Subagio Sastrowardoyo *
MITOS DAN KOMUNIKASI
Umar Junus
Sinar Harapan, Jakarta 1981, 237 halaman
KRITIK sastra modern cenderung kehendak bersifat ilmiah. Unsur subyektif di dalam penghayatan karya sastra, seperti kesan dan citarasa pribadi, sebanyak mungkin hendak dihindari. Cita-citanya kini adalah mendapatkan metode penelitian, ukuran penilaian, ketepatan peristilahan serta kesimpulan pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan kepada penalaran yang bisa berlaku secara umum.
Strukturalisme dan semiotik yang dianut Umar Junus dalam bukunya Mitos dan Komunikasi adalah teori mutakhir dalam kritik sastra yang berkembang di Eropa, khususnya di Prancis. Kedua teori itu mula-mula berdasarkan penglihatan linguistik (ilmu bahasa) dengan metode analisa, yang diterapkan kemudian pada bidang antropologi, psikoanalisa, senirupa, senimusik, dan akhirnya pada kesusastraan.
Strukturalisme itu berusaha mengungkapkan hubungan-hubungan dalam yang memberikan bentuk dan tugas pada berbagai bahasa. Yang menjadi pokok perhatian adalah struktur bahasa-struktur dalam arti kombinasi dan relasi unsur-unsur formal yang menunjukkan pertautan yang logis pada sesuatu obyek.
Dilupakan Sejarah Pada lapangan yang lebih luas, para sarjana strukturalisme hendak meletakkan dasar bagi yang disebutnya semiotik, ilmu tanda-tanda. Ilmu ini tidak hanya bertalian dengan bahasa saja sebagai sistem tanda-tanda. Tetapi juga dengan sistem tanda-tanda lainnya, yang dipakai dalam antarhubung atau komunikasi manusia. Juga mitos yang menjadi sasaran perhatian antropologi, dan dipergunakan Umar Junus sebagai istilah pengertian di dalam sastra, menjadi obyek penelitian semiotik.
Umar Junus adalah seorang linguis yang berkecimpung dalam bidang penelitian sastra. Dengan mempergunakan asas penglihatan dan metode pendekatan strukturalisme dan semiotik, kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dari penyelidikan kesusastraan modern Indonesia tidak boleh dikatakan tidak menarik. Kesadarannya akan obyektivitas yang didasarkan pada segi formal tampak pada penggunaan tabel perbandingan serta perhitungan persentase gejala sastra yang ditemukan.
Bagan dan grafik yang bercorak ilmu pasti itu diakuinya sendiri telah menjadi trade mark baginya. Di samping pada cara dan bentuk pendekatan yang obyektif-matematis itu, kesimpulan-kesimpulan Umar Junus berpangkal pada asas sastra yang umum, yang boleh dikata sudah pasti baginya: sastra modern selalu membarui dirinya (hal. 9) kenyataan dalam karya sastra adalah otonom dan terlepas dari kenyataan dalam kehidupan sehari-hari (hal. 198) karya sastra pada dasarnya adalah mitos (hal. 92) perubahan sastra baru memperlihatkan kekuatannya bila dihubungkan dengan perubahan sosio-budaya (hal. 160).
Dari asas-asas yang sebenarnya berkait-kaitan itu ditemukannya nilai pada karya Armin Pane Belengu, roman yang menurut pendapatnya cenderung dilupakan sejarah. Roman itu telah memperlihatkan style individu, yang menyatukan pemikiran yang disampaikan dengan strukturnya. Kedudukannya sejajar dengan karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya pada tahap perkembangan yang kemudian, yang juga menyesuaikan struktur karangan dengan konsep pikirannya tentang masyarakat yang dianggap kacau dan penuh misteri. Karya-karya mereka tidak melanjutkan tradisi tukang cerita dengan teknik yang tidak ada hubungan fungsionalnya dengan keseluruhan dan hakikat cerita.
Dalam roman Atheis Achdiat K. Miharja dan Maut dan Perangnya Mochar Lubis misalnya, teknik -- oleh Umar Junus disebut senapas dengan istilah struktur -- hanya semata-mata hiasan. Umar Junus cenderung memuji keberhasilan karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya dalam bentuk roman dan drama. Dan karya Sutardji Calzoum Bachri dalam bentuk puisi. Yang ketiga-tiganya, tidak membawa pengertian yang jelas.
Dijelaskan juga oleh Umar Junus karya Iwan, Putu dan Sutardji adalah suatu gejala modern Indonesia, yang "lebih memperlihatkan perjuangan sia-sia dari pribadi untuk mendapatkan kemerdekaannya, karena dominasi keadaan tertentu yang penuh dengan misteri." (hal. 175). Cakap juga kesimpulan yang ditarik Umar Junus dari tanggapan kekuasaan misteri di dalam masyarakat itu.
Karena tidak mungkin mengadakan komunikasi dengan kekuatan misteri, karya-karya mereka pun tidak komunikatif. Sedang kata-kata yang mereka pergunakan tak punya arti, kehilangan arti nominalnya. Masih bertalian dengan pandangannya, bahwa kenyataan di dalam karya sastra bukan kenyataan atau realitas yang kongkrit, maka dikatakan oleh Umar Junus, bahwa cerita di dalam sastra adalah mitos. Maksudnya, "generalisasi dari suatu 'peristiwa' yang dianggap terjadi, dan dianggap akan selalu terjadi" (hal. 95).
Realisme yang melekatkan kesusastraan kepada realitas yang kongkrit sebenarnya mitos juga. Yang terjadi dalam perkembangan dari romantisme ke realisme adalah pergantian mitos lama dengan mitos baru. Dalam sejarah terdapat penolakan terhadap tradisi mitos yang mendahuluinya. Proses demikian kita lihat pada sastra modern yang selalu membarui dirinya.
Buku Umar Junus ini berharga sebagai uraian kritik sastra modern Indonesia yang berpangkal pada asas teori strukturalisme dan semiotik. Yang menarik adalah pengungkapan aspek-aspek baru dalam roman Belenggu yang ditinjaunya dari sudut pertentangan tradisi dan modern, realitas dan mimni. Demikian pula bab-bab mengenai perkembangan mutakhir sastra Indonesia yang dilihatnya dari tiadanya komunikasi dengan masyarakat, merupakan halaman yang tidak boleh diabaikan. Tapi tak ada gading yang tak retak, memang. Pandangan sastra Umar Junus, menurut selera saya, terlalu mutlak dan tegang.
Kesan saya waktu membaca buku ini, ialah bahwa saya berhadapan dengan seorang peneliti sastra yang terlalu kaku berpegang pada teori yang dianutnya. Selaku seorang penganut agama yang terlalu fanatik berpegang pada dogma-dogmanya. Hal itu terutama tampak pada bab pertama yang berjudul Teori Sastra dan Kreativitas Sastra Dalam bab itu dengan nada angkuh dan lagak, ia mengesampingkan hasil pendekatan kritikus lain sebelumnya, seperti Teeuw, Boen Oemarjati dan Hutagalung. Dilontarkan cemoohannya kepada usaha-usaha mereka yang gagal dan sia-sia, yang dikiranya menyandarkan kritik mereka pada filologi.
Ketegangan Pendapat Kemutlakan pandangan itu terbukti juga pada pernyataannya, bahwa sastra modern selalu membarui dirinya. Pernyataan itu sudah tidak bersifat deskriptif lagi berdasarkan pengamatan obyektif pada perkembangan yang ada, tetapi lebih bersifat preskriptif, seakan-akan harus demikian adanya. Karena ketegangan pandangan, Umar Junus cenderung tidak menyadari kontradiksi-kontradiksi pada pendiriannya.
Misalnya, dinyatakannya bahwa ia tidak setuju dengan pembagian sastra dalam angkatan-angkatan. Tetapi pembagian berdasarkan style puisi pada masa sebelum Chairil Anwar, pada Chairil dan pada Sutardji tidak lain dari perbedaan angkatan juga yang disangkutkan pada nama penyair (hal. 34). Demikian juga waktu dicelanya anggapan, bahwa kritik sastra kita hanya tentang sastra modern dan sastra modern kita adalah sesuatu yang dipengaruhi Barat (hal. 16, pada halaman berikutnya ia mengatakan, bahwa "kita tidak mungkin melepaskan diri dari perkembangan teori penyelidikan sastra di Barat."
Saya kira, ketegangan dan kemutlakan pandangan itu disebabkan oleh metode penelitian Umar Junus. Ia berpegang pada teori yang diperoleh orang lain, yang sebenarnya masih banyak mengandung masalah yang ia tidak bersedia menghadapinya secara kritis. Proses sebaliknya mungkin sekali akan lebih berhasil: dengan bekal asas-asas ilmu keterbukaan hati serta kepekaan rasa menelaah dan mengritik karya-karya sehingga kita sampai kepada teori sastra sendiri.
Tempo, 18 Juli 1981
*) Subagio Sastrowardojo menamatkan studi jurusan sastra timur Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dan mempedalam pengetahuannya pada Department of Comparative Literature Universitas Yale, AS. Kumpulan puisi: Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Hari dan Hara (1982). Kumpulan cerpennya: Kejantanan di Sumbing (1965). Buku esainya: Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989).
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/07/18/BK/mbm.19810718.BK51149.id.html
http://sastra-indonesia.com/2011/10/kritik-tanpa-subyektivitas/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment