Saturday, November 21, 2020

NTT dan Sastra Indonesia Jalur Kedua, Begini Kenyataannya

Willem B Berybe *
Pos Kupang, 28 Juni 2018
 
Kata-kata penutup Maman S. Mahayana pada buku "Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai" (2017) dibuka dengan "Yohanes Sehandi telah membuat peta lengkap tentang kesusastraan di NTT yang tidak terpisahkan dengan kesusastraan kita: kesusastraan Indonesia".
 
Maman S. Mahayana, dosen FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, sastrawan dan kritikus sastra, juga dengan tulus dan jernih menulis pengantar untuk buku tersebut berdasarkan latar belakangnya. Buku yang ditulis Yohanes Sehandi ini ibarat sebuah jembatan literasi.
 
Penulis ingin menghadirkan publik pembaca khususnya masyarakat Flobamorata di meja kesadaran bahwa para sastrawan NTT telah bekerja dalam senyap bernas. Penulis buku yang disebut Marsel Robot "penjaga rumah adat sastra NTT" (postingan facebook, 23 Juni 2018) benar adanya. Keep the Flobamorian literature right on its track.
 
Menggali, menelusuri, mengkaji, mencari benang merah yang menghubungkan sastra warna lokal dan nasional (Indonesia) berdasarkan kajian ilmiah, bukan sebuah karya utopian. Ikhtiar mengikuti sejauh mana sastra di NTT itu berjalan dan seperti apa kualitasnya sudah menjadi komitmen beliau.
 
Dari isi buku mulai dari pengantar yang rasa bahasanya cah...cah... enak, isi, serta beberapa foto sosok sastrawan Indonesia dan NTT hingga sapaan akhir pada kulit buku bagian belakang memberi warna kesusastraan Indonesia di NTT.
 
Tentu sebuah buku yang layak dibaca dan sebagai sumber pembelajaran sastra di sekolah-sekolah tak diragukan lagi.
***
 
MENURUT Mursal Esten ada dua jenis sastra yang hidup di Indonesia. Sastra Indonesia jalur pertama dan sastra Indonesia jalur kedua. Sastra Indonesia jalur pertama dikenal umum sebagai sastra nasional Indonesia.
 
Karya sastra Indonesia jenis ini lazim dijadikan sumber dan bahan pembelajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Secara historis, sastra ini dihitung sejak masa Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66 hingga saat ini.
 
Sedangkan, sastra Indonesia jalur kedua adalah karya-karya sastra di Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya-budaya daerah (etnis/suku) yang tersebar di Nusantara yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia.
 
Pandangan ini dikemukakan oleh Mursal Esten (1988) sebagaimana dikutip Yan Sehandi pada bagian pertama buku (halaman 5). Buah pandangan Esten ini, hemat saya, membuat sastra Indonesia sungguh bhineka (nasional dan daerah) namun tetap sebuah kesatuan yang utuh, sastra Indonesia.
 
Oleh karena dasar pijakan buku ini pada budaya di daerah (NTT) mau tidak mau harus didukung oleh argumentasi yang bersifat nasional sebagai fakta pembanding.
 
Karena itu, 6 contoh lokalitas daerah dikutip Sehandi (hal.4) berdasarkan Sumardjo yaitu: 1) Bulukumba, Sulsel dengan judul novel Arus (1976) dan Pulau (1976) oleh Asar; 2) Kayutanam, Sumatera Barat dengan judul novel Warisan (1979) oleh Chairul Harun; 3) Samarinda, Kalimantan Timur dengan judul novel Upacara (1978) oleh Korrie Layun Rampan; 4) Ngawi, Jawa Timur dengan judul novel Sri Sumarah (1975) oleh Umar Kayam; 5) Rote, Nusa tenggara Timur dengan judul novel Cumbuan Sabana (1975) oleh Gerson Poyk; 6) Makasar, Sulawesi Selatan dengan judul novel Pembayaran (1976) oleh Sinansari Ecip.
 
Nama-nama kota dan daerah dalam contoh-contoh ini dikaitkan dengan tempat kelahiran penulis dan konten novel dengan khas kedaerahan masing-masing.
 
Penguatan terhadap sastra jalur kedua juga dikemukakan Yusriwal, dosen Sastra Minangkabau Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang bahwa karya sastra (puisi-puisi) Chairil Anwar memiliki latar belakang Minangkabau (Kompas, 29 April 1996).
 
Menurut beliau, jarang para kritikus atau peneliti sastra mencoba melihat dan membicarakan karya-karya Chairil Anwar dalam hubungannya dengan bahasa dan kebudayaan Minangkabau.
 
Saya kira inilah unsur intrinsic ethnic value (nilai etnis) dalam sastra Indonesia. Warna Minangkabau dalam karya sastra Chairil Anwar tercermin dalam tiga kecenderungan: (1) struktur sintaksis yang lazim (struktur Bahasa Indonesia) justru dibuat tidak lazim oleh Chairil Anwar seperti " Ini kali tidak ada yang mencari cinta" dalam puisi "Senja di Pelabuhan Kecil".
 
Dalam struktur Bahasa Indonesia "Kali ini tidak ada yang mencari cinta". Ketidaklaziman struktur ini merupakan karakter bahasa Minangkabau yang susunannya keterangan subyek mendahului subyek "Sudah tercacar semua di muka" (bahasa Minangkabau, Alah tacaca kasadonyo di muko) yang dalam struktur Bahasa Indonesia "Semua sudah tercacar di muka". (2) Gaya hiperbol dalam bahasa Miangkabau tampak dalam puisi-puisi Chairul Anwar seperti "Aku tetap meradang menerjang".
 
Contoh dalam bahasa Minangkabau, menurut Yusriwal, pada kata "besar" sebagai ungkapan rasa kebesaran terhadap seorang datuak atau pangulu maka diungkap dengan nan gadang basa batuah.
 
Kata gadang dan basah mempunyai arti yang sama yaitu "besar". (3) Imaji. Yusriwal mengambil dua contoh puisi Chairul Anwar yang menggambarkan ekspresi imaji yang saling kontras.
 
Derai-derai Cemara bernada sendu (melankolis) sementara Aku berapi-api yang memperlihatkan keberanian. Ini dipengaruhi oleh karakter orang Minangkabau yang selalu dihadapkan pada dualisme dalam interaksi sosial seperti antara adat dan agama Islam. Analisa Yusriwal ini mendukung pandangan Esten tentang sastra Indonesia jalur kedua.
***
 
KARYA sastra Indonesia di NTT juga tidak luput dari unsur-unsur kedaerahan seperti Minangkabau. Banyak diksi yang mencirikan lokalitas dan tradisi masyarakat setempat seperti tercantum dalam novel dan puisi.
 
Penulis novel Maria Matildis Banda dalam DOBEN (2016) menggunakan nama sapaan untuk tokoh ibu dengan kata "Inan" dan "Aman" untuk bapak.
 
Novel yang lahir dari serial cerber dan dimuat di Majalah Femina tahun 1999 dan 2000 ini merupakan kisah kehidupan keluarga di Timor Timur (kini Timor Leste). Menilik kosa kata tersebut, kemiripan sapaan serupa juga terdapat dalam bahasa daerah lain di NTT misalnya ina, ine, ende, untuk ibu dan ama, ema, ame, untuk ayah.
 
Sastrawan muda Mario F Lawi dalam puisi "Tuan Padoa" (Ekaristi, 2014) menggunakan diksi padoa, nama tarian tradisional masyarakat Sabu, NTT dengan properti kedu'e, anyaman yang dikenakan pada pergelangan kaki sebagai instrumen yang berbunyi gemerisik saat gerakan ber-padoa menghentak-hentak tanah.
Gaya dan intonasi dalam pembicaraan yang khas lokal terlihat dalam cuplikan berikut: "Martin," kata Yordan dengan suara perlahan.
 
"Sudah kamu omong dengan Nona di belakang?"
"Soal apa?"
"Jodohkan saya dengan dia!"
"Hai, omong langsung kah," Martin tertawa meledak.
(Novel Maria Matildis Banda, Wijaya Kusuma, 2015 hal. 438).
 
Gaya dan intonasi seperti "Hai, omong langsung kah," sering terdengar dalam komunikasi di kalangan masyarakat NTT yang khas.
 
Contoh-contoh ini dapat menjadi pintu masuk untuk kajian lebih dalam tentang warna lokal sastra NTT.
***
 
*) Willem B Berybe, mantan guru, peminat sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/11/ntt-dan-sastra-indonesia-jalur-kedua-begini-kenyataannya/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar