Sunlie Thomas Alexander *
AKU bukanlah orang yang suka membaca resensi buku yang bertebaran di koran-koran Minggu, juga bukan orang yang suka menuliskan hasil pembacaanku atas sebuah buku dalam bentuk resensi model koran-koran itu. Hanya sesekali saja aku menulis resensi dan mengirimkannya ke media. Ya itu pun kebanyakan karena diminta oleh seorang kawan penulis atau penerbit, yang mana tidak semuanya mau dan bisa aku sanggupi. Termasuk saat masih mahasiswa dulu ketika kawan-kawan kuliahku justru berlomba-lomba menulis resensi dengan alasan beragam: dari kepingin nampak banyak membaca sampai alasan (demi) honorarium.
Aku tidak mengatakan bahwa semua resensi ala koran Indonesia itu buruk. Terkadang--ketika sesekali aku merasa tertarik untuk membaca (semata-mata) lantaran buku yang diresensi itu kebetulan sedang aku baca atau masuk ke dalam daftar yang ingin kubaca--aku masih bisa menemukan resensi-resensi yang cukup bernas, dengan sudut pandang yang lumayan menggugah.
Resensi buku (sastra)
tentu saja jauh dari "kritik sastra", tetapi toh ia juga membutuhkan
kejernihan dan kesegaran perspektif sebagai sebuah upaya pembacaan kritis yang
jujur dan kreatif. Bukan sikap kritis yang dicari-cari dan dibuat
"seolah-olah". Sehingga di sini kemampuan mencerna sembari menjaga
jarak dari bacaan pun sama pentingnya dengan penguasaan atas teori (yang tak
over) dan materi teks. Hanya dengan demikianlah kita sebagai peresensi dapat
melakukan semacam kajian-analisa yang pada giliran berikutnya sanggup
mengungkapkan kelebihan dan kekurangan sebuah buku kepada khalayak pembaca
buku, di luar kemampuan menulis yang enak dibaca dan kemampuan menyiasati
keterbatasan halaman media.
***
BUKU terbaru Eka Kurniawan, "Usaha Menulis Silsilah Bacaan" ini aku kira memang sama sekali bukanlah resensi (apalagi model resensi di koran-koran itu) tetapi justru karena itulah ia nampak sanggup menghadirkan kepada kita semacam perjumpaan yang lain, yang lebih khas dengan buku-buku, dengan teks sastra.
Karena itu pikirku pula, judul buku yang dipilihnya tersebut, dengan penekanan pada kata "usaha" seyogianya memang merupakan sewujud kesadaran dari seorang yang memahami betul apa itu proses pembacaan.
Sehingga alhasil, tulisan-tulisan pendek dalam buku ini pun dalam pertemuannya dengan para pembaca (tentunya terutama diriku) bisa menjelma jadi sejenis jembatan.
Ia, buku ini, hanyalah sebentuk pengalaman membaca dan upaya membagikan pengalaman itu--meskipun nampaknya tidak pula senantiasa dengan cukup rendah hati. Eka sendiri lebih suka menyebut himpunan tulisannya ini "sejarah bacaan personal" atau lebih lanjut menjadi "sejarah kesusastraan personal" yang katanya "dibentuk oleh pilihan bacaan secara sadar dan tak sadar" dan juga "secara langsung menggambarkan cara pandang saya terhadap sejarah kesusastraan (dan pada akhirnya terhadap Sejarah dengan "S" besar, sejarah yang lebih luas)". Dan aku sepakat dengan ini.
Tanpa keinginan sama sekali untuk memuji Eka, kurasa perjumpaanku dengan "Usaha Menulis Silsilah Bacaan" ini memang sebuah perjumpaan cukup mengasyikkan, yang tak cuma menyajikan kepada kita sekadar kenikmatan membaca yang lain, namun juga semacam pengalaman berbeda dalam hal menjengguk pengalaman membaca orang lain.
Karenanya pula--tidak seperti lazimnya resensi-resensi buku di koran yang kerap sok tahu atau malah cenderung gagap--usaha berbagi pengalaman membaca personal yang dilakukan Eka ini dengan demikian justru mampu menyingkap teks secara lebih luas dan kompleks ketimbang apa yang bisa kita dapatkan dari resensi-resensi di koran Indonesia yang kadang-kadang nampak cukup berhasrat menguliti sebuah bacaan tanpa adanya kesadaran akan kekayaan perspektif sekaligus menyadari keterbatasan "upaya pembacaan sebagai usaha melakukan penulisan ulang".
"Usaha Menulis Silsilah Bacaan" adalah buku kumpulan tulisan Eka yang kedua mengenai pengalamannya dalam membaca buku-buku sastra setelah "Senyap yang Lebih Nyaring" (2019). Apakah akan ada buku ketiga? Mungkin saja. Dan kuharap akan ada, mengingat usaha untuk membukukan pengalaman seperti ini adalah hal yang masih langka dalam jagat perbukuan di Indonesia. Setidaknya selain kedua buku Eka ini, aku hanya sanggup mengingat buku kumpulan resensi karya Bandung Mawardi alias Kabut, "Macaisme!" yang diterbitkan oleh Jagat Abjad, Solo (2011) dan buku kumpulan resensi Anton Kurnia, "Menulis Jejak Ingatan" (Circa, 2019).
Aku belum sempat membaca "Menulis Jejak Ingatan" yang sudah berada dalam daftar belanjaan bukuku, namun "Macaisme!" yang disebut-sebut penulisnya sebagai "penghiburan atas kegenitan diri dalam sapaan, sentuhan, sengketa bersama buku" dan sejenis pendokumentasian "nostalgia kerja membaca dan menulis, jejak mengurusi buku dalam gelimang nafsu dan cemburu, [serta] ingatan atas sengatan malas dan putus asa" itu kupikir memang sebuah kumpulan resensi buku ala koran yang lumayan bagus. Hanya saja toh (tersebab itu juga) ia belumlah mampu mengantar kita (terutama diriku) memasuki pengalaman berbagi pembacaan yang cukup mencemaskan lagi menyejukkan (baca: mencerahkan).
"Begitu" deh.
Yogya, akhir Juli 2020
: buat Kak Ida.
____________________
*) Sunlie Thomas
Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan
Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan
Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik
sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai
surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas,
Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen
Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong,
Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima
beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China
Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku
Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment