Willem B Berybe *
Pos Kupang, 28 Juni 2018
Kata-kata penutup Maman
S. Mahayana pada buku "Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai"
(2017) dibuka dengan "Yohanes Sehandi telah membuat peta lengkap tentang
kesusastraan di NTT yang tidak terpisahkan dengan kesusastraan kita:
kesusastraan Indonesia".
Maman S. Mahayana, dosen
FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, sastrawan dan
kritikus sastra, juga dengan tulus dan jernih menulis pengantar untuk buku
tersebut berdasarkan latar belakangnya. Buku yang ditulis Yohanes Sehandi ini ibarat
sebuah jembatan literasi.
Penulis ingin
menghadirkan publik pembaca khususnya masyarakat Flobamorata di meja kesadaran
bahwa para sastrawan NTT telah bekerja dalam senyap bernas. Penulis buku yang
disebut Marsel Robot "penjaga rumah adat sastra NTT" (postingan
facebook, 23 Juni 2018) benar adanya. Keep the Flobamorian literature right on
its track.
Menggali, menelusuri,
mengkaji, mencari benang merah yang menghubungkan sastra warna lokal dan
nasional (Indonesia) berdasarkan kajian ilmiah, bukan sebuah karya utopian.
Ikhtiar mengikuti sejauh mana sastra di NTT itu berjalan dan seperti apa
kualitasnya sudah menjadi komitmen beliau.
Dari isi buku mulai dari
pengantar yang rasa bahasanya cah...cah... enak, isi, serta beberapa foto sosok
sastrawan Indonesia dan NTT hingga sapaan akhir pada kulit buku bagian belakang
memberi warna kesusastraan Indonesia di NTT.
Tentu sebuah buku yang
layak dibaca dan sebagai sumber pembelajaran sastra di sekolah-sekolah tak
diragukan lagi.
***
MENURUT Mursal Esten ada
dua jenis sastra yang hidup di Indonesia. Sastra Indonesia jalur pertama dan
sastra Indonesia jalur kedua. Sastra Indonesia jalur pertama dikenal umum
sebagai sastra nasional Indonesia.
Karya sastra Indonesia
jenis ini lazim dijadikan sumber dan bahan pembelajaran di sekolah-sekolah
hingga perguruan tinggi. Secara historis, sastra ini dihitung sejak masa Balai
Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66 hingga saat ini.
Sedangkan, sastra
Indonesia jalur kedua adalah karya-karya sastra di Indonesia yang dipengaruhi
oleh budaya-budaya daerah (etnis/suku) yang tersebar di Nusantara yang
diungkapkan dalam bahasa Indonesia.
Pandangan ini dikemukakan
oleh Mursal Esten (1988) sebagaimana dikutip Yan Sehandi pada bagian pertama
buku (halaman 5). Buah pandangan Esten ini, hemat saya, membuat sastra
Indonesia sungguh bhineka (nasional dan daerah) namun tetap sebuah kesatuan
yang utuh, sastra Indonesia.
Oleh karena dasar pijakan
buku ini pada budaya di daerah (NTT) mau tidak mau harus didukung oleh
argumentasi yang bersifat nasional sebagai fakta pembanding.
Karena itu, 6 contoh
lokalitas daerah dikutip Sehandi (hal.4) berdasarkan Sumardjo yaitu: 1)
Bulukumba, Sulsel dengan judul novel Arus (1976) dan Pulau (1976) oleh Asar; 2)
Kayutanam, Sumatera Barat dengan judul novel Warisan (1979) oleh Chairul Harun;
3) Samarinda, Kalimantan Timur dengan judul novel Upacara (1978) oleh Korrie
Layun Rampan; 4) Ngawi, Jawa Timur dengan judul novel Sri Sumarah (1975) oleh
Umar Kayam; 5) Rote, Nusa tenggara Timur dengan judul novel Cumbuan Sabana
(1975) oleh Gerson Poyk; 6) Makasar, Sulawesi Selatan dengan judul novel
Pembayaran (1976) oleh Sinansari Ecip.
Nama-nama kota dan daerah
dalam contoh-contoh ini dikaitkan dengan tempat kelahiran penulis dan konten
novel dengan khas kedaerahan masing-masing.
Penguatan terhadap sastra
jalur kedua juga dikemukakan Yusriwal, dosen Sastra Minangkabau Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang bahwa karya sastra (puisi-puisi) Chairil Anwar
memiliki latar belakang Minangkabau (Kompas, 29 April 1996).
Menurut beliau, jarang
para kritikus atau peneliti sastra mencoba melihat dan membicarakan karya-karya
Chairil Anwar dalam hubungannya dengan bahasa dan kebudayaan Minangkabau.
Saya kira inilah unsur
intrinsic ethnic value (nilai etnis) dalam sastra Indonesia. Warna Minangkabau
dalam karya sastra Chairil Anwar tercermin dalam tiga kecenderungan: (1)
struktur sintaksis yang lazim (struktur Bahasa Indonesia) justru dibuat tidak
lazim oleh Chairil Anwar seperti " Ini kali tidak ada yang mencari
cinta" dalam puisi "Senja di Pelabuhan Kecil".
Dalam struktur Bahasa
Indonesia "Kali ini tidak ada yang mencari cinta". Ketidaklaziman
struktur ini merupakan karakter bahasa Minangkabau yang susunannya keterangan
subyek mendahului subyek "Sudah tercacar semua di muka" (bahasa
Minangkabau, Alah tacaca kasadonyo di muko) yang dalam struktur Bahasa
Indonesia "Semua sudah tercacar di muka". (2) Gaya hiperbol dalam
bahasa Miangkabau tampak dalam puisi-puisi Chairul Anwar seperti "Aku
tetap meradang menerjang".
Contoh dalam bahasa
Minangkabau, menurut Yusriwal, pada kata "besar" sebagai ungkapan
rasa kebesaran terhadap seorang datuak atau pangulu maka diungkap dengan nan
gadang basa batuah.
Kata gadang dan basah
mempunyai arti yang sama yaitu "besar". (3) Imaji. Yusriwal mengambil
dua contoh puisi Chairul Anwar yang menggambarkan ekspresi imaji yang saling
kontras.
Derai-derai Cemara
bernada sendu (melankolis) sementara Aku berapi-api yang memperlihatkan
keberanian. Ini dipengaruhi oleh karakter orang Minangkabau yang selalu
dihadapkan pada dualisme dalam interaksi sosial seperti antara adat dan agama
Islam. Analisa Yusriwal ini mendukung pandangan Esten tentang sastra Indonesia jalur
kedua.
***
KARYA sastra Indonesia di
NTT juga tidak luput dari unsur-unsur kedaerahan seperti Minangkabau. Banyak
diksi yang mencirikan lokalitas dan tradisi masyarakat setempat seperti
tercantum dalam novel dan puisi.
Penulis novel Maria
Matildis Banda dalam DOBEN (2016) menggunakan nama sapaan untuk tokoh ibu
dengan kata "Inan" dan "Aman" untuk bapak.
Novel yang lahir dari
serial cerber dan dimuat di Majalah Femina tahun 1999 dan 2000 ini merupakan
kisah kehidupan keluarga di Timor Timur (kini Timor Leste). Menilik kosa kata
tersebut, kemiripan sapaan serupa juga terdapat dalam bahasa daerah lain di NTT
misalnya ina, ine, ende, untuk ibu dan ama, ema, ame, untuk ayah.
Sastrawan muda Mario F
Lawi dalam puisi "Tuan Padoa" (Ekaristi, 2014) menggunakan diksi
padoa, nama tarian tradisional masyarakat Sabu, NTT dengan properti kedu'e,
anyaman yang dikenakan pada pergelangan kaki sebagai instrumen yang berbunyi
gemerisik saat gerakan ber-padoa menghentak-hentak tanah.
Gaya dan intonasi dalam
pembicaraan yang khas lokal terlihat dalam cuplikan berikut:
"Martin," kata Yordan dengan suara perlahan.
"Sudah kamu omong
dengan Nona di belakang?"
"Soal apa?"
"Jodohkan saya
dengan dia!"
"Hai, omong langsung
kah," Martin tertawa meledak.
(Novel Maria Matildis
Banda, Wijaya Kusuma, 2015 hal. 438).
Gaya dan intonasi seperti
"Hai, omong langsung kah," sering terdengar dalam komunikasi di
kalangan masyarakat NTT yang khas.
Contoh-contoh ini dapat
menjadi pintu masuk untuk kajian lebih dalam tentang warna lokal sastra NTT.
***
*) Willem B Berybe,
mantan guru, peminat sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/11/ntt-dan-sastra-indonesia-jalur-kedua-begini-kenyataannya/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment