Kompas, 13 Juni 2010
Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono
Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.
30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.
Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.
Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.
Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.
Naik Motor ke Suroloyo
Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.
Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.
Berita Rahasia dari Darmo Gandul
Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.
Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik ... kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.
Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.
Mantel Hujan Dua Kota
Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.
Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.
Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
***
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sastrawan yang dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, esai yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).
No comments:
Post a Comment