Sahdan pada suatu senja, Penyair Matjalut meletakkan tubuh di atas kasur lembabnya. Tertidur. Tanpa mimpi, tapi mendengkur. Lalu bangun. Duduk tegun. Android tergeletak. Ada kertas berserak. Kopi, bukan arak. Sendiri. Dan rokok yang tinggal sejari. Sedang di luar rumah, udara kedinginan sekali. Orang-orang dengan tubuh yang terselimuti. Bayangan kereta malam hari. Dan perempuan yang menari. Menari-nari di tengah pandemi.
Dari balik jendela, dalam dada Penyair Matjalut, perempuan penari menatap keluar sana. Ia terkesima. Terpukau pada hujan. Orang-orang pergi. Kepergian demi kepergian dan kehilangan demi kehilangan yang tiap detik terjadi. Segalanya tak terduga. Penyair Matjalut selalu takut terhadap ketakterdugaan segala. Ia senantiasa berdoa dan memohon perlindungan kepada Tuhannya, agar diselamatkan dari segala keburukan sesuatu yang tak pernah terduga dalam kehidupan semesta. Ketakterdugaan yang di luar daya dan upaya manusia. Hingga suatu malam, Penyair Matjalut merasa kagum dengan para pejalan. Mereka memilih hidup dengan kesederhanaan, juga tetap sederhana dalam kemegahan. Mereka mencoba tak merasakan kemegahan di dalam kemegahan-kemegahan. Sehingga selalu berada dalam kesadaran pada keterbatasan-keterbatasan dan batasan-batasan.
Perempuan penari dalam ingatan Penyair Matjalut, menari di tengah hutan, di bawah hujan. Rambutnya yang bergelombang dibasahkan. Kedua matanya yang bulat berkilat menembus mendung dan kabut. Daun-daun kering sisa kemarau, berserak, dingin dan waktu berpagut. Aroma daunan bercampur aroma tubuh perempuan penari yang ranum memasuki hidung Penyair Matjalut. Penyair Matjalut diam-diam mengintip perempuan penari dari balik semak-semak berduri. Kedua mata Penyair Matjalut tak berkedip. Hujan deras dari langit mengguyur tubuh perempuan penari. Tapi peristiwa yang kau alami segera berlalu. Meski kenangannya tak bisa lenyap dari dalam ingatanmu.
Kau selalu mengenang bibirnya yang basah oleh air hujan, ketika ia menari dan melupakan segala-galanya. Mata-mata negara menyelinap di balik malam, jaket hitam, dan tatapan-tatapan yang kelam. Lorong-lorong sempit pada kotamu, menyimpan cerita cinta yang manis gerimis. Tapi negara selalu memerlukan perempuan penari, karena ada tambang emas di dalam dadanya, jutaan hektar hutan dan gunung gemunung, lautan, sungai dan danau di balik busananya yang memesona. Mata-mata negara tak berhenti mengamatinya secara seksama. Dan segala informasi perihal perempuan penari itu telah menjadi rahasia negara yang dijaga oleh undang-undang dan senjata. Di tengah pandemi, perempuan berpipi air mata itu terus menari. Hujan. Dan setiap pertanyaan kandas di dalam kelupaan. Di bawah sepatu, segala keluh tergeletak ngilu. Di atas meja yang sedikit berdebu, Penyair Matjalut menuliskan kenangannya menjadi sebuah puisi kelu. Puisi yang tak pernah diikutkan lomba, festival, dan tak pernah dimasukkan dalam buku kumpulan puisi para penyair hebat yang mengemuka dengan iklan dan kebanggaan.
Penyair Matjalut menulis.
---bukankah malam selalu membawa sebuntal tanda cinta padamu, wahai kekasihku?
Penyair Matjalut terdiam. Jarinya berhenti. Agaknya kedua matanya tengah menangkap diksi yang ganjil---dan begitu gesit, berkelebat pada daun pintu rumahnya yang lapuk dan darurat. Ada keindahan. Keindahan selalu lahir dari rahim kesengsaraan. Dan segala kelucuan senantiasa terbit dari penderitaan panjang yang tak terpecahkan. Tertawa. Entah dari mana Penyair Matjalut menemukan ungkapan itu. Meringis. Dan Penyair Matjalut kembali menulis.
---kereta menembus kegelapan, terus berdecak memasuki dadamu, kekasihku. Tapi di mana aku menitipkan duka yang rasanya tak kuasa kutanggungkan lagi, kekasih? Apakah segala derita hati ini dapat kau rasakan jua? Atau kau tertawakan saja? Di manakah kutemukan lagi senyummu yang selalu menawan keperihan hidupku? Seperti tahanan, aku ketakutan di dalam penantian-penantianku yang kehilangan. Kekasihku, inilah puisiku. Puisi sampah yang ingin didaur ulang menjadi air mata.. .
Sampai di situ. Kembali Penyair Matjalut tertawa. Agaknya ada sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia mengingat orang bercambang yang kata orang Penyair Sufi, menulis puisi bersama anggur dan kitab suci. Sejumlah orang memuja-muja puisi si Penyair Sufi setinggi langit. Pernah suatu kali, Penyair Matjalut membaca puisi Penyair Sufi itu. Begini bunyi puisi si Penyair Sufi:
Kelon-kelon
Kelon-kelonan
Dikeloni Tuhan
Tatitu-titatu tatatatizutituz
Ropiloadimisiku sasikukasu
Sususu sususu sususu
Sasasa sasasa sasasa
Titikmu tetekmu titikku titik!
Mau apa?
Puh!
Penyair Matjalut tertawa setelah membaca puisi Penyair Sufi itu.
“Ini puisi sufi? Hahaha!” Penyair Matjalut tertawa sendiri. Ia bukan penyair hebat, dan tidak pernah punya buku puisi, juga bukan kritikus sastra. Penyair Matjalut tak banyak menyimpan puisinya. Lantaran setiap kali selesai menulis puisi di layar android, Penyair Matjalut menghapusnya. Setiap kali selesai menulis puisi pada buku tulis, Penyair Matjalut merobeknya, melumat, dan membuangnya ke tempat sampah. Besok pagi sampah-sampah kertas dan plastik itu dibakar. Dunia terlalu sesak dengan sampah, pikir Penyair Matjalut. Sampah-sampah kehidupan yang gagal didaur ulang. Karena Penyair Matjalut bukan penyair hebat dan bukan kritikus sastra yang terkenal, penilaiannya terhadap puisi tak mungkin dipercaya orang. Dan tak bisa dipertanggungjawabkan.
Suatu hari, Penyair Matjalut bertemu dengan Penyair Sufi di sebuah pertemuan festival para penyair yang diselenggarakan negara. Penyair Matjalut tentu saja tidak ikut festival, karena ia tak punya puisi. Puisi-puisi Penyair Matjalut selalu dihapusnya, dirobek, dibakar. Juga bukan puisi hebat. “Puisi sejati hanya ingin selalu kutuliskan di pedalaman bola matamu, kekasihku,” ujar Penyair Matjalut pada dirinya sendiri. Dan di arena festival itu, Penyair Matjalut berjualan buku-buku bacaan. Ia memanfaatkan kerumunan orang yang tak mematuhi protokol kesehatan itu untuk menjual buku-buku, uangnya bisa buat beli rokok. Di situ, Penyair Matjalut berpapasan dengan Penyair Sufi. Penyair Sufi itu tubuhnya kurus, cambangnya lebat, potongannya tua dan peyot. Masak orang kayak gini Penyair Sufi? Batin Penyair Matjalut.
“Selamat siang, Penyair Sufi,” sapa Penyair Matjalut.
“Maaf. Siapa Anda?” jawab Penyair Sufi menyorotkan kedua matanya yang sudah tua bangka ke wajah Penyair Matjalut.
“Kenalkan. Nama saya Penyair Matjalut, Penyair Sufi.”
“Nama saya Penyair Sufi. Maaf saya masih ada pertemuan dengan panitia dan penyair-penyair hebat.”
“Seperti ini Penyair Sufi? Mana sufinya, Penyair Sufi?”
“Maaf. Saya tidak berbicara dengan penyair tidak jelas!”
Penyair Matjalut tertawa. Penyair Sufi berlalu ke dalam ruangan. Di situ sudah berkumpul sejumlah orang, mereka mempelajari puisi-puisi sufi Penyair Sufi. Sedangkan Penyair Matjalut berkemas meninggalkan arena festival penyair hebat. Di situ, buku-buku tidak laku. Yang laku hanya buku-buku mereka sendiri, pikir Penyair Matjalut. Yang dipuja-puja hanya puisi-puisi mereka sendiri. Penyair Matjalut menyalakan sepeda motornya. Membawa buku-bukunya. Dasar penyair gagal.
“Bedebah!” pekik Penyair Matjalut melangkah keluar sana.
Lampu-lampu padam sepanjang tepi jalan ke kotamu. Sepeda motormu melaju pelan dengan lampu yang tidak terang. Sampai di rumah. Malam. Buku-buku kau turunkan dari sepeda. Bayangan perempuan penari menari-nari dalam kenanganmu. Kau menutup pintu rumahmu. Kopi dingin. Sebatang rokok. Dan kesendirian yang semakin hari semakin mengasikkan. Penyair Matjalut menyandar di kuri. Diputarnya lagu-lagu Ismail Marzuki. Tak terasa, Penyair Matjalut tertidur. Dan kini, kau bermimpi. Bermimpi kereta berwarna hitam. Lampu-lampu kereta menyorot ke dalam dirinya sendiri. Perempuan penari menari-nari di atap kereta. Malam. Dan perjalanan yang menembus kegelapan. Ia terbangun dari mimpinya. Malam. Dan lampu-lampu menyala redup. Negara tengah menyusun rencana di malam hari, ketika banyak orang sedang tertidur dalam kelengahan dalam kelalaian yang panjang dan melenakan. Dan besok, akan diumumkan peringatan-peringatan, larangan-larangan, dan ancaman-ancaman. “Dunia yang melelahkan,” desah Penyair Matjalut.
Dan malam pun terus dilarutkan dalam kedinginan.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/08/penyair-matjalut-dan-lampu-lampu-jalan-yang-dipadamkan/
No comments:
Post a Comment