Friday, November 20, 2020

Alkitab di Mata Penyair

Royyan Julian *
 
Menyelidiki narasi Alkitab yang diangkat dalam sebuah puisi akan menghasilkan temuan: apakah puisi itu merupakan hasil pembacaan ulang terhadap teks suci tersebut atau tidak; apakah puisi itu menjadi narasi baru yang berbeda dengan narasi yang ditampakkan teks suci atau tidak. Maka sebuah puisi bisa dikatakan produktif bila ia menampilkan wajah baru dari teks yang ditransformasikannya. Wajah baru tersebut ditulis dalam bahasa khas karya literer: langgam puitis.
  
Karen Armstrong (2007) berkata bahwa Alkitab memiliki makna yang melampui apa yang tertulis di dalamnya. Ia tidak memiliki makna tunggal. Para penulis/editor Alkitab dengan bebas merevisi teks-teks yang mereka warisi dan memaknainya secara berbeda. Para ekseget kemudian hari mentransformasikan teks-teks Alkitab sesuai dengan pandangan-pandangan dunia mereka sendiri dan mengaktualkannya dengan konteks zaman mereka. Mereka tidak tertarik untuk mencari makna primordial teks. Mereka menganggap bahwa teks Alkitab menjadi suci justru karena maknanya dapat memancar dalam konteks apa pun, dalam ruang-waktu yang berbeda dengan ketika teks itu ditulis pertama kali. Dengan demikian, wahyu tidak berhenti turun. Ia masih tetap berkelanjutan, menjelma dengan wajah baru sebagaimana pembacaan dan keinginan setiap generasi.
  
Di Indonesia, Mario F. Lawi dikenal sebagai penyair muda yang menciptakan puisi-puisinya dari bahan baku narasi Alkitab. Mario membaca ulang narasi-narasi Alkitab, lalu mentransformasikannya dalam bahasa lain, yaitu puisi. Dengan memerhatikan pendapat Armstrong, puisi-puisi alkitabiah Mario bisa saja diletakkan pada salah satu titik dalam konstelasi khazanah eksegesi Alkitab. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa karya sastra dapat menjadi medium eksegesi Alkitab.
 
Ekstensi dan Kristalisasi Narasi Alkitab
 
Dalam puisi-puisi Mario, fragmen baru narasi Alkitab diciptakan dari dua hal. Pertama, fragmen tersebut diciptakan dari narasi yang dipaparkan oleh ayat-ayat Alkitab. Kedua, fragmen tersebut tidak ada rujukannya dalam ayat-ayat Alkitab. Ekstensi-ekstensi tersebut menciptakan efek dramatis pada sebuah peristiwa dan efek emosional pada perasaan karakter-karakter yang bermain di dalamnya. Alhasil, narasi kering yang dikisahkan dalam Alkitab menjadi lebih hidup dalam puisi-puisi Mario.
                 
Fragmen baru paling radikal muncul pada puisi “Ararat” dalam frase metaforis “hutan yang memanjang di belakang ayah Kanaan yang belia”. Secara implisit puisi tersebut berkata bahwa Ham menuntun pasangan-pasangan hewan yang berarak dari hutan menuju bahtera. Sementara dalam Alkitab, tak ada satu pun fragmen yang menunjukkan bahwa putra kedua Nuh tersebut menjadi pemandu satwa-satwa yang diselamatkan. Meminjam istilah Jauss (1983), penyair mengembangkan puisi dengan memanfaatkan wilayah-wilayah indeterminan yang tidak dijelaskan oleh teks Alkitab.
 
Selain menciptakan fragmen-fragmen baru melalui ekstensi-ekstensi wilayah indeterminan, puisi Mario juga memampatkan narasi Alkitab. Alhasil, narasi panjang-lebar yang diceritakan dalam satu kitab mengkristal dalam sebuah puisi. “Rafael” yang hanya terdiri atas 13 kata adalah contoh puisi yang berhasil mengekstraksi narasi kitab Tobit yang terdiri atas 248 ayat. Untuk meringkas kitab Tobit, Mario telah menemukan inti apa yang dibicarakan salah satu kitab Deuterokanonika tersebut, yaitu kisah penyelamatan Tobit dan Sara oleh Tobia dengan petunjuk malaikat Rafael.
 
Tuhan yang Lunak
 
Dalam puisi-puisinya, Mario melakukan reinterpretasi tabiat Tuhan dalam Alkitab. Tabiat tersebut kemudian muncul dengan wajah lunak. Tabiat Tuhan yang berbeda tersebut memengaruhi peristiwa dalam narasi. Hal inilah yang membuat narasi Perjanjian Baru dalam puisi-puisi Mario menjadi kontradiktif dengan narasi Perjanjian Baru dalam Alkitab.
  
Puisi “Ararat” menyebut Tuhan dengan nama “sang Pembaptis”, pun orang-orang yang ditenggelamkan dalam air bah disebut “orang-orang yang dibaptis”. Bila orang-orang yang ditenggelamkan dalam air bah pada puisi “Ararat” disebut sebagai “orang-orang yang dibaptis dan Tuhan disebut sebagai “sang Pembaptis”, itu berarti peristiwa mahadahsyat tersebut adalah upacara pertobatan dan Tuhan telah mengampuni orang-orang yang ditenggelamkan.
 
Tuhan yang lembut juga muncul dalam puisi “Samuel”. Berbeda dengan peristiwa pewahyuan pertama Tuhan kepada nabi-nabi Israel yang cenderung intrusif, memaksa, dan menyakitkan—sebagaimana yang terjadi kepada Musa, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dsb.—peristiwa pewahyuan pertama Tuhan kepada Samuel dalam puisi ini bernada mistikal. Dalam puisi ini, imaji tactile seperti “kecup” kerap dipakai kaum mistikus untuk menggambarkan perjumpaan Tuhan dengan hamba (unio mystica). Begitu pula dengan imaji “anggur yang memabukkan” sering dipakai untuk menunjukkan ekstase mistik.
 
Firman yang Terus Bergema
 
Puisi-puisi alkitabiah Mario menunjukkan bahwa otoritas penafsiran telah cair. Aktivitas eksegesi tak lagi menjadi domain cendekiawan Geraja. Penyair, sebagai “sipil” komunitas orang beriman berandil dalam aktivitas eksegesi—tentunya dengan cara khas sastra. Jika para “ekseget resmi” menggunakan seperangkat metode untuk menjalankan aktivitas eksegesi, refleksi atas teks mungkin lebih banyak menyita porsi penyair dalam menjalankan aktivitas penafsiran, sebab sastra kerap berhubungan dengan permenungan, intuisi, meski tentu saja, logika harus tetap dimainkan.
 
Apakah kemudian puisi-puisi alkitabiah penyair menjadi teks heretik? Bagi penulis, justru dengan melibatkan kalangan noncendekiawan, khazanah resepsi kitab suci akan semakin kaya. Sebagai pemilik langgam bahasa yang lain, penyair dapat menciptakan versi Alkitab dengan artikulasinya sendiri. Jika teks Alkitab itu sendiri memang memiliki gaya bahasa yang cukup nyastra, puisi-puisi Mario akan meningkatkan derajat kesastraannya. Ia menjadi karya seni yang di dalamnya menyimpan misi profetik—atau kalau boleh hiperbola, puisi-puisi tersebut adekuat disebut sastra transenden, sebab bahan bakunya adalah narasi kitab suci. Dengan demikian, pembaruan (tafsir) teks Alkitab tidak hanya menggelinding di arena otoritas, tetapi juga bergulir di wilayah anggota biasa komunitas orang beriman.  
 
Kontekstualisasi Alkitab adalah tradisi yang terus dijalankan oleh cendekiawan Gereja selama berabad-abad. Pembacaan ulang teks Alkitab oleh Mario adalah salah satu cara memancarkan makna kitab suci. Dengan segala keahlian, gudang pengetahuan, dan refleksi-intuisi yang dimilikinya, Mario telah meramu teks Alkitab sesuai dengan konteks di mana ia hidup. Terlepas dari pertanyaan apakah puisi-puisi tersebut mampu menjadi sebuah “pedoman alternatif” bagi umat manusia, setidaknya Mario telah menunjukkan intensitasnya mentransformasikan Alkitab ke dalam dialek yang lain. Bukankah tak ada yang lebih indah daripada bahasa puisi?
***

*) Royyan Julian: mengajar kajian puisi di Universitas Madura. Belajar sastra di Universitas Negeri Malang dan Universitas Gadjah Mada. Bukunya, Sepotong Rindu dari Langit Pleiades (2011) memenangkan lomba kumpulan cerpen LeutikaPrio; Tandak (2015) memenangkan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur. https://sastra-indonesia.com/2020/11/alkitab-di-mata-penyair/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar