Friday, November 20, 2020

JHUMPA LAHIRI DALAM TIGA VERSI

 

Lutfi Mardiansyah *
 
Lantaran stok bacaan habis, semalam saya membaca ulang buku "Interpreter of Maladies"-nya Jhumpa Lahiri. Sewaktu mengobrak-abrik rak buku, saya menemukan ternyata saya punya tiga versi terjemahan kumpulan cerpen Lahiri yang menyabet hadiah pulitzer tahun 2000 itu: 1) "Benua Ketiga dan Terakhir" (penerj. Pipit Maizier, Jalasutra: 2002); 2) "Penafsir Kepedihan" (penerj. Suparno, AkuBaca: 2003); 3) "Penerjemah Luka" (penerj. Gita Yuliani K., Gramedia: 2006)
 
Saya ambil ketiga buku itu dan saya jajarkan di atas meja, lalu saya pelototi ketiganya selama beberapa saat. Hmm . . . versi mana yang harus saya baca? Untuk hal seperti ini, biasanya saya melihat siapa penerjemah atau editor buku yang bersangkutan.
 
Versi Jalasutra sebenarnya tidak spesial-spesial amat. Penerjemahnya saya nggak kenal, belum pernah dengar bahkan. Judulnya pun, "Benua Ketiga dan Terakhir", entah atas pertimbangan apa, jelas-jelas "diubah"—bukan "diterjemahkan"—dari judul aslinya ("Benua Ketiga dan Terakhir" itu diambil dari judul salah satu cerpen di dalam buku tersebut, ada sembilan cerpen di dalam buku "Interpreter of Maladies"). Barangkali 7 halaman di awal buku yang berisi sekumpulan testimoni dari beberapa surat kabar di Inggris, Amerika, dan India, itu bisa dilihat sebagai nilai plus.
 
Versi AkuBaca barangkali lebih menarik karena dua hal berikut: 1) meski penerjemahnya kurang populer, buku itu dieditori oleh penulis masyhur Yusi A. Pareanom—beliau juga memberi pengantar untuk buku ini; dan 2) ada tambahan esai karya Jhumpa Lahiri berjudul "Saya Menerjemahkan, Maka Saya Ada" yang diterjemahkan oleh penulis masyhur lainnya, A. S. Laksana, yang dijadikan bagian penutup buku.
 
Versi Gramedia juga menarik dilihat dari siapa penerjemahnya. Selain dua buku Lahiri, kumpulan cerpennya ini dan novelnya "The Namesake", Gita Yuliani K. juga menerjemahkan beberapa buku bagus yang diterbitkan Gramedia seperti di antaranya trilogi "Lord of the Rings"-nya J. R. R. Tolkien, "Never Let Me Go"-nya Kazuo Ishiguro, "The Lovely Bones"-nya Alice Sebold, "Under the Dome"-nya Stephen King, "A Short History of Tractors in Ukrainian"-nya Marina Lewycka, "Grotesque"-nya Natsuo Kirino, dan sembilan buku karya Chitra Banerjee Divakaruni.
 
Akhirnya saya mengesampingkan versi Jalasutra, dan menimbang-nimbang dua versi AkuBaca dan Gramedia itu. Dan akhirnya, pilihan saya jatuh ke versi AkuBaca lantaran judulnya lebih puitis, "Penafsir Kepedihan". Saya baca cerpen pertama di buku itu, berjudul 'Masalah Sementara'.
 
Ini rahasia, sebenarnya. Di awal tulisan ini saya bilang bahwa saya 'membaca ulang buku "Interpreter of Maladies"-nya Jhumpa Lahiri', seolah-olah, yah, seolah-olah saya membaca "satu buku dari awal sampai akhir". Padahal, kenyataannya tidak begitu. Setiap kali, saya selalu berhenti di cerpen pertama itu, di cerpen 'Masalah Sementara', dan tidak pernah beranjak ke cerpen berikutnya. Dengan kata lain, saya cuma baca satu cerpen itu saja. Lantaran apa? Lantaran setiap kali, sehabis membaca cerpen pertama itu, saya selalu tertohok oleh perasaan kagum luar biasa yang membuat saya ingin memaki "Anjing! Orang ini cerdas betul! Bikin cerita seperti ini!" Begitulah.
 
Cerpen 'Masalah Sementara' itu sebenarnya adalah cerita sedih tentang pasangan suami-istri yang gagal mempertahankan cinta di antara mereka. Klise. Premis ceritanya sederhana: rumah tangga yang jadi dingin seiring waktu, tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi keintiman. Tapi eksekusi Lahiri betul-betul cerdas! Coba tebak, lewat kejadian macam apa Lahiri menyingkapkan kenyataan pahit itu? Lewat kejadian "pemadaman listrik sementara selama satu jam dari pukul 8 sampai 9 malam selama lima hari"! Sederhana, kejadian sehari-hari yang bisa saja terjadi kepada siapa pun. Tapi Lahiri melihat peluang unik di dalam kejadian biasa itu.
 
Bayangkan, sepasang suami-istri makan malam di satu meja, dalam keadaan gelap, hanya diterangi lilin, dan dalam suasana remang mengarah ke gelap itu mereka mulai saling menceritakan rahasia-rahasia kecil kepada satu sama lain. Lihat bagaimana Lahiri menjadikan "kegelapan", kegelapan lantaran mati lampu, sebagai kondisi eksistensial di mana manusia tidak bisa melihat apa pun di sekelilingnya dan hal itu membuatnya menjadi lebih ringan untuk bertindak terbuka.
 
Analoginya: Coba bayangkan, kau berada di sebuah ruangan terang benderang bersama seseorang. Tentu ada tindakan-tindakan yang tidak bisa kau lakukan lantaran satu dan lain hal—sopan-santun, perasaan malu, dll. Kau tidak mungkin, misalnya, serta-mesta menjulurkan lidah dan mengeleli orang itu di depan hidungnya. Tapi coba matikan lampu, kau bisa dengan bebas dan ringan-ringan saja menjulurkan lidah dan mengeleli orang itu tepat di hadapannya, bukan?
 
Yah, begitulah. Cerpen 'Masalah Sementara' itu betul-betul bagus. Dan setiap kali selesai membacanya, saya merasa enggan beranjak untuk membaca cerita selanjutnya lantaran takut kadar bagus cerita selanjutnya itu kurang memuaskan saya seperti halnya cerita pertama itu. Itu seperti kita ketika makan satu bungkus indomie, yang isinya tidak banyak sebenarnya, dan kita ingin menambah, tapi ada rasa enggan lantaran kita tahu jika kita menambah porsi, bukannya kenyang dan puas, kita merasa perut kita jadi begah lantaran terlalu penuh dan itu tidak menyenangkan. Akhirnya, kita berhenti di tahap "kenyang tidak, lapar juga tidak, tapi perut terisi meski tidak penuh". Perasaan seperti itulah yang saya rasakan ketika, setiap kali, memutuskan untuk berhenti setelah membaca cerita pertama itu. Tidak jadi soal apabila saya jadi tidak tahu bagaimana delapan cerpen sisanya. Paling tidak, perasaan nikmat selepas membaca cerita pertama itu bagi saya sudah cukup. Dan boleh jadi, kalau saya membaca delapan cerpen sisanya, kenikmatan yang saya dapat itu malah akan hilang. Paling tidak, dalam hal ini, saya belajar untuk mencukupkan diri dan tidak berlebihan—kalau mau, hal itu bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari, dalam banyak hal lainnya. Maaf kalau terdengar seperti khotbah atau nasihat bijak.
 
Tambahan: semalam, setelah membaca cerpen 'Masalah Sementara' di buku "Penafsir Kepedihan", saya tergoda untuk membaca cerpen yang sama di dua buku lainnya, versi Jalasutra dan Gramedia itu. Jadi, saya baca cerpen itu di buku "Penerjemah Luka" versi Gramedia, dan nikmat lagi. Kemudian saya baca cerpen itu di buku "Benua Ketiga dan Terakhir" versi Jalasutra, dan lagi-lagi nikmat. Nikmat tiga kuadrat. Itu cukup. Lebih dari cukup, bahkan.
***

*) Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya-karya sastra. https://sastra-indonesia.com/2020/11/jhumpa-lahiri-dalam-tiga-versi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar