Judul: Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo
Penulis: A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: xxvi + 546 halaman
ISBN: 979-25-5331-2
Peresensi: Musyafak Timur Banua *
Kompas, 13/02/2011
Ikhtiar merumuskan identitas tidak pernah lepas dari ingatan masa silam. Jati diri masyarakat dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil dialektika antara tradisi, sejarah, serta tata nilai warisan masa lalu dengan situasi dan problematika kekiniannya. Sejarah menjadi peranti mutlak dalam menggali identitas kultural kebangsaan.
Perbincangan mengenai identitas Nusantara belum rampung. Sebab keremangan sejarah masih berlarut-larut, menimbulkan pelbagai kontroversi dan tafsir yang saling berkontradiksi. Adanya politisasi penulisan sejarah juga masih menjadi momok di dalam mengurai problem identitas ke-indonesia-an mutakhir.
Di tengah ”ketidaktuntasan” sejarah itu, muncul tawaran baru mengenai asal usul peradaban Nusantara. A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR melacak asal mula masyarakat Jawa yang menjadi entitas peradaban besar di Nusantara dengan memusatkan konsentrasi pada warisan sejarah di Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah.
Indianisasi
Pelacakan awal mula manusia Jawa di dalam buku berjudul Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo ini didasarkan pada sejarah masuknya bangsa India di Nusantara. Satu hal yang menggugah, setelah sekian lama penelusuran tentang manusia Jawa luput dari pembeberan wacana kolonialisme di Indonesia. Selama ini sejarah kontemporer masih membatasi riwayat penjajahan di Indonesia terbatas pada kolonial Portugis, Belanda, dan Jepang.
Migrasi dan mutasi bangsa India pada abad-abad awal Masehi yang lantas berkembang menjadi arus Indianisasi—internalisasi budaya India—di Jawa dianggap sebagai penjajahan bangsa Arya (India) atas pribumi Jawa (hal 200). Klaim ini didasarkan pada pendapat Arnold Toynbee di dalam bukunya, Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World (1976), yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 dan ke-4 Masehi peradaban India terus melebarkan sayapnya ke luar batas-batas anak benua hingga nyaris menguasai seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Mengenai persoalan ini, Kholiq dan Sukatno sangat jelas menepis Dennys Lombard yang memandang penjajahan bangsa Arya dengan konotasi klasik dan positif, bahwa migrasi besar-besaran dari orang-orang Keling (India) ke Asia Tenggara, termasuk Jawa, hanya membawa gagasan tentang budaya, agama, perdagangan, dan tidak terjadi penaklukan militer sama sekali. Anggapan Lombard dibantah, sebaliknya semua penjajahan nyaris bersifat memeras dan menindas manusia dan mentalitas pribumi.
Buku ini melakukan tafsir radikal atas mitologi peperangan Ajisaka dengan Dewata Cengkar. Sampai saat ini Ajisaka diyakini sebagai pendatang dari India yang kemudian membuat tonggak sejarah peradaban Jawa dengan kelahiran penanggalan Saka.
Dalam buku ini, justru Ajisaka dikatakan sebagai ”penjajah” yang menyingkirkan Dewata Cengkar, seorang pemimpin masyarakat pribumi Jawa saat itu. Sebagai pihak yang kalah, Dewata Cengkar distigmatisasikan sebagai tokoh yang tidak senonoh, yaitu raksasa jahat yang tergolong jenis jin, setan, atau dedemit. Logika stigmatisasi terhadap pihak yang kalah sangat lazim terjadi di dalam mitologi India, seperti stereotip buruk yang disematkan terhadap Rahwana, yang dikalahkan Rama, sebagai ”buto” atau raksasa yang jahat (hal 228).
Realitas sejarah-politik modern pun sama, menjalankan strategi kuasa dengan memberi stigma-stigma buruk kepada pihak-pihak yang kalah. Kekalahan Dewata Cengkar membuat sebagian masyarakat pribumi menyingkir ke wilayah pedalaman dan goa-goa untuk menyelamatkan diri. Sedangkan penduduk pribumi lainnya berasimilasi dengan Ajisaka (masyarakat pendatang dari India) hingga membentuk ”manusia Jawa baru”.
Poros Nusantara
Dieng adalah kawasan dataran tinggi di bagian tengah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbagi menjadi kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Di dataran tinggi Dieng tersebar banyak artefak sejarah yang cukup memadai untuk melacak peradaban Wonosobo, bahkan Nusantara. Sampai kini di Dieng masih berdiri puluhan candi yang disebut sebagai ”Candi Kompleks Dieng”, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Puntadewa, Candi Gatotkaca, Candi Semar, Candi Dwarawati, Candi Sembadra, maupun Candi Srikandi. Juga berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Telaga Tanjung, Prasasti Gunung Wule, Prasasti Canggal, dan Prasasti Kedu.
Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan historis paling awal yang ditemukan di Jawa. ”Peradaban Dieng” telah mengalami sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk ”mata air” peradaban Nusantara.
Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi Dieng dianggap sebagai ”poros peradaban” Jawa. ”Peradaban Dieng” diduga melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan, yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya.
KH Abdurrahman Wahid (almarhum), di dalam pengantarnya berpendapat, pada abad ke-8 orang-orang Sriwijaya (Wangsa Syailendra) mendarat di Pelabuhan Lama Pekalongan, kemudian mendaki Gunung Dieng. Diduga, di daerah yang kini bernama Kabupaten Wonosobo itu mereka menemukan Kerajaan Kalingga. Mereka tak mengganggu orang-orang Kalingga, tetapi terus melanjutkan perjalanan ke arah tenggara hingga sampai di Muntilan, Magelang.
Di daerah inilah mereka mendirikan Candi Borobudur. Dan, sebagian dari mereka yang melanjutkan perjalanan ke selatan (Yogyakarta) mendirikan Kerajaan Kalingga Buddha hingga di abad selanjutnya membangun Candi Prambanan yang menyatukan agama Hindu dan Buddha (hal ix-x). Peta sejarah tersebut, ditafsirkan dalam buku ini, menunjukkan bahwa ”Peradaban Dieng” jalin-berjalin dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Demak yang menjadi semaian besar peradaban Jawa. Konklusinya, Dieng menjadi poros yang peranannya penting dalam terbentuknya peradaban Nusantara.
Meski semua bukti yang dibeberkan hendak membuktikan validitas sejarah di dalamnya, tetapi di sisi lain buku ini justru ”meragukan” kesahihannya sendiri. Sebagian sumber sejarah yang dinukil berlatar pada mitologi yang kepenuhan kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Misalnya mitologi Ajisaka yang masih diragukan fakta sejarahnya secara empirik.
Kiranya khazanah ”Peradaban Dieng” perlu dilacak makin detail dan dalam. Jika kebenaran-kebenaran di dalamnya tidak bisa dibuktikan secara komprehensif, buku ini akan dipandang hanya upaya elaborasi sejarah secara politis untuk mengatrol citra suatu komunitas tertentu.
Meski demikian, paling tidak buku ini merupakan ikhtiar untuk menjangkau hal-hal yang luput dari catatan-ingatan publik. Juga menyadarkan kita akan perlunya menggali identitas lokalitas, bahkan identitas kebangsaan, yang sampai kini belum tuntas.
*) MUSYAFAK TIMUR BANUA, Pegiat Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang.
https://nasional.kompas.com/read/2011/02/13/0420388/twitter.com?page=all.
Penulis: A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: xxvi + 546 halaman
ISBN: 979-25-5331-2
Peresensi: Musyafak Timur Banua *
Kompas, 13/02/2011
Ikhtiar merumuskan identitas tidak pernah lepas dari ingatan masa silam. Jati diri masyarakat dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil dialektika antara tradisi, sejarah, serta tata nilai warisan masa lalu dengan situasi dan problematika kekiniannya. Sejarah menjadi peranti mutlak dalam menggali identitas kultural kebangsaan.
Perbincangan mengenai identitas Nusantara belum rampung. Sebab keremangan sejarah masih berlarut-larut, menimbulkan pelbagai kontroversi dan tafsir yang saling berkontradiksi. Adanya politisasi penulisan sejarah juga masih menjadi momok di dalam mengurai problem identitas ke-indonesia-an mutakhir.
Di tengah ”ketidaktuntasan” sejarah itu, muncul tawaran baru mengenai asal usul peradaban Nusantara. A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR melacak asal mula masyarakat Jawa yang menjadi entitas peradaban besar di Nusantara dengan memusatkan konsentrasi pada warisan sejarah di Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah.
Indianisasi
Pelacakan awal mula manusia Jawa di dalam buku berjudul Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo ini didasarkan pada sejarah masuknya bangsa India di Nusantara. Satu hal yang menggugah, setelah sekian lama penelusuran tentang manusia Jawa luput dari pembeberan wacana kolonialisme di Indonesia. Selama ini sejarah kontemporer masih membatasi riwayat penjajahan di Indonesia terbatas pada kolonial Portugis, Belanda, dan Jepang.
Migrasi dan mutasi bangsa India pada abad-abad awal Masehi yang lantas berkembang menjadi arus Indianisasi—internalisasi budaya India—di Jawa dianggap sebagai penjajahan bangsa Arya (India) atas pribumi Jawa (hal 200). Klaim ini didasarkan pada pendapat Arnold Toynbee di dalam bukunya, Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World (1976), yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 dan ke-4 Masehi peradaban India terus melebarkan sayapnya ke luar batas-batas anak benua hingga nyaris menguasai seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Mengenai persoalan ini, Kholiq dan Sukatno sangat jelas menepis Dennys Lombard yang memandang penjajahan bangsa Arya dengan konotasi klasik dan positif, bahwa migrasi besar-besaran dari orang-orang Keling (India) ke Asia Tenggara, termasuk Jawa, hanya membawa gagasan tentang budaya, agama, perdagangan, dan tidak terjadi penaklukan militer sama sekali. Anggapan Lombard dibantah, sebaliknya semua penjajahan nyaris bersifat memeras dan menindas manusia dan mentalitas pribumi.
Buku ini melakukan tafsir radikal atas mitologi peperangan Ajisaka dengan Dewata Cengkar. Sampai saat ini Ajisaka diyakini sebagai pendatang dari India yang kemudian membuat tonggak sejarah peradaban Jawa dengan kelahiran penanggalan Saka.
Dalam buku ini, justru Ajisaka dikatakan sebagai ”penjajah” yang menyingkirkan Dewata Cengkar, seorang pemimpin masyarakat pribumi Jawa saat itu. Sebagai pihak yang kalah, Dewata Cengkar distigmatisasikan sebagai tokoh yang tidak senonoh, yaitu raksasa jahat yang tergolong jenis jin, setan, atau dedemit. Logika stigmatisasi terhadap pihak yang kalah sangat lazim terjadi di dalam mitologi India, seperti stereotip buruk yang disematkan terhadap Rahwana, yang dikalahkan Rama, sebagai ”buto” atau raksasa yang jahat (hal 228).
Realitas sejarah-politik modern pun sama, menjalankan strategi kuasa dengan memberi stigma-stigma buruk kepada pihak-pihak yang kalah. Kekalahan Dewata Cengkar membuat sebagian masyarakat pribumi menyingkir ke wilayah pedalaman dan goa-goa untuk menyelamatkan diri. Sedangkan penduduk pribumi lainnya berasimilasi dengan Ajisaka (masyarakat pendatang dari India) hingga membentuk ”manusia Jawa baru”.
Poros Nusantara
Dieng adalah kawasan dataran tinggi di bagian tengah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbagi menjadi kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Di dataran tinggi Dieng tersebar banyak artefak sejarah yang cukup memadai untuk melacak peradaban Wonosobo, bahkan Nusantara. Sampai kini di Dieng masih berdiri puluhan candi yang disebut sebagai ”Candi Kompleks Dieng”, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Puntadewa, Candi Gatotkaca, Candi Semar, Candi Dwarawati, Candi Sembadra, maupun Candi Srikandi. Juga berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Telaga Tanjung, Prasasti Gunung Wule, Prasasti Canggal, dan Prasasti Kedu.
Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan historis paling awal yang ditemukan di Jawa. ”Peradaban Dieng” telah mengalami sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk ”mata air” peradaban Nusantara.
Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi Dieng dianggap sebagai ”poros peradaban” Jawa. ”Peradaban Dieng” diduga melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan, yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya.
KH Abdurrahman Wahid (almarhum), di dalam pengantarnya berpendapat, pada abad ke-8 orang-orang Sriwijaya (Wangsa Syailendra) mendarat di Pelabuhan Lama Pekalongan, kemudian mendaki Gunung Dieng. Diduga, di daerah yang kini bernama Kabupaten Wonosobo itu mereka menemukan Kerajaan Kalingga. Mereka tak mengganggu orang-orang Kalingga, tetapi terus melanjutkan perjalanan ke arah tenggara hingga sampai di Muntilan, Magelang.
Di daerah inilah mereka mendirikan Candi Borobudur. Dan, sebagian dari mereka yang melanjutkan perjalanan ke selatan (Yogyakarta) mendirikan Kerajaan Kalingga Buddha hingga di abad selanjutnya membangun Candi Prambanan yang menyatukan agama Hindu dan Buddha (hal ix-x). Peta sejarah tersebut, ditafsirkan dalam buku ini, menunjukkan bahwa ”Peradaban Dieng” jalin-berjalin dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Demak yang menjadi semaian besar peradaban Jawa. Konklusinya, Dieng menjadi poros yang peranannya penting dalam terbentuknya peradaban Nusantara.
Meski semua bukti yang dibeberkan hendak membuktikan validitas sejarah di dalamnya, tetapi di sisi lain buku ini justru ”meragukan” kesahihannya sendiri. Sebagian sumber sejarah yang dinukil berlatar pada mitologi yang kepenuhan kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Misalnya mitologi Ajisaka yang masih diragukan fakta sejarahnya secara empirik.
Kiranya khazanah ”Peradaban Dieng” perlu dilacak makin detail dan dalam. Jika kebenaran-kebenaran di dalamnya tidak bisa dibuktikan secara komprehensif, buku ini akan dipandang hanya upaya elaborasi sejarah secara politis untuk mengatrol citra suatu komunitas tertentu.
Meski demikian, paling tidak buku ini merupakan ikhtiar untuk menjangkau hal-hal yang luput dari catatan-ingatan publik. Juga menyadarkan kita akan perlunya menggali identitas lokalitas, bahkan identitas kebangsaan, yang sampai kini belum tuntas.
*) MUSYAFAK TIMUR BANUA, Pegiat Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang.
https://nasional.kompas.com/read/2011/02/13/0420388/twitter.com?page=all.
No comments:
Post a Comment