangan saya memburu karya-karya Abdullah Harahap. Saya baru mendapatkan empat novelnya berjudul Bisikan Arwah, Pemenggal Kepala, Manusia Serigala, dan Manusia Kera (saya membelinya dengan harga sepuluh ribuan! Bandingkan dengan buku-buku yang terbit dewasa ini yang harganya bisa berkali-kali lipat!). Judul terakhir itulah yang baru saya baca dan hendak saya bicarakan.
 
Sungguh Abdullah Harahap sudah memikat saya sejak dari pembukaan novelnya. Dalam novel terbitan Sinar Pelangi yang tidak mencantumkan tahun terbit ini Abdullah membuka novelnya dengan kata-kata berikut: “Bramandita menyelesaikan ketikannya lalu mengoreksi sambil lalu. Ia tahu kalau itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah lebih buruk lagi.”
 
Mungkin sebagian orang menganggap deretan kalimat itu biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya pembukaan itu menunjukkan keterampilan Abdullah sekaligus kepercayaan dirinya. Ia tidak repot-repot melukiskan gambaran cuaca atau detail-detail yang tak perlu. Ia langsung menukik pada konflik. Ya, novel ini berkisah tentang Bramandita, seorang wartawan yang dituntut untuk menulis artikel heboh dan berpotensi menarik minat banyak pembaca. Kemudian cerita pun beralih ke dua kematian misterius: sopir taksi yang mati tanpa luka dan Tedi Jukandi yang mati dengan leher tercabik dan kemaluan terputus. Kematian Tedi (ia adalah kawan dekat Bramandita atau Rama) adalah misteri yang sukar dipecahkan. Pada bagian awal novel ini terasa seperti novel detektif. Lantas, cerita pun bergerak lagi, kali ini kita akan menjumpai tokoh Miranda (istri Tedi yang sekaligus merupakan cinta lama Rama). Pada bagian kedua ini Manusia Kera terasa seperti novel romance—bisa bayangkan cerita cinta-cintaan dengan judul Manusia Kera? Sementara pada bagian ketiga ketika Bramandita menemani Miranda pergi ke kampungnya—sebuah desa bernama Mantili—barulah novel ini memasuki fase novel horor, fase yang paling menegangkan.
 
Begitulah. Dengan kelincahan kata-kata dan teknik yang amat rapi Abdullah Harahap bisa merangkai ceritanya ke dalam berbagai bentuk dan tema. Bahkan, ia juga mengungkit Teori Evolusi Darwin! Ia mencampuradukan hal yang amat “ilmiah” itu dengan takhayul dan hal-hal mistis. Sungguh revolusioner!
 
Kehebatan Abdullah Harahap tidak berhenti sampai di situ. Novel ini terdiri dari banyak tokoh dan Abdullah dengan apik bisa memberi porsi yang cukup untuk masing-masing tokoh. Tidak ada tokoh yang tampak sia-sia atau sekadar tempelan. Begitu pun dengan sejumlah detail cerita, umpamanya soal profesi Bramandita sebagai wartawan dan deskripsi Bukit Larangan. Semuanya memiliki fungsi untuk menjadikan cerita lebih kuat dan kokoh.
 
Ini novel yang kompleks. Tetapi dengan kelenturan berbahasa Abdullah bisa membuat novel ini jadi terasa ringan dibaca—hanya perlu beberapa jam untuk menamatkannya. Temponya cepat. Hampir di setiap bagian terdiri dari aksi-aksi yang menggerakkan cerita tak ubahnya mesin menggerakkan roda. Tidak ada bagian yang melantur atau memanjang-manjangkan cerita belaka.
 
Saya sadar apa yang saya tuliskan ini belumlah cukup—jauh dari kata cukup—untuk menguraikan soal keunggulan cerita-cerita Abdullah Harahap. Namun, saya musti membahas karya pertama Abdullah Harahap yang saya baca dalam catatan khusus yang amat pendek dan agak gegabah ini untuk mengingatkan diri saya sendiri agar tak menyia-nyiakan waktu membaca karya yang tak jelas kualitasnya serta mahal harganya, sementara di lapak-lapak buku loak karya monumental Abdullah Harahap masih menunggu untuk dipinang dan di rak buku saya masih ada tiga buku Abdullah yang menunggu dibaca.
***
 
30 Oktober 2020
 
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14.

http://sastra-indonesia.com/2020/11/mengagumi-abdullah-harahap/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar