Judul : Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural
Penulis : Syaiful Arief
Penerbit: Koekoesan, Jakarta
Tahun : Cetakan I, Juli 2010
Tebal : viii + 151 halaman
Peresensi : M. Abdullah Badri *
lampungpost.com
HADIRNYA globalisasi menjadikan agama besitegang secara fungsional: antara pijakan nilai spiritual-moral dan kebermanfatan kehidupan publik. Radikalisme berbasis agama muncul dimulai dari kegairahan spiritual yang terimpit oleh kujumudan berpikir para penganutnya. Awalnya, agama (Islam) dikontekstualisasikan untuk mengimbangi kemajuan modernisme dalam arus globalisasi massa. Berubah ia menjadi lembaran ajaran yang anarki, ekslusif, dan radikal setelah kehilangan daya magisnya di masyarakat.
Dalam buku Deradikalisasi Islam ini, Syaiful Arief hendak melakukan penyeimbangan antropologis atas Islam radikal dengan Islam kultural. Menurut penulis, radikalisme menjadi fenomena anyar pergerakan Islam di Indonesia karena kesadaran keber-Islam-an bermula dari pemahaman keagamaan yang belum mengalami kulturalisasi. Ia menjadi orang Islam yang Indonesia, bukan orang Indonesia yang beragama Islam. Kediriannya sebagai orang Islam didahului oleh identifikasinya sebagai orang Indonesia.
Keterpisahan identifikasi diri dari budaya dan agama itulah yang menjadikan pola pembangunan hidup beragama kelompok radikal bersifat menjajah (imperialis), bahwa semua praktek keagamaan yang ada harus diluruskan melalui mekanisme normatif yang bersifat "memaksa". Pada tahapan selanjutnya, unsur hakimiyyah (penghakiman) merupa pola dalam mekanisme kehidupan sosio-religiusnya. Tabiatnya menjadi kaku, noramatif, serbaharus dituruti, dihormati, mengusasi dan maunya mengatur.
Idealitas paham radikal Islam pun menuju pada orientasi penerapan hukum agama secara totaliter melalui mekanisme politis. Format yang terbaca, mereka menggunakan "yang politik" untuk mengatur "yang religius". Kelompok radikal agama, yang mengimpor pemahaman Islam secara ideologis dari Timur Tengah (Arab), melakukan imperialisasi anutan paham sepihaknya kepada "yang kultural". Padahal, Islam yang ada di Nusantara ini, telah mengalami kulturalisasi sekian lama, menjadi kesadaran yang sublim dalam benak masyarakat muslim. Tidak bisa dipisahkan.
Arief menunjukkan bukti kecongkakan pemahaman religius kelompok radikal agama ini dengan lebih dikenalnya pemikiran tokoh agama asal Arab daripada yang pribumi. Al Maududi, Hasan Al Banna, Sayyid Qutub, lebih populer daripada Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Mas Karebet, Raden Fatah, yang mereka itu masyhur luas sebagai juru agama yang berhasil mensyiarkan nilai-nilai agama gerak kehidupan kultural masyarakat.
Kegagalan paham radikal dalam menyinergikan antara agama dan budayanya, hingga akhirnya melahirkan kecongkakan ego politis yang menihilkan humanitas, adalah bentuk nyata kegagapan ideologi radikal agama dalam memahami tantangan modernitas. Arief menyebut radikalisme Islam sebagai korban modernitas. Makna modernitas yang sebenarnya amatlah menjunjung tinggi amanat kemanusiaan, termasuk pelestarian kultur dan budaya lokal. (hlm 29).
Deradikalisasi Islam harus dimulai dari latar budaya urban, karena pusat perbenturan ideologi ini ada di kota. Sistem kebudayaan rendah di desa (ini mengikuti kategori fungsional modernisme), relatif aman dari kekisruhan ego agama karena masyarakatnya memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan laku kultural agama dan budayanya. Kemenyatuan agama dengan budaya, nyata terlihat dalam spiritualitas masyarakat desa. “Yang religius” dipraktekkan tanpa paksaan dari "yang politis".
Islam di desa telah mengalami pribumisasi karena mayoritas muslim di sana "melakoni syariat" sebagai tradisi. Konsekuensinya, tidak dibutuhkan lagi formalisasi syariat. Perwujudan kultural Islam begitu kuat dipegang oleh karena struktur tradisi itu terbangun bukan melembaga pada level institusi dan pengundang-undangan syariat, melainkan pada penguasaan pamahaman keilmuan Islam serta penerapannya.
Keseimbangan antropologis, sebagaimana tujuan penulisan buku ini, bisa diciptakan dengan menghadirkan spiritualitas pendidikan ala pesantren dan tarekat ke dalam dinamika budaya urban. Bukan berarti mendirikan pesantren dan komunitas tarekat di kota, melainkan menjejakkan nilai-nilai substansial agama dalam formalitas paham keagamaan masyarakat urban, yang rentan diselundupi ideologi radikal itu. Agar radikalisme bisa didekonstruksi untuk merekonstruksinya; dengan pembumian kultur kenusantaraan.
Radikalisme agama terjadi karena bibliografi Islam Nusantara lupa diingat sebagai cermin pertemuan yang indah antara agama dan budaya. Perwujudan kultural Islam di kota akan mendamaikan antara tradisi dan modernitas, seperti didengungkan oleh Fazlur Rahman dalam neo-modernismenya.
_____________________
*) M. Abdullah Badri, pembaca buku, peneliti Idea Studies.
No comments:
Post a Comment