Monday, August 10, 2020

Para Pejuang Bahasa Indonesia

Ahmad Baedowi *

Media Indonesia, 02 Nov 2015

APA hikmah terbesar bangsa Indonesia yang sudah berusia lebih dari 70 tahun kemerdekaannya? Jawabannya ialah bahasa Indonesia. Dalam naskah Sumpah Pemuda, ikrar bertanah air dan berbangsa yang satu bisa jadi sangat sulit untuk mengukur dan membuktikannya. Namun, berbahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, sangat mudah membuktikannya karena hampir semua wilayah kepulauan Indonesia mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Karena itu, jika ada anggapan Indonesia akan hilang dari bumi Nusantara suatu ketika, hal yang paling mungkin untuk mengikatnya agar tidak cerai-berai ialah bahasa.

Memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bisa dilihat dari beragam perspektif. Secara politis, keberadaan bahasa Indonesia sebagai pelekat dan pemersatu bangsa sebenarnya agak cukup aneh. Nurcholis Madjid pernah berurai suatu ketika, bahwa salah satu modal besar bangsa Indonesia secara budaya dan politik ialah ditetapkannya bahasa Indonesia dari akar bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Bayangkan, secara politis dan keragaman budaya, juga jika dikaitkan dengan banyaknya populasi, harusnya bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional. Namun, mengapa justru bahasa Melayu yang minoritas ditetapkan sebagai bahasa pemersatu?

Jika ditambah dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), kita sesungguhnya malah harus lebih bersyukur karena upaya untuk tetap memelihara kesatuan menjadi lebih kuat. Sebagai sebuah strategi, Bhinneka Tunggal Ika merupakan jalan tengah yang bahasa Indonesia dengan sendirinya menjadi alat untuk mempertahankan keragaman itu. Jika kebijakan tentang politik berbahasa dimaksudkan untuk mempertahankan keragaman, sebuah bangsa dijamin akan memiliki kekuatan spiritual yang berjangka panjang dalam mempertahankan teritorinya. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, jelas politik bahasa pemerintah akan sangat represif, terutama terhadap masa depan keragaman budaya, etnik, dan agama.

Tradisi Sastra 

Para pejuang bangsa seperti M Yamin, Soekarno, Ki Mangun Sarkoro, Buya Hamka, dan HB Jassin, ketika hidupnya, sangat menyadari arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan dan bahasa pemersatu. Buya Hamka dan HB Jassin misalnya, dikenal tajam cara berpikir dan bertindaknya karena kemampuannya dalam berbahasa secara indah. Karya sastra mereka berjumlah ribuan, terserak dalam rak-rak perpustakaan nasional hingga mancanegara.Saya terkagum-kagum ketika sempat menjadi anggota The Congress Library di Washington DC, mendapati begitu banyak karya sastra orang Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, dan Hasbi Ash-Shiddiqy menjadi bagian dari koleksi perpustakaan tersebut.

Tradisi sastra yang dibangun oleh Buya HAMKA, HB Jassin, Armin Pane, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Tur, hingga Rendra sesungguhnya menunjukkan keagungan tradisi bahasa Indonesia. Dengan menulis, para pejuang bahasa tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa bahasa memang layak diperjuangkan sebagai alat komunikasi yang etis dan bermanfaat. Karya-karya mereka tetap dikenang hingga saat ini dan dijadikan rujukan tentang pola dan ragam penggunaan kosakata yang merujuk pada nilai-nilai budaya. Bahkan melalui beberapa karya, perdebatan tentang isi buku menjadi salah satu cara dan saluran untuk mendudukkan setiap perkara secara sahih dan bertanggung jawab.Pramudya pernah menuduh Buya Hamka sebagai penyadur tentang buku Tenggelamnya Kapan van Der Wijck, misalnya. Namun, seiring berjalannya waktu ikatan silaturahim mereka, meskipun berbeda ideologi, tetap dipersatukan oleh komitmen kebangsaan melalui sebuah bahasa.

Namun, mari kita lihat bagaimana bahasa Indonesia hari ini digunakan oleh para siswa kita di sekolah. Selain minim dalam mengapresiasi sastra, anak-anak kita juga terjebak penggunaan bahasa Indonesia yang dirusak dengan beragam istilah tak baku yang datang dari komunitas orang-orang yang tak bertanggung jawab.Di media sosial, penggunaan bahasa Indonesia yang rusak ini dikenal dengan bahasa alay, yakni kosakata dibuat secara serampangan dan tak memiliki kedalaman makna dari sebuah kata. Kata menjadi seloroh semata bahkan terkesan memiliki makna yang selalu negatif dan cenderung destruktif terhadap bangunan budaya dan tradisi bangsa.

Kondisi ini bukan omong kosong, jika relasinya ialah pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Meskipun dalam kurikulum kita bahasa dianggap memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Namun, pembelajaran bahasa di sekolah sangatlah minim dalam menghargai dan mengapresiasi sastra. Siswa seperti tak dituntun untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain melalui sebuah gagasan sastra sehingga mereka memiliki kemampuan analitis dan imajinatif dalam dirinya.

Politik Bahasa 

Ketimbang profesi di bidang selain bahasa yang terus berkembang, saat ini tak cukup banyak anak kita yang ber cita-cita menjadi penyair atau sastrawan. Sangat jarang kita jumpai di sekolah, ada anakanak yang dengan penuh semangat mendeklarasikan cita-cita mereka untuk menjadi penulis, penyair atau sastrawan. Bahkan esais muda kita seperti Nukila Amal lahir bukan dari pendidikan formal kebahasaan, tapi lebih banyak dari pengalaman keluarga dan masa kecilnya di kampung halaman.

Pendek kata, bahasa menjadi kata kunci teramat penting dan tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa dan kebijakan sebuah negara. Beruntunglah kita, karena sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai penyatu seluruh keragaman budaya, etnik, dan agama.Bahasa Indonesia menjadi alat pengantar komunikasi tidak hanya di sekolah, tetapi juga di pasar, kantor, dan berbagai tempat lainnya. Dengan bahasa Indonesia, sesungguhnya kita dihadapkan pada fakta bahwa bahasa, jika dipelihara kemurniannya dan dikembangkan kosakata serta penambahan maknanya, akan tetap mampu memelihara rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa.

***

*) Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta.

https://budisansblog.blogspot.com/2015/11/para-pejuang-bahasa.html

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar