Saturday, August 1, 2020

Pengaruh Persia pada Sastra dan Seni Islam Nusantara

K. Ng. H. Agus Sunyoto

Penyebaran Islam di Kalangan Pedagang dan Alawiyin

Pemeluk Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, sejaman dengan era kekuasaan Khalifah Utsman bin Affan. Yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, Persia dan India yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961). Sebuah cerita kehadiran saudagar Persia (tazhi) pada masa kekuasaan Ratu Simha di Kerajaan Kalingga, diberitakan sumber-sumber Cina Dinasti Tang (Groeneveldt, 1960).

S.Q. Fatimi (1963) mencatat bahwa pada abad ke-10 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai utara Pulau Jawa yang disebut Loram dan Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang kronogram di batu nisannya menunjuk angka tahun 475 H/ 1082 M adalah petunjuk yang mengarah kepada kebenaran berita kehadiran suku Lor tersebut.

Dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum yang terdapat dalam Primbon Ramal Jayabaya susunan R Tanoyo (1956), diungkapkan bahwa dalam usaha mengisi Pulau Jawa yang masih dihuni jin, siluman, brekasakan, dan berjenis-jenis makhluk halus, Sultan Al-Gabah, penguasa negeri Rum (istilah orang Jawa untuk menyebut Persia-pen) mengirim 20.000 keluarga muslim Rum ke Pulau Jawa di bawah pimpinan Patih Amirul Syamsu dan Jaka Sengkala. Mereka tinggal di Gunung Kendheng di pantai utara Jawa. Dikisahkan bahwa ke-20.000 keluarga muslim itu diserang makhluk-makhluk halus, banyak yang mati dan tersisa hanya 200 keluarga. Mendapat laporan itu, Sultan al-Gabah marah dan mengirim ulama, orang sakti dan syuhada ke Jawa untuk memasang "tumbal" guna mengusir makhluk-makhluk halus. Akibat keampuhan "tumbal" para ulama, orang sakti dan syuhada itu, terjadi pralaya di Jawa. Catatan yang tergolong historiografi ini, adalah rekaman sejarah masyarakat Jawa yang terkait dengan kehadiran suku Lor asal Persia, yang tinggal di tempat bernama Loram (nama tempat kuno di Kudus, Jawa Tengah - pen) dan Leran (nama tempat kuno di Tuban dan Gresik, Jawa Timur -pen), yang secara historis dapat dihubungkan dengan peristiwa "pralaya" di Jawa pada tahun 928 Saka (1006 M).

Menurut Syihabuddin Akhmad Abdulwahab dalam Nihayah al-Arab (dalam Atjeh, 1985) "Di sebelah timur Tiongkok ada enam pulau yang dinamakan kepulauan Sila. Penduduknya adalah golongan Alawiyin yang datang melarikan diri dari golongan Bani Umayah". Penjelasan ini mengindikasikan bahwa Islam tersebar di sekitar Tiongkok, berlangsung semenjak dinasti Umayyah memburu golongan Alawiyyin pada akhir abad ke-7 Masehi.. Dalam Taiping Yulan disebut kehadiran 500 keluarga Hu (Persia) di kerajaan Dun-sun di Semenanjung Malaysia (Wheatley, 1966) pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Digambarkan pula tentang banyaknya kapal Persia pada abad tersebut yang berdagang ke Cina, dan salah satu kapal tersebut dinaiki peziarah Buddhis Yijing yang akan ke India, di mana Yijing bertemu dengan orang bernama Persia (Hu) di Kedah (Wolters, 1967).

Tersebarnya Islam yang dibawa golongan Alawiyin di sekitar Tiongkok sejak abad ke-7, kita ketahui dari catatan Mas'udi tentang keberadaan saudagar-saudagar muslim dari Basrah, Siraf, Oman, dan kota-kota India yang berniaga dengan saudagar-saudagar beragama lain di kota Kanton, Tiongkok pada abad ke-9. Namun akibat serangan tentara pemberontak Huang Chao pada tahun 879 Masehi, sekitar 200.000 orang muslim, Nasrani, Yahudi, dan Majusi tewas oleh senjata atau tenggelam dalam air ketika mereka lari dikejar-kejar (Meynard, 1962).

Hancurnya masyarakat dagang muslim di Kanton tidak bermakna hilangnya pengaruh Islam di Kanton. Meski lambat, Islam terus berkembang di Kanton, provinsi Yangchouw dan Chanchou. Pada tahun 1386 M, terjadi pengungsian besar-besaran penduduk muslim Cina dari Kanton, Yangchou dan Chanchou ke selatan dan menghuni pantai utara Jawa dan pantai Timur Sumatera. Ketika tahun 1405 M Cheng Ho datang ke Jawa, diketahui bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat masing-masing 1000 orang keluarga Cina muslim (Groeneveldt, 1960). Menurut Parlindungan (2007) muslim Cina di Indonesia menganut mazhab Hanafi, di mana Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi itu diketahui menerima semua pendapat Imam Ja'far Shadiq kecuali tiga perkara (Aceh, 1988).

Pengaruh Pada Bahasa Nusantara

Persinggungan antara para pedagang dan golongan Alawiyin yang kebanyakan dari Persia dengan penduduk Nusantara semenjak abad ke-7, dapat diasumsikan berakibat pada terjadinya proses saling pengaruh dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, religi, dan terutama bahasa di antara keduanya. Dalam konteks bahasa, pengaruh Persia di Nusantara cukup signifikan karena tidak saja sejumlah kata Persia diserap menjadi kosa kata Nusantara, melainkan pola peminjaman kata Arab pun dicapai melalui bahasa Persia, yang kadang-kadang lewat bahasa India pengaruh Persia. Menurut Robert N. Bellah (1970), Islam datang di Indonesia setelah melewati proses akulturasi dengan warisan Budaya Persia, atau lebih luas lagi, Iran (orang-orang Arya), sebagaimana tampak dalam gaya arsitektur bangunan, kesenian, sastra, ilmu pengetahuan yang menunjuk pada suatu kombinasi berbagai unsur peradaban yang berintikan warisan-warisan budaya Irano-Semitis.

Para penyelidik kesusasteraan Indonesia pengaruh Islam, khususnya sarjana-sarjana Barat apabila memperkatakan tentang sumber kesusasteraan Indonesia lama pengaruh Islam kebanyakan merujuk kepada sumber-sumber Parsi dan India (Hamid, 1989). Pengaruh Persia dan India ini memang kelihatan sekali jejak-jejaknya, baik dalam penggunaan kosa kata maupun karya-karya sastera. Beg (1982) yang meneliti sejumlah kamus bahasa Melayu menemukan sedikitnya terdapat 77 kosa kata Persia yang beredar dan digunakan di Nusantara. Beberapa contoh yang paling dikenal, menurut Beg, adalah kata kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, bius, diwan (dewan), gandum, jadah (anak haram), lasykar, nakhoda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, kismis, anggur, takhta, medan, firman, dsb. Pengaruh Persia yang kuat dalam kebahasaan di Nusantara, yang berhubungan dengan Islamisasi adalah sistem pengajaran membaca Al-Qur'an yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia untuk menyebut harokat (vokal) dalam bahasa Arab seperti istilah Jabar untuk fatkhah, Jer (Zher) untuk kasroh dan Pes (Fyes) untuk dlomma.

Menurut Nurcholis Madjid (1987) bahasa Indonesia banyak sekali mengandung kata-kata pinjaman dari bahasa Persia...hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dipinjam dari dan melalui bahasa Persia. Ini bisa dibuktikan dari kasus ta' marbuthah (huruf "t", yang kalau berhenti, berubah bacaannya menjadi seperti "h", dan kalau disambung dengan huruf hidup tetap berbunyi "t" - ta' maftuhah). Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta' marbuthah dibaca (dalam waqaf) sebagai "t" seperti: adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat, zakat, dsb.

Masuknya kosa kata Persia dalam bahasa Nusantara itu secara berangsur-angsur diikuti masuknya karya sastera - karya sastera terjemahan dari bahasa Persia dan India seperti Qissah Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Bulan Terbelah, yang mengisahkan mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdat al-Ahbab (Hikayat Nur Muhammad, yang mengisahkan cahaya kenabian yang mula-mula dicipta Allah dari cahaya-Nya), Wafat Nameh (Hikayat Nabi Wafat), Qissah Wassiyah al-Mustafa li Imam Ali (Hikayat Nabi Mengajar Imam Ali), Qissah Amir al-Mu'minin Hasan wa Husain (Hikayat Amir al-Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali Hanafiah (Hikayat Muhammad Hanafiah, mengisahkan kepahlawanan putra Ali bin Abi Thalib dengan perempuan dari kabilah Hanafiyah), Qissa i Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah, mengisahkan kepahlawanan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw), Qissas al-Anbiya (Hikayat Nabi-nabi), Qissa i Bakhtiar (Hikayat Bakhtiar), Tutinameh (Hikayat Bayan Budiman), Keratako wa Damanakala (Hikayat Kalilah dan Daminah), dan sebagainya (Harrison, 1955; Winstedt, 1920 & 1968; Ronkel, 1895 & 1932; Brakel, 1975; Dunia, 1969).

Pengaruh Pada Sastra Islam Nusantara

Di tengah arus masuknya karya sastra terjemahan Persia, terjadi perkembangan dalam karya sastra Islam berbahasa Melayu yang terpengaruh sastra Persia yang ditulis alim ulama seperti Nuruddin al-Raniri dengan karyanya Bustan al-Salatin, Bukhari al-Jauhari dengan karyanya Taj al-Salatin, Abdul Rauf Singkel dengan karyanya Syair Ma'rifah, dan Hamzah Fanzuri dengan karyanya Syair Perahu yang termasyhur yang menjadikannya dianggap sebagai bapak kesusasteraan Melayu modern (Fang, 1975; Dipodjojo, 1975; Al-Attas, 1972).

Sementara itu sedikit berbeda dengan di Sumatera dan Semenanjung Malaya, karya sastera bernafaskan Islam yang menyebar di kawasan pesisir utara Jawa biasanya berbentuk tembang atau gancaran, di antaranya: Serat Anbiya, Serat Pepali, Serat Menak, Suluk, Serat Raja Pirngon (Sedyawati, 2001). Berbeda pula dengan sastera Melayu pengaruh Islam yang ditandai munculnya naskah-naskah terjemahan dari bahasa Persia dan India, sastera Jawa pengaruh Islam hanya sebagian kecil mengambil naskah-naskah terjemahan. Bagian terbesar sastera Jawa pengaruh Islam berisi kisah-kisah lokal yang berkaitan dengan tokoh-tokoh muslim dan latar kehidupan setempat seperti Serat Jayalengkara, Serat Jatiswara, Serat Sastra Gending, Serat Jenggalamanik, Serat Kramaleya, Serat Syekh Jangkung, dan Serat Cabolek. Bahkan selama periode Mataram pada abad ke-16 yang dilanjutkan periode Surakarta pada abad ke-18 kesusasteraan yang ditulis pujangga-pujangga muslim mengambil latar dan tokoh lokal yang bukan muslim seperti Nawaruci, Serat Rama, Serat Arjunasasrabahu, Serat Anglingdarma, Serat Mintaraga, Serat Bima Swarga, Dahyang Saloka, Serat Panji yang diinterpolasi dengan ajaran Islam. Meski cenderung pada kisah-kisah lokal, namun pengaruh sejumlah naskah terjemahan Persia dan India juga berkembang dan digemari masyarakat Jawa.

Serat Menak - yang merupakan naskah terjemahan -- di Jawa berkembang dengan berbagai jenis lakon-lakonnya seperti Menak Sarehas, Menak Lare, Menak Sulub, Menak Serandhil, Menak Kuristan, Menak Kanjun, Menak Kandhabumi, Menak Jobin, Menak Ngambarkustup, Menak Kalakodrat, Menak Kuwari, Menak Cina, Menak Malebari, Menak Purwakandha, Menak Sorangan, Menak Jaminambar, Menak Lakat, dsb. Meski berbeda-beda judul, namun intisari cerita Menak berpijak pada kisah tokoh utama bernama Amir Ambyah putera Abdul Mutalib, seorang bangsawan di Makkah. Amir Ambyah ditampilkan sebagai pahlawan Islam yang berperang dari satu negeri ke negeri lain untuk menyebarkan Islam. Cerita Menak Amir Ambyah bersumber dari Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu, di mana Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu sendiri merupakan naskah terjemahan sastera Persia berjudul Qissa i Emir Hamza, sebuah epos Persia yang meriwayatkan tokoh Amir Hamzah (van Ronkel, 1895).

Tokoh Amir Ambyah dalam Serat Menak sebenarnya merupakan penggambaran tokoh sejarah Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad yang gugur dalam Perang Uhud-pen) sebagai pahlawan gagah perkasa tanpa tanding. Menurut Resowidjojo (1941) tokoh Amir Ambyah dalam cerita Menak diberi banyak nama antara lain Wong Agung Jayengrana, Wong Agung Menak, Jayeng Jurit, Jayeng Laga, Jayeng Satru, Amir Mukminin, Menak Amir, Jayadimurti, Wiradimurti, Jayeng Resmi, Palugon, Palugangsa, Retnaning Jurit, Kamidil Ngalam, Karabul Maunun. Amir Ambyah dikisahkan memiliki banyak isteri dan anak, hasil perkawinan dengan berbagai puteri raja dari berbagai negeri. Dari pernikahan dengan Retna Muninggar (Mihrnigar) puteri Prabu Nusirwan (Anushirwan) dari negeri Medayin lahir putera bernama Kobat Sarehas (Qobat Shehriar); dengan Dewi Marpinjun adik Retna Muninggar diperoleh putera bernama Rustamaji; dengan Dewi Ismayawati puteri Prabu Tamimasar (Tamim Azhar) dari negeri Ngajrak lahir Dewi Kuraisin (Quraisyin); dengan Dewi Kelaswara puteri Prabu Kelan Jajali raja Kaelani lahir Iman Suwangsa (Badi'uz Zaman); dengan Dewi Sudarawreti puteri Prabu Perid (Farizh) raja Parang Akik adik Prabu Kanjun lahir putera bernama Jayusman; dengan Dewi Sekar Kedhaton puteri Prabu Asan Asir (Hasan al-Misri) raja Mesir lahir putera bernama Umar Mesir atau Maryunani; dengan Dewi Retna Kisbandi anak Prabu Kemar Raja Kuwari lahir putera bernama Hasim Kuwari (Hasyim al-Quwairy); dengan puteri raja Burudaging di negeri Rum lahir putera bernama Hasim Katamsi; dengan Dewi Robingu Sirtupelaeli dari negeri Karsinah, Amir Ambyah tidak memiliki putera.

Pengaruh Pada Seni Pertunjukan

Serat Menak Amir Ambyah di Jawa meski ditulis dalam naskah-naskah tulisan, tetapi sering divisualisasi dalam bentuk pertunjukan Wayang Krucil atau Wayang Tengul. Melalui seni pertunjukan itu, Serat Menak Amir Ambyah yang bersumber pada sastra Persia berjudul Qissa i Emir Hamza yang sarat memuat pandangan-pandangan dan ide-ide serta gagasan-gagasan yang berpihak kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, dikenal dan diterima oleh hampir seluruh masyarakat Jawa di pesisir dan pedalaman, bahkan berkembang sampai ke Nusa Tenggara Barat.

