Mardi Luhung *
Jawa Pos, Maret 2008
sehabis bercinta januari 2008
Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan
menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh.
Melewati koral, terumbu dan karang. Sekian duyung yang montok melambai. Dan
sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan
cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah
aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka:
“Pengelana itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah
yang menyamainya dalam lekuk?”
Dan perkataan mereka ini masuk ke kupingku. Seperti masuknya sepur kelinci.
Sepur kelinci di taman kampung. Sepur kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang
bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan
tangannya. Melambai pada siapa? Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak
tampak oleh pandanganku. Tapi begitu nyata oleh pandangan sekian kanak itu.
Pandangan yang kerap membuat bulu roma berdiri. Ketika sekian kanak itu
berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap
mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”
…
Tapi, aku terus mengayuh sepedaku. Kedalaman laut terasa begitu hijau.
Sehijau hutan ilalang yang pernah aku hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat
aku pernah menemui si perempuan yang telah menggunting rambut panjangnya. Dan
membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung yang berdarah. Lambung yang kata si
perempuan, mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada
bapak. Bapak yang ada di entah. Bapak yang entah siapa.
Dan bapak yang telah pergi tepat si tukang kayu lahir. Dan bapak yang
sampai kini tak dikenal bentuk rupanya. Apakah segi tiga, lonjong, bundar atau
kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang apakah sempat, memberi nama padanya
atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu berbisik: “Anakku, jadilah
orang yang baik. Dan jika besar jadi juga orang besar yang budiman. Yang tak
suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa matimu juga meski susah,”
“Anakku, ingat juga, jika matimu sampai susah, itu artinya, kau tak disuka
sorga. Sorga yang punya pohon terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa
saja. Buah apa saja. Asalkan bukan pohon dan buah yang satu itu. Yang telah
membuat kita seperti ini. Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar
akhirnya kembali mati juga. Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau
pembelaan. Dengan tangis atau tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka.
Anakku, ingatlah perkataan bapak ini,”
Dan bye, bapak pun melesat pergi lewat pintu belakang. Dan hilang tak
berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali si tukang kayu. Yang sampai kini tak
tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga belum punya nama. Lalu, tiba-tiba:
“Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si belut memanggilku. Suaranya cempreng
tapi renyah. Si belut itu tak begitu besar. Dan persis di punggungnya, ada
semacam kulit yang tembus pandang. Dan dari dalam kulit itu, aku melihat
sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di mulut itu copot. Dan di bagian
atasnya ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah mulut ini,” pinta si belut. Mulut
itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu dirajam oleh kegelapan. Sebab
selalu ngotot ingin memasang obor. Obor yang benderang.
Konon, menurut cerita, obor itu milik para dewa. Para dewa yang bersemayam
di langit. Dan obor itu dicuri oleh satu dewa yang murtad. Dewa yang punya
kelakuan yang mirip sirip hiu. Berkelepak ke sana ke mari. Agar ada yang
tersentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang tergenggam. Dan tak lagi
bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka dunia manusia pun menjadi
terang dan gelap. Baik dan buruk. Pintar dan bodoh. Dan itu yang membuat
manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya, lambat-laun pun tak
lagi butuh para dewa.
Apakah aku percaya pada cerita ini? Bisa ya, bisa tidak. Sebab, aku melihat
dunia kini memang seperti selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya.
Seperti ke kanan. Tapi justru ke kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang
berpesan: “Bagi yang beriman, dunia adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman
adalah petak umpet yang mengasyikkan Seperti petak umpet sumur bor yang
tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padahal, yang diburu bukan lumpur. Kasihan.
Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun ketawa geli,”
Dan di saat ketawa itu, datanglah dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita
gemuk yang berkata begini: “Juga tolong, bawakan pakaian ini,” Dan si gurita
gemuk ini punya empat mata. Seperti mata tajam yang pernah aku lihat di sebuah
gambar. Yang berpesan tentang mata gunung yang akan meledak. Dengan kalimat:
“Jika memang meledak, adakah tempat yang aman?” Dan lewat tatapan yang sekilas,
aku merasa jika pakaian yang dimaksud si gurita adalah seragam hitam. Seragam
hitam dengan pernik-pernik bersilangan: “Seragam si kapten!”
Seragam si kapten? Ya, memang ada cerita tentang si kapten dalam kapal
angker yang penuh lumut. Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal
angker yang tak berbentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang
mengenaskan. Irama tentang pemenggalan dan penyaliban. Dan juga tentang tubuh
para kelasi yang tak berkepala. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan
sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya.
Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya
mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada
waktu pelayaran berikutnya.
Pelayaran yang mendebarkan. Dengan ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan
yang bertaburan api. Dan langit, ya langit terbuka. Seperti tempurung kepala
yang dikelupas oleh tenaga yang besar. Sampai-sampai setiap yang melihatnya,
seperti melihat lorong yang tinggi dan gaib. Yang kata para orang suci, tempat
masuk-keluarnya catatan bagi manusia. Catatan baik akan menempel di telapak
kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan catatan-catatan itu akan ditembaki si
kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut. Dan agar yang berhak atasnya merasa
kebingungan. Hilang arah. Dan menceburkan dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh
si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi yang tak berkepala itu. Dan
seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak akan pernah bisa pergi dari
kapal angker.
Itulah, itulah cerita tentang kapal angker. Dan jika kau ingin tahu tentang
kapal angker ini, bukalah jendela rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit
sebelah timur. Ke sebelah bintang yang mirip parang panjang. Parang yang
lancip. Yang di pinggirnya ada percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah
bintang penentu jejak kapal angker. Jejak penentu yang selalu muncul, ketika
angin tak bertiup. Dan orang-orang yang telah mati menyembul dari tanah.
Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan kabut kuning yang kerap membentuk
bentuk-bentuk yang tak pernah kalian pikirkan.
Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan berganti tanpa terkendali. Dan
bentuk-bentuk itu akan mengikuti kemana kau pergi. Kemana kau melangkah. Apakah
ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan bentuk-bentuk itu selalu mengendusi
kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan berdiri. Menegak. Seperti tegaknya
barisan sungut serangga ketika mengangkat beban makanannya. Untuk dimasukkan ke
dalam lubangnya. Lubang yang dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih
masuk, akan menjadi keremangan. Yang membuat siapa saja cuma bisa meraba-raba.
Sambil berharap, akan ada secercah cahaya yang membimbing.
Dan yang perlu kau ketahui juga, bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap
pelaut akan meminggirkan kapalnya. Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung.
Pelaut yang punya codet pipi yang biru. Sebiru ketenggelaman yang ada di dalam
mimpi setiap pelupa. Setiap yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan:
“Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu jika mabuk selalu menyebut, siapa aku?
Padahal, siapa pun tahu. Jika pelaut itu orang pintar. Cerdas, berwibawa dan
nekadan. Dan punya pikiran yang tak lengkang karena umur. Seperti
ketak-lengkangan racauannya ini:
“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang tak takut pada ombak dan karang. Akulah
pelaut. Yang selalu melawan arah angin dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang
jika kau lihat, akan terpacak sebuah goresan. Goresan yang mirip peta. Peta
bagi siapa saja yang merasa tak pernah berhenti. Apalagi menambatkan umurnya
pada yang disebut rumah yang sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah,
akulah pelaut. Pelaut yang tak bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang
terhunus.”
“Akulah pelaut. Ayo kemari. Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau
tidak. Dan mari peluk aku. Kita akan minum dan mabuk. Biar dunia semua jadi
tertidur. Dan kita tetap terjaga. Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan
taruhan apa pun. Juga bisa, dengan tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan
melupakan sejenak, apa itu yang disebut orbit dan daya-daya tarik yang membuat
semuanya tetap bersinambungan. Seperti sekumpulan keseharian yang tak terubah.
Mari, marilah kemari, mendekat pelaut!”
***
Gila! Aku pikir, ini racauan yang kacau. Dan daripada semakin kacau, Aku
tak menggubrisnya. Aku kayuh saja sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam
pandanganku, kedalaman laut ini makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku
tak tahu lagi, apakah aku maju atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin
bertemu dinding yang telah ditabrak sepedaku tadi. Untuk segera menyembul ke
tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang begitu tak terkira.
Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan sedalam-dalamnya. Seperti
nafas setiap burung yang berkelepak. Berkelepak untuk mencari sarang lamanya.
Sarangmu.
Sarang yang begitu telah membuat diriku percaya, jika di setiap aku sampai
pada batas. Dan sepeda aku sandarkan. Selalu ada sebentuk sumur yang kau
sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu tampak di kegelapan. Seperti cahaya
setiap pernik yang tak pernah bisa dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di
sekujur lipatan jantungmu. Yang ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk
berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang. Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang
kotor itu, membesetnya pelan-pelan…”
Akh, kembali lagi, aku mendengar sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar lewat genting,”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air matanya terbang kayak laron,”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya taring mungil. Tanduk mungil. Sayap
mungil,”
“Ayah, lihat, lihatlah…”
(Gresik, 2008)
*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang
Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik. http://sastra-indonesia.com/2008/09/sore-ini-sepedaku-menabrak-dinding/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment