Tuesday, November 17, 2020

Ludah yang Membawa Celaka

Arafat Nur *

Media Indonesia, 16 Okt 2016
 
SAMPAI sekarang orang belum melupakan bahwa di Lamkachoe pernah ada seorang pemberontak gondrong, masih lajang, dan suka meludah. Caranya meludah kerap membikin sakit hati. Setelah teman-temannya menyingkir jauh ke gunung akibat pukulan pasukan pemerintah, ia berhasil mengelabui tentara dengan mengaku sebagai petani biasa, tapi diam-diam mengambil kesempatan mengendalikan kekuasaan tak nyata sebagai pemimpin pejuang di kampungnya.
 
Selain keluarganya yang masih tersisa, tak seorang pun yang mengenal betul namanya, dan Manek (Mamak dari Nenek)—julukan yang melekat di tubuh yang jarang mandi itu—tak mudah bagi orang lain untuk melupakannya. Di kampung itu ia sangat Lamkachoe. Atau dalam istilah lain ia sangat menjiwai Kampung Lamkachoe, yang tidak menyukai orang dari kampung lain datang ke sana, seolah-olah mereka lebih busuk dan jahat dari kaum penjajah yang telah menginjak-injak dan membantai sebagian penduduk kampung itu.
 
Sebagaimana telah diketahui, para pendatang dari kampung jiran yang dengan banyak alasan harus tinggal dan menetap di Lamkachoe, tak ubahnya hidup di tempat asing, tak bisa berkutik, apalagi berbuat macam-macam. Orang Lamkachoe boleh berbuat sekehendak hati mereka terhadap para pendatang, tetapi bila hal serupa dilakukan oleh seorang pendatang, orang sekampung akan mengeroyoknya dengan parang.
 
Orang Lamkachoe selalu kompak membela orang kampung sendiri, tak peduli benar atau salah. Jiwa semacam inilah yang melekat kuat dalam diri Manek. Tak seorang pun meragukannya, bahkan dalam ludahnya sekalipun, orang meyakini masih melekat jiwa Lamkachoe!
 
Namun, kemudian orang meragukan jiwa kampungnya itu setelah kejadian penantangan terhadap pasukan tentara pemerintah meski setelah itu nama Manek lebih tersohor lagi sebagai orang paling gila di Pasai. Tingkahnya yang sangat berani dan hanya dilakukan oleh orang gila atau orang setengah gila itu menimbulkan rasa takjub, lalu dikenang selama bertahun-tahun.
 
Entah karena menantang pasukan tentara itu ia tidak lagi dianggap Lamkachoe, sebab biasanya orang Lamkachoe hanya memusuhi kaumnya sendiri dan bertekuk lutut di hadapan pasukan penjajah. Tapi banyak yang meyakini bukan alasan itu karena semua masalah terletak pada kandungan ludahnya. Memang sikap Manek sangat berani kala menantang pasukan pemerintah dengan cara mengirimkan sepucuk surat yang ditujukan langsung ke tangsi militer di Lamhok. Seperti surat cinta yang tidak dibubuhkan tanda tangan dan biasanya cap bibir berlipstik (bila itu dari pihak perempuan), ludahlah yang dibubuhkan Manek sebagai bukti resmi. Lalu, segera disambut sepasukan tentara dengan mengepung, menggeledah, dan menjarahi isi rumah orangtuanya.
 
Pada hari itu Tuhan menakdirkan lain, belum berkehendak mencabut nyawanya lewat perantaraan bedil dan itu tidak pernah terjadi, selain oleh ludahnya sendiri—begitulah orang-orang meyakininya kelak. Sebelum orang-orang bersenjata itu datang dalam keadaan muka padam, Manek sudah lebih dulu melesat ke hutan di belakang rumah. Desingan peluru yang mengarah pada belukar tidak sebutir pun menyentuh tubuhnya, tapi mengenai seekor kera malang yang tersesat.
 
Selama berpekan-pekan, tentara berjaga-jaga di sekitar rumahnya dan sebagian lain memburunya ke hutan. Anehnya, tak ada tanda-tanda orang yang melarikan diri lewat belakang rumah. Para serdadu hanya mendengus-dengus putus asa di sekitar tubuh kera yang telah menjadi bangkai, lalu anjing pelacak menatap sejumlah wajah tentara dengan kesal sambil menjulurkan lidahnya.
 
Konon kabarnya, seorang prajurit bodoh berhidung paling pesek dalam kawanan menyakini bahwa kera yang rubuh dari cabang kayu itu adalah wujud Manek yang mengamalkan ilmu hitam. Tentara lainnya—yang ternyata sama bodoh atau lebih bodoh darinya—langsung meyakini pendapat itu sehingga kemudian Manek merasa nyaman, tanpa seorang prajurit pun yang berusaha sungguh-sungguh mencari dan memburunya ke dalam hutan selama beberapa pekan kemudian.
 
Memang tak lama setelah itu, pasukan yang berkeliaran di sekitar Lamkachoe digantikan dengan pasukan baru yang sama sekali tidak mengenali Manek. Pasukan lama ditarik lantaran banyaknya kejadian pemerkosaan yang mereka lakukan di Pasai. Akibat bertahan terlalu lama hingga syahwat yang terus meningkat dan diketahui kemudian bahwa benda yang terletak di selangkang itu lebih banyak mengundang masalah daripada masalah perang itu sendiri.
 
Selama waktu yang panjang, Maneklah yang menguasai Lamkachoe dengan kekuasaan yang lebih tinggi dari pejabat mana pun meski ia hanya pengikut pemberontak yang tak punya wewenang dan peran penting dalam kelompok perjuangannya. Rambutnya yang panjang sering mengibas-ngibas selagi marah dan mengancam, sedangkan ludahnya yang menjijikkan itu sering menyembur ke tanah. Semua ini terjadi ketika pasukan pemerintah tidak sedang berkeliaran dan tidak sedang memukuli orang-orang Lamkachoe yang mereka anggap sangat terbelakang, miskin, dan bebal.
 
Pada waktu itu Zakirun, seorang penduduk jiran, datang membeli sebuah rumah permanen milik seorang pejabat kota yang sedang ketakutan oleh ancaman pemberontak yang sesekali turun menagih pajak perjuangan. Kampung itu digambarkan si pejabat sebagai jurang neraka yang tak mungkin ditinggali lebih lama lagi. Penjualan itu dilakukan secara diam-diam, sehingga Manek baru mengetahui saat penghuni baru itu menempati rumah si pejabat.
 
Sewaktu Zakirun sedang sibuk mengecat dinding rumahnya, Manek masuk tanpa salam, berlalu-lalang dengan muka padam di dalam ruangan yang masih berantakan. Ia bolak-balik di ruangan utama sampai ke pintu depan seperti kendaraan yang tidak memiliki rem, berputar-putar sebelum akhirnya berhenti sendiri. Zakirun menggambarkan kepadaku bahwa rambut Manek mengibas-ngibas seiring dengan hamburan cercaan—juga ludahnya—yang membikin tetangga-tetangga sebelah menahan napas dan tak berkutik.
 
“Kau tahu ini rumah milik pejuang? Siapa yang mengijinkanmu membelinya? Kau tak berhak membeli rumah ini. Rumah ini milik kami!” cecar Manek garang.
 
“Aku tak tahu itu,” jawab Zakirun.
 
“Kau tahu siapa aku?” tanya Manek menyombongkan diri.
 
“Aku tak tahu siapa kau.”
 
“Aduh, sialan, bedebah. Masak tidak tahu siapa aku?” ucap Manek jengkel. “Aku Manek, pejuang yang paling ditakuti di wilayah Peurincun! Dasar pa-i, pengkhianat. Chuih!”
 
Barangkali sebab ludah inilah sehingga kemudian Zakirun tidak bisa menahan diri, dan ia ikut-ikutan marah—bahkan lebih garang—yang kemudian membikin Manek bingung. Sambil menyemburkan serapah, Zakirun menghampiri Manek yang melangkah perlahan ke luar, dan terus menyemburkan cecaran, “Apa pun yang kau katakan, siapa pun dirimu, meskipun kau seorang hantu—atau seekor hantu—aku tidak takut. Aku ini wakil Musa si Mata Sipit. Apakah kau mengenalnya?”
 
Banyak saksi mata mengatakan bahwa saat itu tubuh Manek terpacak serupa kendaraan laju yang berhenti mendadak akibat menabrak pohon. Tubuhnya tak berkutik serupa sebatang pohon yang tumbuh secara janggal di tengah-tengah halaman, pucuknya merunduk; kepala itu tidak mampu tegak lagi dan kegarangannya lenyap seketika.
 
Tak seorang pun di Lamkachoe yang tidak mengenali Musa si Mata Sipit. Ia Panglima Sagoe Wilayah Peurincun yang menguasai lebih lima puluh kampung di Pasai—termasuk Lamkachoe yang tak berarti ini—setelah Ahmadi si Kumis Tebal tewas dikeroyok sepasukan serdadu (pasukan itu lebih dikenal dengan Pasukan Ular). Tetapi sedikit sekali orang yang mengenal Zakirun, apalagi bentuk muka dan kumisnya yang tidak meyakinkan sama sekali, bahwa ia wakil pemimpin pemberontak yang harus dipatuhi semua orang, termasuk Manek yang jauh berada di bawah kekuasaannya.
 
Setelah mencuri-curi tatap beberapa kali, tubuh Manek terangkat dengan susahnya, bersungut-sungut dan beringsut secara tak sadar menuju pintu pagar lalu melangkah keluar dengan wajah tetap menunduk. Begitu sampai ke jalan lorong, ia melangkah ligat dari rumah Zakirun dan menyesal telah datang ke sana. Sejak itu, di mana pun Manek melihat dan bertemu Zakirun, wajahnya dalam keadaan menunduk.
 
Entah karena tanggungan malu yang begitu besar, sebulan kemudian Manek tidak terlihat lagi berkeliaran di kampung, sebagaimana pekan-pekan saat pasukan tentara memburunya ke hutan. Namun, kabar lain menyebutkan ia pergi hanya gara-gara ludahnya.
 
Beberapa orang di Pasar Simpang menyebutkan bahwa sepulang dari rumah Zakirun pada peristiwa memalukan itu, Manek sering meludah-ludah, dan hampir semua muka temannya kena ludah! Tak seorang temannya yang dapat menerima perlakuan itu, dan mereka semua memusuhinya, sehingga akhirnya Manek harus angkat kaki dan tak muncul-muncul lagi untuk selamanya. Perihal ini menimbulkan banyak pertanyaan yang tak seorang pun dapat menjawabnya dengan tepat, selain perkiraan-perkiraan menyimpang yang disertai alasan keliru.
 
Sampai bertahun-tahun kemudian berhembuslah sebuah kabar yang cukup mengejutkan, bahwa orang-orang yang menjadi korban ludah Manek telah bersepakat dan berencana. Mereka berhasil membujuk Manek ke tengah hutan untuk kemudian meludahi wajahnya, dan ini mereka lakukan setelah terlebih dulu memenggal kepalanya yang berambut gondrong itu… (*)
 
Lhokseumawe, 2016

*) ARAFAT NUR, sastrawan asal Aceh. Novelnya Lampuki (2010) meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, sedangkan novelnya, Burung Terbang di Kelam Malam (2014), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. https://sastra-indonesia.com/2020/11/ludah-yang-membawa-celaka/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar