Wednesday, November 18, 2020

SORE INI SEPEDAKU MENABRAK DINDING

Mardi Luhung *
Jawa Pos, Maret 2008
 
sehabis bercinta januari 2008
 
Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh. Melewati koral, terumbu dan karang. Sekian duyung yang montok melambai. Dan sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka: “Pengelana itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah yang menyamainya dalam lekuk?”
 
Dan perkataan mereka ini masuk ke kupingku. Seperti masuknya sepur kelinci. Sepur kelinci di taman kampung. Sepur kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan tangannya. Melambai pada siapa? Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak tampak oleh pandanganku. Tapi begitu nyata oleh pandangan sekian kanak itu. Pandangan yang kerap membuat bulu roma berdiri. Ketika sekian kanak itu berkata:
 
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”

Tapi, aku terus mengayuh sepedaku. Kedalaman laut terasa begitu hijau. Sehijau hutan ilalang yang pernah aku hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat aku pernah menemui si perempuan yang telah menggunting rambut panjangnya. Dan membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung yang berdarah. Lambung yang kata si perempuan, mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada bapak. Bapak yang ada di entah. Bapak yang entah siapa.
 
Dan bapak yang telah pergi tepat si tukang kayu lahir. Dan bapak yang sampai kini tak dikenal bentuk rupanya. Apakah segi tiga, lonjong, bundar atau kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang apakah sempat, memberi nama padanya atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu berbisik: “Anakku, jadilah orang yang baik. Dan jika besar jadi juga orang besar yang budiman. Yang tak suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa matimu juga meski susah,”
 
“Anakku, ingat juga, jika matimu sampai susah, itu artinya, kau tak disuka sorga. Sorga yang punya pohon terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa saja. Buah apa saja. Asalkan bukan pohon dan buah yang satu itu. Yang telah membuat kita seperti ini. Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar akhirnya kembali mati juga. Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau pembelaan. Dengan tangis atau tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka. Anakku, ingatlah perkataan bapak ini,”
 
Dan bye, bapak pun melesat pergi lewat pintu belakang. Dan hilang tak berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali si tukang kayu. Yang sampai kini tak tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga belum punya nama. Lalu, tiba-tiba: “Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si belut memanggilku. Suaranya cempreng tapi renyah. Si belut itu tak begitu besar. Dan persis di punggungnya, ada semacam kulit yang tembus pandang. Dan dari dalam kulit itu, aku melihat sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di mulut itu copot. Dan di bagian atasnya ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah mulut ini,” pinta si belut. Mulut itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu dirajam oleh kegelapan. Sebab selalu ngotot ingin memasang obor. Obor yang benderang.
 
Konon, menurut cerita, obor itu milik para dewa. Para dewa yang bersemayam di langit. Dan obor itu dicuri oleh satu dewa yang murtad. Dewa yang punya kelakuan yang mirip sirip hiu. Berkelepak ke sana ke mari. Agar ada yang tersentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang tergenggam. Dan tak lagi bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka dunia manusia pun menjadi terang dan gelap. Baik dan buruk. Pintar dan bodoh. Dan itu yang membuat manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya, lambat-laun pun tak lagi butuh para dewa.
 
Apakah aku percaya pada cerita ini? Bisa ya, bisa tidak. Sebab, aku melihat dunia kini memang seperti selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya. Seperti ke kanan. Tapi justru ke kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang berpesan: “Bagi yang beriman, dunia adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman adalah petak umpet yang mengasyikkan Seperti petak umpet sumur bor yang tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padahal, yang diburu bukan lumpur. Kasihan. Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun ketawa geli,”
 
Dan di saat ketawa itu, datanglah dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita gemuk yang berkata begini: “Juga tolong, bawakan pakaian ini,” Dan si gurita gemuk ini punya empat mata. Seperti mata tajam yang pernah aku lihat di sebuah gambar. Yang berpesan tentang mata gunung yang akan meledak. Dengan kalimat: “Jika memang meledak, adakah tempat yang aman?” Dan lewat tatapan yang sekilas, aku merasa jika pakaian yang dimaksud si gurita adalah seragam hitam. Seragam hitam dengan pernik-pernik bersilangan: “Seragam si kapten!”
 
Seragam si kapten? Ya, memang ada cerita tentang si kapten dalam kapal angker yang penuh lumut. Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal angker yang tak berbentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang mengenaskan. Irama tentang pemenggalan dan penyaliban. Dan juga tentang tubuh para kelasi yang tak berkepala. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya. Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada waktu pelayaran berikutnya.
 
Pelayaran yang mendebarkan. Dengan ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan yang bertaburan api. Dan langit, ya langit terbuka. Seperti tempurung kepala yang dikelupas oleh tenaga yang besar. Sampai-sampai setiap yang melihatnya, seperti melihat lorong yang tinggi dan gaib. Yang kata para orang suci, tempat masuk-keluarnya catatan bagi manusia. Catatan baik akan menempel di telapak kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan catatan-catatan itu akan ditembaki si kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut. Dan agar yang berhak atasnya merasa kebingungan. Hilang arah. Dan menceburkan dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi yang tak berkepala itu. Dan seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak akan pernah bisa pergi dari kapal angker.
 
Itulah, itulah cerita tentang kapal angker. Dan jika kau ingin tahu tentang kapal angker ini, bukalah jendela rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit sebelah timur. Ke sebelah bintang yang mirip parang panjang. Parang yang lancip. Yang di pinggirnya ada percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah bintang penentu jejak kapal angker. Jejak penentu yang selalu muncul, ketika angin tak bertiup. Dan orang-orang yang telah mati menyembul dari tanah. Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan kabut kuning yang kerap membentuk bentuk-bentuk yang tak pernah kalian pikirkan.
 
Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan berganti tanpa terkendali. Dan bentuk-bentuk itu akan mengikuti kemana kau pergi. Kemana kau melangkah. Apakah ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan bentuk-bentuk itu selalu mengendusi kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan berdiri. Menegak. Seperti tegaknya barisan sungut serangga ketika mengangkat beban makanannya. Untuk dimasukkan ke dalam lubangnya. Lubang yang dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih masuk, akan menjadi keremangan. Yang membuat siapa saja cuma bisa meraba-raba. Sambil berharap, akan ada secercah cahaya yang membimbing.
 
Dan yang perlu kau ketahui juga, bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap pelaut akan meminggirkan kapalnya. Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung. Pelaut yang punya codet pipi yang biru. Sebiru ketenggelaman yang ada di dalam mimpi setiap pelupa. Setiap yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan: “Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu jika mabuk selalu menyebut, siapa aku? Padahal, siapa pun tahu. Jika pelaut itu orang pintar. Cerdas, berwibawa dan nekadan. Dan punya pikiran yang tak lengkang karena umur. Seperti ketak-lengkangan racauannya ini:
 
“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang tak takut pada ombak dan karang. Akulah pelaut. Yang selalu melawan arah angin dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang jika kau lihat, akan terpacak sebuah goresan. Goresan yang mirip peta. Peta bagi siapa saja yang merasa tak pernah berhenti. Apalagi menambatkan umurnya pada yang disebut rumah yang sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah, akulah pelaut. Pelaut yang tak bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang terhunus.”
 
“Akulah pelaut. Ayo kemari. Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau tidak. Dan mari peluk aku. Kita akan minum dan mabuk. Biar dunia semua jadi tertidur. Dan kita tetap terjaga. Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan taruhan apa pun. Juga bisa, dengan tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan melupakan sejenak, apa itu yang disebut orbit dan daya-daya tarik yang membuat semuanya tetap bersinambungan. Seperti sekumpulan keseharian yang tak terubah. Mari, marilah kemari, mendekat pelaut!”
***
 
Gila! Aku pikir, ini racauan yang kacau. Dan daripada semakin kacau, Aku tak menggubrisnya. Aku kayuh saja sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam pandanganku, kedalaman laut ini makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku maju atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dinding yang telah ditabrak sepedaku tadi. Untuk segera menyembul ke tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang begitu tak terkira. Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan sedalam-dalamnya. Seperti nafas setiap burung yang berkelepak. Berkelepak untuk mencari sarang lamanya. Sarangmu.
 
Sarang yang begitu telah membuat diriku percaya, jika di setiap aku sampai pada batas. Dan sepeda aku sandarkan. Selalu ada sebentuk sumur yang kau sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu tampak di kegelapan. Seperti cahaya setiap pernik yang tak pernah bisa dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di sekujur lipatan jantungmu. Yang ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang. Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang kotor itu, membesetnya pelan-pelan…”
 
Akh, kembali lagi, aku mendengar sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”
 
(Gresik, 2008)
 
*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik. http://sastra-indonesia.com/2008/09/sore-ini-sepedaku-menabrak-dinding/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar