Sunlie Thomas Alexander *
JIKA James Baldwin benar, bahwa identitas dapat diibaratkan selembar kain yang menutupi ketelanjangan diri, barangkali pertanyaannya bukanlah sekadar berapa ketatnya kain itu membungkus tubuh sang pemakai, tetapi juga secocok dan seelok apa kain itu tatkala dikenakan.
Metafora kain Badwin adalah sebuah alegori lama yang telah kerap dikutip ketika sebuah proses pertemuan dengan “yang lain” berlangsung. Konon, ketika “si asing” (baca: ancaman) memasuki pintu gerbanglah,—kata Badwin dalam The Price of the Ticket (Collected Essays, The Library of America, 1998)—sebuah identitas mulai dipertanyakan.
Karena itu, identitas pun dianggap terlahir dari perbedaan, juga bersenyawa dengan persamaan: ia dimaknai sebagai sebentuk kesadaran, lantas ditempelkan pada kekhasan yang merunut pada fisiologis, geografis, dan historis—yang hanya menjadi sebuah isu ketika berada dalam krisis, saat yang diandaikan tetap, koheren dan stabil mulai runtuh digantikan dorongan keraguan dan ketakpastian.
Dengan begitu, bicara identitas adalah bicara soal kepemilikan satu atau sekelompok orang yang berbeda dengan yang lain. Di mana ia seringkali dilihat sebagai kesinambungan dan ikhtisar masa lalu, yang terkadang tak memberi ruang bagi perubahan. Karenanya, ketika berhadapan dengan dunia yang dinamis, ia cenderung menjadi bahasa politis yang berkoar tentang perbedaan, ketidakstabilan dan percampuran.
Pada banyak kasus, di tengah laju globalisasi yang memudarkan batas di bawah kuasa ekonomi, politik identitas dipandang penting untuk mengukuhkan semacam “jatidiri nasional”. Di sinilah orang kemudian sibuk menggali-gali “sumur asli” dan “akar-akar tradisi” sebagai sesuatu yang murni, bagian wajar dari diri mereka yang tak lengang oleh waktu, dan sakral.
Dalam novel “Ibukota Lama” (Koto, 1962—The Old Capital, 1987, 2006) karya Yasunari Kawabata misalnya, kita menemukan identitas itu dalam sepotong obi. Tentu saja obi, ikat pinggang kain yang dipakai dengan kimono, adalah bagian dari tradisi Jepang yang dengan tajam menunjukkan corak budaya Negeri Matahari Terbit itu. Yang mana dalam hal ini, ia pun mewakili Jepang sebagai sedikit dari bangsa-bangsa yang ngotot menjaga “pakaian tradisional”nya di tengah hegemoni busana Barat dalam keseharian.
Obi dalam “Ibukota Lama” tak sekadar bagian imperatif territorial. Lebih jauh ia adalah bagian dari Nihonjin-ron; seperangkat teknik budaya dan politik untuk membuat, atau membangun “subjek nasional”—iklim dan warna Jepang.
Maka, ketika memutuskan mendesain obi itu untuk anak gadisnya Chieko, Tuan Sada Takichiro si pedagang grosir dari Kyoto pun memutuskan mengurung diri di sebuah biara kecil tersembunyi di kota Saga. Ia, yang pada beberapa tahun terakhir konon kehilangan sense membuat desain dan merasa sedih setiapkali melihat anak gadisnya mengenakan kimono-kimono rancangannya yang tak laku, meninggalkan Kyoto dengan membawa buku-buku koleksi lukisan Paul Klee dan para pelukis abstrak modern lainnya yang dibeli Chieko. Tetapi malangnya ketika membawa hasil desainnya kepada sahabatnya Tuan Otomo Sosuke, seorang pengusaha tenun, ia mendapatkan apresiasi yang menyakitkan dari Hideo putra sulung Tuan Sosuke.
“Desain obi ini tampak cemerlang, mencolok dan inovatif; tapi saya merasa ini agak menggelisahkan. Saya heran bagaimana Anda bisa menggambar desain seperti ini. Itulah mengapa saya membelalak saat memandangnya... Dalam pandangan pertama, ia membangkitkan minat. Tapi ia tak memiliki harmoni keramahan hati. Ini penuh kemarahan dan... mengerikan,” kata Hideo yang membuat Tuan Takichiro tak bisa menahan emosi.
Tentunya kita tahu, harmonisasi adalah konsep kosmologi Tao yang sejak abad-abad lampau telah menjadi bagian dari Filsafat Timur dan merasuki berbagai ajaran, termasuk Zen Buddhisme yang berkembang di Jepang. Di mana dalam konsep ini, dunia hanya akan damai tentram apabila manusia dapat memelihara keselarasan dan keserasian alam semesta.
Adakah inspirasi lukisan Klee justru membuat desain obi Tuan Takichiro kehilangan harmoni kejepangannya?
Novel “Ibukota Lama” adalah sebuah kisah kota Kyoto pasca Perang Dunia II, ketika Jepang berusaha bangkit dari kekalahannya. Karena itu, dalam novel ini kita pun dikenalkan misalnya dengan Kebun Raya yang dibangun ala Barat dengan peninggalan rumah-rumah bekas angkatan militer Amerika.
Tentu, persoalan Jepang bukanlah persoalan pascakolonial seperti umumnya. Pada awal abad ke 20, selepas Restorasi Meiji, Jepang yang berhasil mengejar ketinggalan telah menjadi negara unggul di Asia. Dan seperti halnya China, ia tak pernah mengalami kolonisasi Barat jika kolonialisme yang kita maksudkan di sini adalah sebagaimana yang terjadi di banyak negara Asia-Afrika lain. Dalam karya-karya Kawabata, yang berlangsung adalah ketegangan tradisi ketika berhadapan dengan modernisasi—yang dalam hal ini kerap disamakan dengan westernisasi.
Namun, Jepang terbelah menjadi dua kutub ambiguitas saling berlawanan setelah modernisasinya mengarah kepada pembelajaran dan peniruan modernisasi ala Barat, tukas Kenzaburo Oe dalam “Jepang, Ambigu, dan Diriku”, pidato Nobelnya 1994 yang merespon pidato Kawabata. Karena itulah, sekalipun Jepang ada di Asia dan teguh merawat budaya tradisionalnya, orientasi Jepang yang mendua membawanya menjadi penyerbu Asia. Oe tak seperti Kawabata, ia anti fasisme. Pecahnya Perang Dunia II, menurut Oe, disebabkan oleh penyimpangan modernisasi itu sendiri.
Dalam karya-karya Kawabata, kita melihat bagaimana ia mencoba membentuk sebuah narasi Jepang di mana “identitas nasional” dibangun dengan cara mengamati perbedaan kultural Jepang dan wilayah lain di dunia, terutama Barat. Hal ini terlihat misalnya dalam percakapan antara Tuan Takichiro dengan Tuan Sosuke di “Ibukota Lama”: “Aku sangat tidak suka jika kosakata Barat mulai digunakan. Bukankah sejak jaman kuno Jepang sudah memiliki warna-warna yang kaya keelokan?”
Di sini identitas agaknya memang lebih dekat kepada konstruksi daripada sesuatu yang datang dari asal-usul. Ia bertaut dengan pengalaman, yang semestinya selalu terbuka untuk dikaji ulang terus-menerus. Tetapi identitas yang didesain Kawabata adalah sebuah pertahanan atau perlawanan terhadap idealisasi dalam acuan Barat. Karenanya, karya-karya peraih Nobel Sastra 1968 ini pun berbicara tentang nilai-nilai dan etos kerja Asia. Tentang Timur yang perlu menegaskan kembali nilai-nilai tradisional.
Maka pada “Ibukota Lama”, tradisi dan modernitas pun terus bersitegang lewat beragam dialog dan narasi. Ia—contohnya—berupa bangunan pabrik modern bergaya Barat yang membuat lima ratus potong obi sehari dengan para pegawai ikut ambil bagian dalam manajemen perusahaan. Tentu saja di sini, tradisi adalah komitmen awal dan serius, sedangkan tradisionalisme adalah piranti psikologis menghadapi perubahan.
Dalam pidato Nobelnya yang berjudul “Jepang, Keindahan, dan Diriku”, sikap Kawabata atas tradisi ini kian jelas misalnya ketika ia bicara mengenai taman Jepang yang menyimbolkan bentangan alam. Di mana menurutnya taman ala Barat cenderung simetris; tapi sebaliknya taman Jepang adalah asimetris, dan ini karena ketaksimetrisan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menyimbolkan keanekaragaman dan keluasan.
Pada pidato ini, ia mengemukakan pandangannya atas puisi para biarawan Zen Abad Pertengahan yang sangat dekat dengan alam. Dan dengan tegas menyatakan bahwa secara esensial dirinya dipengaruhi tradisi filsafat dan estetika Zen yang meliputi karya sastra klasik Timur. Ia menyangkal jika novelnya ”Seribu Burung Bangau” merupakan suatu pengenangan akan keindahan formal dan spiritual upacara minum teh. Novel itu baginya justru karya negatif yang mengekspresikan keraguan (dan peringatan) tentang kenyataan memudarnya penjiwaan upacara minum teh.
Jika kondisi pascakolonial menunjukkan kategori identitas yang senantiasa melibatkan sejarah tempat sebuah subjek dibentuk dan diberi indeks oleh kekuatan dari luar, maka apa yang dilakukan Kawabata tak lain upaya menyelami diri sendiri sebagai "orang dalam" secara spirit sekaligus historis. Karena itu, dalam bukunya “Self-Identity and Everyday Life” (Routledge, 2009) Harvie Fergusan mengatakan bahwa bagi banyak penulis Jepang, jatidiri tak dapat dinarasikan; identitas hanya dapat dipresentasikan, diangkat, melalui sentuhan kedirian yang berputar-putar dalam ruang modernitas.
Jepang yang ingin ditampilkan Kawabata bukanlah sebuah negeri Timur yang eksotik dalam kacamata Barat, tetapi Jepang yang mulai limbung kediriannya pasca perang oleh sebab kekalahan memalukan dan “ancaman luar”. Di sinilah kata “gaijin” dalam bahasa Jepang (dieja “wairen” dalam bahasa China) yang lebih berarti “orang luar” daripada sekadar “orang asing” pun menemukan artikulasinya secara tepat.
“Di sini kami memiliki keadaan hampa, ketiadaan, menurut konsep Timur. Karya-karyaku sendiri bisa dikatakan sebagai karya kehampaan; tapi ini tidak berasal dari nihilisme Barat. Landasan spiritualnya akan tampak sungguh berbeda. Dogen memberi judul sajaknya tentang berbagai musim dengan “Realitas yang Berpembawaan Halus”, dan bahkan saat menyanyikan keindahan empat musim ia benar-benar terbenam dalam meditasi Zen,” demikian Kawabata di muka Akademi Swedia.
Dalam “Ibukota Lama”, kita juga dikenalkan dengan beragam festival tradisional di kota kimono tersebut. Tetapi sebagaimana upacara minum teh dalam “Seribu Burung Bangau”, sakralitas festival-festival yang berkait dengan keagamaan itu juga mengalami degradasi serupa. Lebih bernuansa turisme, jika bukan upaya menghidupkan kembali kebiasaan kuno yang hambar. Masyarakat Kyoto justru merasa berat berpisah dengan trem listrik sepanjang jalur Horikawa-Kitano—satu tanda mata terakhir yang masih tersisa di Kyoto dari masa “Pembukaan Peradaban” jaman Meiji—yang akan dihentikan pengoperasiannya. Mereka menghiasinya dengan kuntum-kuntum bunga dan menyebutnya sebagai ‘kereta bunga’. "Apakah ini menjadi perayaan festival lain di kota Kyoto?" tanya Kawabata gundah.
“Harmoni akan terbentuk, tergantung dari kimono yang menyertainya dan orang yang mengenakannya. Tapi jaman sekarang pakaian yang dibuat dengan sengaja merusak keselarasan sedang menjadi tren,” tukas Chieko menjawab Tuan Takichiro tentang obi desain sang ayah yang akhirnya ditenun Hideo.
Kawabata, pendukung politik sayap kanan Jepang itu bunuh diri menghirup gas beracun pada tahun 1972.[]
***
Note:
(1) Teks Indonesia dari novel "The Old Capital" karya Yasunari Kawabata yang saya kutip di sini merupakan terjemahan Nurul Hanafi yang pernah diterbitkan secara terbatas oleh Parikesit Institute bersama naskah-naskah lain dari penulis yang sama dengan judul "Jepang, Keindahan, dan Diriku" (2010).
(2) Saya lupa tulisan ini pernah dipublikasikan di media apa.
Foto: Yasunari Kawabata bersama penulis Jepang terkemuka lain, Yukio Mishima. (dari thekimonogallery.tumblr.com)
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/identitas-ketegangan-tradisi-kawabata/
No comments:
Post a Comment