Friday, November 27, 2020

UPETI UNTUK KAPITALISME GLOBAL

Ulasan Cerpen “Anak IniMau Mengencingi Jakarta?
 
F. Rahardi
 
Cerita pendek Ahmad Tohari berjudul “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” dimuat di Harian Kompas, 13 September 2015. Ini merupakan cerita pendek bergaya realis, yang semakin langka dianut oleh para penulis cerita pendek kita. Para penulis cerita pendek zaman ini, lebih senang menulis dengan gaya surealis dan absurd.
 
Cerita pendek Ahmad Tohari ini berkisah tentang kereta api yang berhenti menjelang Stasiun Senen, Jakarta Pusat, lalu subyek cerita berpindah dari dalam kereta api ke pemandangan keluarga tuna wisma di pinggir rel. Diceritakan seorang bapak membeli mi instan, menaruh air panas dan bumbu dalam wadah plastik mi instan itu, lalu menyuapkannya pada anaknya. Kuah mi itu untuk si emak yang masih tidur. Anak itu hendak kencing lalu oleh si bapak diminta agar tidak mengencingi punggung emaknya. Ketika melihat ada anjing mengencingi tiang, si anak kembali ingin kencing, dan oleh si bapak kembali diminta agar tidak mengencingi buntelan milik si emak. Bapak itu minta anaknya kencing di mana pun di seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan.
 
Generasi penulis cerita pendek seusia Ahmad Tohari, sudah banyak yang tak produktif lagi; bahkan beberapa sudah meninggal. Saat ini usia Ahmad Tohari kelahiran 1948, sudah 67 tahun. Gaya penulisan realis yang dianut Ahmad Tohari, juga makin langka. Jejak Danarto kelahiran 1940 (75 tahun), yang menebarkan wabah surealisme dalam penulisan cerita pendek, makin banyak diikuti oleh generasi terkini penulis kita. Demikian pula dengan jejak Budi Darma, kelahiran 1937 (78 tahun), yang menawarkan absurditas; juga laris manis diikuti oleh para penulis cerita pendek Indonesia. Sebenarnya sebelum Budi Darma, Iwan Sipatupang (1928 – 1970) sudah terlebih dahulu memulai gaya absurditas dalam penulisan prosa dan naskah drama. Tapi generasi para penulis terkini, lebih banyak berkiblat ke Budi Darma.
 
Masa Lalu
 
Maka gaya realisme yang masih sangat setia dianut Oleh Ahmad Tohari menjadi langka. Gaya ini juga dipakai oleh Hamsad Rangkuti kelahiran 1943 (73 tahun), yang saat ini sudah tak bisa menulis karena faktor kesehatan fisiknya. Selain gaya penulisan realis yang semakin tersisih, obyek yang ditulis Ahmad Tohari juga semakin tergusur. Tepi rel kereta api, dan bantaran kali, memang identik dengan kawasan kumuh, yang menjadi tempat domisili para tuna wisma, yang umumnya berprofesi sebagai kuli angkut, pemulung, pelacur, dan pelaku kriminalitas kelas bawah. Di DKI Jakarta, pernah sangat terkenal nama Tanah Abang Bongkaran sebagai kawasan kumuh tersebut, karena setiap kali dibongkar, akan dibangun kembali oleh para penghuninya. Di sebelah barat Stasiun KA Senen, juga pernah terkenal tempat bernama Planet Senen sebagai kawasan kumuh. Sekarang Planet Senen menjadi Gelanggang Remaja.
 
Pelan-pelan Pemerintah DKI membersihkan kawasan kumuh di bantaran kali. Belakangan ini bantaran Kali Ciliwung di Kampung Pulo, Jatinegara juga tak luput dari pembersihan, untuk menormalkan aliran sungai, guna mencegah terjadinya banjir. Sejak Ignasius Jonan menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, BUMN ini juga berbenah diri. Penumpang berjejal dalam gerbong kereta tanpa pendingin (AC) tak ada lagi. Semua gerbong sekarang ber AC. Penumpang yang naik ke atap gerbong juga lenyap. Pedagang kaki lima di Stasiun KA juga diusir, dan tepi rel kereta api pun dibersihkan. Tindakan ini mengundang kritik para aktivis LSM, bahwa Jonan tak berperikemanusiaan. Tapi pembersihan jalan terus. Bagi pemerintah, jutaan penumpang KA lebih diutamakan dibanding ribuan pedagang kakilima. Keamanan dan kenyamanan jutaan penumpang tentu lebih penting dibanding nasib tuna wisma di tepi rel KA.
 
Maka sekarang orang yang dulu suka naik mobil pribadi atau pesawat terbang, lebih memilih naik kereta api. Selain aman dan nyaman, cara memperoleh tiket pun sangat mudah. Kalau dulu calo merajalela, sekarang lenyap. Mereka yang melek teknologi online bisa memilih sendiri tiket yang dikehendaki. Mereka yang buta teknologi bisa pesan tiket jauh hari, dan langsung membayar di gerai Indo Maret dan Alfa Mart di mana-mana. Sekarang kereta api kita sama dengan di Malaysia, yang sudah sejak awal sangat tertib. Tapi pemandangan yang dilukiskan cerita pendek Ahmad Tohari ini juga ikut lenyap. Di beberapa tempat, termasuk di jalur Jatinegara – Senen, pembersihan masih belum sepenuhnya berhasil. Tetapi itu hanya soal waktu. Pada akhirnya sepanjang jalur rel kereta api akan bersih dan tak mungkin lagi ada tuna wisma seperti dalam cerita pendek ini.
 
Sastrawan bisa berperan sebagai “saksi sejarah” bagi masyarakat dan bangsanya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Ahmad Tohari masih berkisah tentang singkong (ubi kayu, ketela pohon). Tahun 1980an dampak dari serbuan kapitalisme global masih belum begitu terasa di Indonesia. Orang kelaparan memang sudah jarang kedengaran beritanya, tetapi waktu itu mi instan masih belum merajai selera masyarakat Indonesia. Yang terkenal baru mi telor. Mi kering tanpa bumbu, yang memasaknya harus terlebih dahulu dilembekkan dengan air panas, air dibuang dan mi yang sudah lembek ini dimasak dengan bumbu-bumbu. Tahun 1980an, saat Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk, umbi-umbian masih merupakan komoditas yang dibudidayakan para petani di pedesaan Jawa. Selain singkong, juga ditanam ubi jalar, keladi, dan uwi-uwian yang tumbuh liar di lahan penduduk.
 
Mi Instan
 
Ada rentang waktu lebih dari tiga dekade, sejak Ronggeng Dukuh Paruk ditulis, dengan saat Ahmad Tohari menulis cerita pendek  Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? Lahan kering di Jawa, sekarang sudah jarang ditanami umbi-umbian, termasuk singkong. Para petani lebih senang menanam kayu, terutama kayu sengon (jeungjing), yang tak perlu perawatan berat seperti budidaya tanaman semusim. Setelah lebih dari lima tahun, kayu itu akan dibeli oleh para pedagang yang kemudian menjualnya ke pabrik penggergajian. Kayu sengon itu akan diekspor ke Jepang dan Korea. Singkong yang disinggung Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, memang masih dibudidayakan dalam skala ribuan hektar oleh perusahaan besar di luar Jawa, untuk dibuat gaplek dan diolah menjadi tapioka. Gaplek bukan lagi bahan tiwul, melainkan merupakan pakan ternak, terutama unggas. Tapioka paling banyak diserap oleh industri bakso.
 
Sejalan dengan itu, pola konsumsi masyarakat juga berubah. Ahmad Tohari tak bisa lagi bercerita tentang Rasus dengan singkongnya, melainkan tentang seseorang yang anonim, di lokasi urban yang menyantap (menyuapi anaknya) dengan mi instan. Mi merupakaan pangan terbuat dari tepung gandum (terigu). Karena Indonesia terletak di kawasan tropis, gandum tak bisa dibudidayakan di negeri ini. Maka kita harus mengimpor gandum untuk membuat mi instan. Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk selama tahun 2014 mencapai 7,4 juta ton, dengan nilai 242,3 juta dollar AS. Dengan kurs Rp 11.000 per satu dollar AS, nilai impor gandum kita tahun 2014 mencapai Rp 26,6 triliun. Jadi, tokoh cerita pendek yang menyuapi anaknya dengan mi instan itu, sebenarnya sedang “membayar” upeti kepada kapitalisme global.
 
Terjadilah sebuah ironi. Ketika rakyat miskin Indonesia bahkan tuna wisma menyantap mi instan dengan sangat nikmat, sebenarnya mereka tengah membayar upeti kepada para petani gandum di AS. Sebab sebagian besar gandum kita diimpor dari AS. Nasi tergeser, umbi-umbian tergusur. Di DKI Jakarta memang masih bisa dijumpai para penjual pisang rebus dan umbi-umbian, dengan minuman bersantan yang disebut bajigur. Tapi mereka juga makin tersisih. Kalau pun ada peminatnya, mereka justru berasal dari masyarakat kelas menengah, bukan masyarakat di kawasan kumuh lagi. Kereta api dalam cerita pendek ini, tampaknya hanya sekadar “dipinjam” oleh Ahmad Tohari, agar ia bisa bercerita tentang kelompok masyarakat, yang sebentar lagi sudah tak akan pernah kita jumpai di tepi rel kereta api. Mereka akan tersingkir entah ke mana, sama dengan umbi-umbian yang juga tersisih, sama dengan gaya penulisan realis yang makin sedikit penulisnya.
 

Cimanggis, 4 Oktober 2015. http://sastra-indonesia.com/2020/11/upeti-untuk-kapitalisme-global/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar