TUHAN KEDINGINAN DI KAPEL SUCI
di kapela suci suatu Minggu pagi
Tuhan seorang diri yang merasa dingin
sementara para murid dan Farisi berdiri di sekeliling
meja perjamuan
dengan jubah menyentuh jubin, menyapu debu dan menyisir angin
tangan-tangan yang luka oleh merah api
menyalakkan madah di atas altar untuk menyembelih anak domba
doa-doa yang kuyup dipanggang matahari
dari atas salib Tuhan menghangatkan hari-hari
usai ekaristi keluarlah kita dari kapela membawa tubuh
menabuh lonceg kecil di kepala, mengingat-ingat ayat yang menyala di dada
: ketika aku telanjang kamu tidak memberi aku pakaian
(2020)
TANDA TANYA KETIKA HUJAN
nyanyian hujan terdengar di kamar
kalender sedang menangisi tanggal-tanggal yang jatuh
di bulan November
takdir yang cerkas mengintip lewat celah jendela
seorang wanita pulang bersama malam yang jatuh
tanpa sepotong bulan bersama air mata dan lubang di dada
ia membawa mimpi-mimpi yang roboh
setelah hujan seperti jutaan anak panah
menghujam kepala yang menyimpan tuhan dan tanda tanya
(2020)
KIPAS ANGIN
waktu berputar dalam lempengan kipas angin
dingin menjatuhkan banyak henyak dengan serentak
hukum adalah tubuhmu yang kapas
dikipas oleh angin ke sana ke mari
sesuka hati
(2020)
DI HARI PERMANDIAN
setelah ibu dan wanita-wanita lain menyemburkan sirih pinang
berwarna merah seperti darah anak domba ke tubuhmu
yang masih belajar bagaimana cara menangis dalam sebuah ritual
beberapa hari kemudian pada suatu pagi
di hari minggu kedua dalam bulan Februari
dengan air berkat lewat tangan-tangan yang diurapi
minyak paling suci dari bukit zaitun yang melebihi narwastu
yang dibawa pelacur dalam alkitab untuk mencuci kaki Tuhan di rumah Simon
kau dibaptis di bawah kaki altar sebuah kapela
seekor merpati tiba-tiba hinggap di bahu
lidah-lidah api bernyala di dada
seorang pastor menenggelamkan tubuhmu dalam tempayan berisi air sebanyak tiga kali
seperti banyaknya penyangkalan Petrus pada suatu subuh sebelum jago berkokok
di dalam tempayan, dunia tercipta dari airmatamu yang turun dari taman Eden
Tuhan sedang meniup-niup angin di puncak ubun-ubun
ketika kami menyerukkan amin dan kata-kata yang keluar dari mulut pastor
menyukakan hati para malaikat dan penghuni surga
In nomine patris et filii et spiritus sancti
(2020)
MEMORIA
Telah kau tanam mawar merah di dadaku yang bungah
usai musim menggugurkan bulir-bulir embun
dan merahasiakan tumbuhnya sepi
duri-duri mawar pernah menancap bayangan di bawah telapak kaki
sebelum menguncup mekar luka yang merah dan benci marah
sementara kelopak terbuka seperti ngap-ngap mulut ikan kecil di air
yang mengalir sepanjang sungai matamu dan membanjiri puisiku
Telah kau tanam ingatan yang rimbun
ketika garis-garis gerimis jatuh di jendela
pada suatu waktu yang pergi dan lupa kembali
berderai-derai kenangan yang luruh di kening
Telah kau patahkan setangkai mawar dari kepala Maryam
di sebuah kapela, tempat aku melangitkan doa untukmu
kemudian jarak kian lama untuk merawat detak di dada
dan kita melafalkan kangen melawan angin yang ingin menghapus pertemuan
Setangkai mawar adalah janji-janji
wangi dupa menguar menuju langit
duri mengintai-intai urat nadi untuk mengalamatkan sakit
seperti mencintai, kau harus menikam belati ke dalam hati sendiri
berkali-kali.
(2020)
COMPLETORIUM
Malam sudah jatuh di atap kapela
Keduabelas rasul bergegas megusir lebah dalam kepala
Doa dan mazmur dari Daud bersahutan menghantar hari ke pembaringan
Malaikat-malaikat siap berjaga melapangkan jalan bagi mimpi
Seperti menyudahi kegaduhan di sepanjang pagi hingga petang
Mengatup mata malam adalah ziarah tak sudah-sudah menuju tubuh
Sebelum ada kidung paling nyaring dari Daud mengiring kecemasanmu
Lalu kau terbiasa memeluk dirimu sendiri
: di tepi sungai Babel aku duduk sambil menangis
(Ledalero, 2020)
MEMBACA SUNYI DARI JENDELA
Tak ada yang lebih jujur dari daun jendela membahasakan sunyi
dari empat penjuru mata angin :
Timur, awal kau menenun hidup dan melitanikan doa-doa pada bibir pagi
yang basah.
Selatan, menghitung tangkai-tangkai waktu yang patah dan ikhlas menerima
musim-musim yang penuh dengan genangan hujan dari langit mata.
Utara, ketika pada dingin waktu kau mengingini balutan hangat
berupa selimut puisi dan kuucapkan selamat puasa untuk harapmu yang keras kepala
biar angan adalah setiap ingin yang akan kau perjuangkan.
Barat, adalah amin dari setiap doa-doa yang kaudaraskan di setiap musim
adalah akhir dari petualangan tanpa jeda, tempat senja datang lalu pulang
dan kau akan menunggu kapan waktu menjemput.
Di jendela, mata kaca dan mata kata mencatat dengan jujur
bahwa semuanya ada dan menjadi tiada setelah bayang-bayang malam
mengatup kelopak matamu.
(Ledalero, 2019)
MEMBACA CUACA
adalah angin menggelepar di atas kertas
deras hujan kemudian menggenangi kenangan
kangen tiba-tiba tumbuh di dada
doa-doa kecil semesta menjelma kita
Ledalero, 2020
REQUEM
sepasang kaki yang berjalan sepanjang hari
kini berhenti seperti daun jati yang terkulai
di halaman rumah tempat kau pagi-pagi menyapa matahari
dan menyapu gugur daun-daun setelah tanggal dihempas angin
dari dahan-dahan musim
museum tubuh yang menyimpan ingatan tinggal kata-kata
kita akan ceritakan dari mulut ke mulut sebelum maut benar-benar
menjemput di palang pintu lalu malaikat-malaikat pulang dengan terompet
di tangan meniup-niup requem sedang pada langit-langit mata kita
ada nyanyian hujan yang lebat memperlambat langkah awan
sebelum kembali pecah seperti embun di jendela
(2020)
NUBUAT
seorang ibu membacakan sajak kepada anak-anaknya
bulan menggelinding di pucuk-pucuk cemara
asmara antara malam, puisi dan bulan menjadikan cerita penuh romansa
di kepala anak-anak hidup pohon yang daunnya rindang serta dahan penuh cabang
kelak sebelum tidur di ranjang yang tak bisa kau peluk dengan leluasa
mata malam akan mengatup matamu dan mataku mengalirkan puisi sepanjang mimpi
menggenapi nubuat para penyair tentang akhir sebuah takdir
Ledalero, 2020
Rikard Diku, lahir 7 Februari 1999, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-NTT. Beberapa cerpen dan puisinya tersiar di koran, media daring, dan dibukukan dalam beberapa antologi. http://sastra-indonesia.com/2020/11/puisi-puisi-rikard-diku/
No comments:
Post a Comment