Dalam sejumlah lakon, tokoh Amir Ambyah dikisahkan sering terlibat perselisihan dengan mertuanya, Raja Nusirwan yang masih kafir. Ia sering pula dikisahkan berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sebagai tokoh berperut buncit (jemblung) berwajah jelek. Tokoh Amir Ambyah sangat dikagumi masyarakat. Popularitas Serat Menak di kalangan masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan ke-20, sedikitnya terlihat dengan digunakannya nama-nama tokoh Menak seperti Amir, Ambyah, Maktal, Jumiril, Lukman, Tamtanus, Jayusman, Kuraisin, Sulasikin, Sudarawerti, Muninggar, Kadarwati (Yosodipuro, 2002) untuk menamai anak-anak mereka. Akibat populernya tokoh Amir Ambyah, tidak satu pun masyarakat Jawa yang berkenan menamai anaknya dengan meminjam nama tokoh antagonis Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sangat tidak simpatik, baik fisik maupun perangainya.

Kemasyhuran cerita Amir Ambyah yang di Jawa sering dipergelarkan melalui media wayang krucil atau wayang tengul, berkembang pula di Nusa Tenggara Barat melalui media wayang Sasak. Bentuk wayang Sasak hampir menyerupai wayang gambuh, terbuat dari bahan kulit yang ditatah dan disungging. Dasar cerita yang digunakan adalah hikayat Amir Hamzah. Kata Sasak merupakan sebutan lain dari Pulau Lombok; jadi yang dimaksud di sini ialah wayang dari Pulau Lombok (Haryanto, 1988). Demikianlah, sastra Islam yang terpengaruh Persia berkembang menjadi seni pertunjukan di berbagai daerah dan memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam proses dakwah Islam di Nusantara.

Sementara itu penyebaran nilai-nilai Islam lewat jalur seni dilakukan melalui pengembangan asimilatif antara seni budaya setempat seperti wayang beber (karebet), wayang kulit (ringgit purwa), wayang klithik, wayang gedog, wayang Demak, banyolan (mabanyol), pelawak (mamirus), tari-tarian (nirtya), tembang gede, kidhung, macapat dengan seni budaya Islam yang berasal dari Persia, India, Campa, Cina, dan Arab.

Satu hal pasti dari pengaruh Islam dari Persia dan India yang diketahui mempengaruhi lahirnya sejumlah seni tradisional tampak pada kesenian wayang klithik (yang membawakan cerita-cerita Menak), wayang purwa (membawakan cerita Ramayana dan Mahabharata), kentrung (menuturkan kisah para wali penyebar Islam), jemblung (membawakan cerita Menak), genjring (seni sulap bernuansa mistis), debus (seni kekebalan berasal dari tarikat Rifa'iyyah), terbang jidor (pengiring pembacaan shalawat), dan shalawatan.

Menurut Simuh (1988) di Jawa pengaruh Islam aliran Syi'ah terlihat sekali dalam proses Islamisasi melalui seni seperti terlihat pada pertunjukan sandhul, yakni suatu seni yang menggambarkan peperangan antara imam Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyyah. Perayaan hari Asyura pada tanggal 10 Muharram yang dirayakan dengan sajian nasi-bubur adalah selamatan dan peringatan bagi imam Husain (cucu Nabi Muhammad Saw) yang terbunuh dalam perang di Karbala tahun 680 Masehi. Simpulan Simuh bahwa seni Sandhul adalah pengaruh Islam Syi'ah, tentu berhubungan dengan Cerita Menak lakon Amir Ambyah, yang menggambarkan tokoh Amir Hamzah bin Abdul Munthalib yang sering berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah). Itu berarti, baik seni sandhul maupun cerita Menak, sama-sama menggambarkan kisah perselisihan abadi antara Bani Munthalib dengan Bani Umayyah yang direpresentasikan dalam kisah peperangan imam Ali melawan Mu'awiyah maupun perselisihan Hamzah bin Abdul Muthalib melawan tokoh Umayyah, yang secara psikologis hal tersebut mempengaruhi struktur mental (habitus) masyarakat muslim di Nusantara yang cenderung memihak kepada imam Ali dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

2011-08-26
sumber: Jurnal Al-Qurba Vol I No 1

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar