Monday, July 27, 2020

Dieng dalam Tafsir Poros Nusantara

Judul: Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo
Penulis: A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: xxvi + 546 halaman
ISBN: 979-25-5331-2
Peresensi: Musyafak Timur Banua *
Kompas, 13/02/2011

Ikhtiar merumuskan identitas tidak pernah lepas dari ingatan masa silam. Jati diri masyarakat dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil dialektika antara tradisi, sejarah, serta tata nilai warisan masa lalu dengan situasi dan problematika kekiniannya. Sejarah menjadi peranti mutlak dalam menggali identitas kultural kebangsaan.

Perbincangan mengenai identitas Nusantara belum rampung. Sebab keremangan sejarah masih berlarut-larut, menimbulkan pelbagai kontroversi dan tafsir yang saling berkontradiksi. Adanya politisasi penulisan sejarah juga masih menjadi momok di dalam mengurai problem identitas ke-indonesia-an mutakhir.

Di tengah ”ketidaktuntasan” sejarah itu, muncul tawaran baru mengenai asal usul peradaban Nusantara. A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR melacak asal mula masyarakat Jawa yang menjadi entitas peradaban besar di Nusantara dengan memusatkan konsentrasi pada warisan sejarah di Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah.

Indianisasi

Pelacakan awal mula manusia Jawa di dalam buku berjudul Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo ini didasarkan pada sejarah masuknya bangsa India di Nusantara. Satu hal yang menggugah, setelah sekian lama penelusuran tentang manusia Jawa luput dari pembeberan wacana kolonialisme di Indonesia. Selama ini sejarah kontemporer masih membatasi riwayat penjajahan di Indonesia terbatas pada kolonial Portugis, Belanda, dan Jepang.

Migrasi dan mutasi bangsa India pada abad-abad awal Masehi yang lantas berkembang menjadi arus Indianisasi—internalisasi budaya India—di Jawa dianggap sebagai penjajahan bangsa Arya (India) atas pribumi Jawa (hal 200). Klaim ini didasarkan pada pendapat Arnold Toynbee di dalam bukunya, Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World (1976), yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 dan ke-4 Masehi peradaban India terus melebarkan sayapnya ke luar batas-batas anak benua hingga nyaris menguasai seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Mengenai persoalan ini, Kholiq dan Sukatno sangat jelas menepis Dennys Lombard yang memandang penjajahan bangsa Arya dengan konotasi klasik dan positif, bahwa migrasi besar-besaran dari orang-orang Keling (India) ke Asia Tenggara, termasuk Jawa, hanya membawa gagasan tentang budaya, agama, perdagangan, dan tidak terjadi penaklukan militer sama sekali. Anggapan Lombard dibantah, sebaliknya semua penjajahan nyaris bersifat memeras dan menindas manusia dan mentalitas pribumi.

Buku ini melakukan tafsir radikal atas mitologi peperangan Ajisaka dengan Dewata Cengkar. Sampai saat ini Ajisaka diyakini sebagai pendatang dari India yang kemudian membuat tonggak sejarah peradaban Jawa dengan kelahiran penanggalan Saka.

Dalam buku ini, justru Ajisaka dikatakan sebagai ”penjajah” yang menyingkirkan Dewata Cengkar, seorang pemimpin masyarakat pribumi Jawa saat itu. Sebagai pihak yang kalah, Dewata Cengkar distigmatisasikan sebagai tokoh yang tidak senonoh, yaitu raksasa jahat yang tergolong jenis jin, setan, atau dedemit. Logika stigmatisasi terhadap pihak yang kalah sangat lazim terjadi di dalam mitologi India, seperti stereotip buruk yang disematkan terhadap Rahwana, yang dikalahkan Rama, sebagai ”buto” atau raksasa yang jahat (hal 228).

Realitas sejarah-politik modern pun sama, menjalankan strategi kuasa dengan memberi stigma-stigma buruk kepada pihak-pihak yang kalah. Kekalahan Dewata Cengkar membuat sebagian masyarakat pribumi menyingkir ke wilayah pedalaman dan goa-goa untuk menyelamatkan diri. Sedangkan penduduk pribumi lainnya berasimilasi dengan Ajisaka (masyarakat pendatang dari India) hingga membentuk ”manusia Jawa baru”.

Poros Nusantara

Dieng adalah kawasan dataran tinggi di bagian tengah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbagi menjadi kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Di dataran tinggi Dieng tersebar banyak artefak sejarah yang cukup memadai untuk melacak peradaban Wonosobo, bahkan Nusantara. Sampai kini di Dieng masih berdiri puluhan candi yang disebut sebagai ”Candi Kompleks Dieng”, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Puntadewa, Candi Gatotkaca, Candi Semar, Candi Dwarawati, Candi Sembadra, maupun Candi Srikandi. Juga berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Telaga Tanjung, Prasasti Gunung Wule, Prasasti Canggal, dan Prasasti Kedu.

Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan historis paling awal yang ditemukan di Jawa. ”Peradaban Dieng” telah mengalami sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk ”mata air” peradaban Nusantara.

Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi Dieng dianggap sebagai ”poros peradaban” Jawa. ”Peradaban Dieng” diduga melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan, yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya.

KH Abdurrahman Wahid (almarhum), di dalam pengantarnya berpendapat, pada abad ke-8 orang-orang Sriwijaya (Wangsa Syailendra) mendarat di Pelabuhan Lama Pekalongan, kemudian mendaki Gunung Dieng. Diduga, di daerah yang kini bernama Kabupaten Wonosobo itu mereka menemukan Kerajaan Kalingga. Mereka tak mengganggu orang-orang Kalingga, tetapi terus melanjutkan perjalanan ke arah tenggara hingga sampai di Muntilan, Magelang.

Di daerah inilah mereka mendirikan Candi Borobudur. Dan, sebagian dari mereka yang melanjutkan perjalanan ke selatan (Yogyakarta) mendirikan Kerajaan Kalingga Buddha hingga di abad selanjutnya membangun Candi Prambanan yang menyatukan agama Hindu dan Buddha (hal ix-x). Peta sejarah tersebut, ditafsirkan dalam buku ini, menunjukkan bahwa ”Peradaban Dieng” jalin-berjalin dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Demak yang menjadi semaian besar peradaban Jawa. Konklusinya, Dieng menjadi poros yang peranannya penting dalam terbentuknya peradaban Nusantara.

Meski semua bukti yang dibeberkan hendak membuktikan validitas sejarah di dalamnya, tetapi di sisi lain buku ini justru ”meragukan” kesahihannya sendiri. Sebagian sumber sejarah yang dinukil berlatar pada mitologi yang kepenuhan kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Misalnya mitologi Ajisaka yang masih diragukan fakta sejarahnya secara empirik.

Kiranya khazanah ”Peradaban Dieng” perlu dilacak makin detail dan dalam. Jika kebenaran-kebenaran di dalamnya tidak bisa dibuktikan secara komprehensif, buku ini akan dipandang hanya upaya elaborasi sejarah secara politis untuk mengatrol citra suatu komunitas tertentu.

Meski demikian, paling tidak buku ini merupakan ikhtiar untuk menjangkau hal-hal yang luput dari catatan-ingatan publik. Juga menyadarkan kita akan perlunya menggali identitas lokalitas, bahkan identitas kebangsaan, yang sampai kini belum tuntas.

*) MUSYAFAK TIMUR BANUA, Pegiat Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang.
https://nasional.kompas.com/read/2011/02/13/0420388/twitter.com?page=all.

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar