Tuesday, August 3, 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (2)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
Lorong panjang yang mereka lewati mirip lorong tikus; sempit, pengap, kotor, berkelok-kelok. Tembok tebal yang membatasi sisi kiri dan kanan lorong --- sebagian semennya mengelupas, penuh corat-coret pilox menulis: nama orang, nama hewan, dan gambar-gambar mesum, jorok. Darah segar terpercik di tembok membentuk semacam lukisan abstrak. Tulang, entah tulang apa, seperti tulang manusia dan pecahan botol berserakan di lorong yang jika terinjak kaki akan menimbulkan suara gemeretak mirip tumpukan kayu terbakar. Lorong apakah ini? Lorong kematian? Ihh, Hasan ngeri jika ingat satu kata itu. Hasan belum ingin mati. Hasan masih ingin hidup.
 
Entah sudah berapa jauh Hasan dan Salman menggerakkan kedua kakinya yang kian lama kian terasa berat. Sesekali Hasan dan Salman terengah kehabisan nafas. Tapi tiga orang bertopeng di belakang terus memaksa berjalan. Sesekali salah seorang di antara mereka menyodok punggung Hasan dan Salman dengan ujung senapan ketika Hasan dan Salman kedapatan berjalan terlalu pelan. Harus cepat. Harus sigap. Harus kuat. Tapi bisakah berjalan cepat dengan kondisi tubuh kesakitan? Dengan pikiran kalut, takut, dan terancam?
 
Hasan dan Salman tidak tahu dirinya akan digiring ke mana. Cahaya lampu di lorong panjang itu terlampau remang. Selain itu mereka tak boleh menoleh atau bercakap-cakap. Malam menjadi terasa seram mencekam.
 
Sambil memegangi kepalanya yang masih perih berdenyut-denyut, Hasan tiba-tiba teringat Fatma, gadis cantik yang tiga bulan lagi rencananya akan ia sunting. Ah, sedang apakah dia? Mungkinkah masih tidur? Atau justru tak bisa tidur karena ingat diriku? Hasan membatin seraya merutuki nasibnya yang hari ini teramat sial. Hasan menyesal kenapa tadi pagi membatalkan kunjungannya ke rumah Fatma, sebaliknya justru ikut ajakan Salman menghadiri rapat di rumah Teuku Malik.
 
Hasan tidak tahu rapat apa, sebab Salman tidak menjelaskan secara rinci. Salman hanya bilang bahwa rapat itu penting dihadiri  anak-anak muda seperti dirinya yang kelak akan meneruskan perjuangan para pahlawan yang telah mati di medan perang. Hasan bingung, perang apa yang dimaksud Salman? Pahlawan siapa yang dimaksud Salman? Tapi, kebingungan itu hanya ia pendam dalam hati. Ia tak mau terlihat bodoh di depan Salman.
 
"Duduk!" terdengar salah seorang bertopeng bersuara. Berat. Kasar.
Hasan kaget. Lamunannya buyar. Hasan kemudian menggosok-gosok mata untuk memperjelas penglihatannya. Tapi, memang, sejak berada di ruangan pengap ukuran tiga kali tiga tadi ia sudah merasakan pandangannya tak pernah bisa terang. Hasan terus menggosok-gosok matanya berharap pandangannya bisa lebih jelas.
 
Ya. Kini Hasan bisa melihat lebih jelas: sebuah ruangan cukup luas dan bersih terhampar disekelilingnya. Dua buah meja panjang dan beberapa kursi pendek berada dalam ruangan itu. Sebuah kalender tergantung di dinding, sebagian angkanya disilang dengan spidol merah. Entah apa maksudnya. Beberapa gelas kosong, teremos, jarum suntik, pisau, gunting, koran dan sebungkus rokok tergeletak di atas meja. Hasan tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang bertopeng itu pada dirinya. Dipukul? Ditendang? Diinjak-injak? Dihantam? Ataukah dibunuh?
 
Hasan malas menebak. Yang jelas selama ini Hasan tak pernah tahu apa maksud pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang-orang bertopeng itu. Semua pertanyaan terdengar begitu asing di telinganya. Makar? Inskontitusional? Kiri? Marxis? Apa pula semua itu? Karenanya Hasan sering jujur, menjawab tidak tahu setiap apapun yang memang tidak ia ketahui. Tapi ternyata dalam kondisi seperti ini kejujuran saja tidak cukup. Bahkan kadang justru berakibat fatal. Kepalanya sering menjadi  bulan-bulanan orang-orang bertopeng yang mengintrograsinya. Ditempeleng, ditampar atau sekadar disorongkan ke kiri ke kanan persis bola pingpong.
 
Sekilas Hasan melirik Salman. Lengan Salman masih merembes cairan merah tergores pecahan kaca. Kepala Salman terpekur menatap lantai. Apa yang sedang dipikirkan Salman? Diam-diam Hasan heran, Salman tampak jauh lebih tenang dan santai. Ah, kenapa Salman bisa begitu tenang? Tidak gelisah atau takut? Berbagai macam pertanyaan tiba-tiba memenuhi kepala Hasan.
 
Seseorang masuk ke dalam ruangan membawa bungkusan plastik hitam. Langkahnya tegap, tapi penuh kehati-hatian. Meletakkan bungkusan plastik itu di atas meja lalu berbisik-bisik sebentar dengan beberapa orang di situ.  Hasan tidak tahu apa yang dibisikkan orang itu. Berulangkali Hasan berusaha melirik wajah orang itu. Tapi Hasan kecewa, sebab wajah orang itu juga ditutup kain hitam, seperti Ninja. Hanya terlihat bola matanya yang hitam mencorong seperti mau melesat keluar.
 
Kembali Hasan menunduk, mengikuti apa yang dilakukan Salman menatap lantai kusam di bawah. Tapi mendadak, di situ, lagi-lagi Hasan melihat bayangan Fatma, kekasihnya, tersenyum menari-nari. Hasan tertegun menatap tak berkedip. Dalam hati Hasan merasa berdosa sekali. Hasan tahu besok atau lusa Fatma  sudah harus kembali ke kota untuk bekerja. Kapan lagi aku bisa ketemu dengan Fatma? Kapan? Jika sampai pagi nanti aku masih ditahan orang-orang bertopeng itu, sudah pasti aku tak akan bertemu dengan Fatma. Mungkin harus menunggu satu atau dua bulan. Ah, betapa lamanya. Batin Hasan penuh kecewa.
 
Hasan bertekad jika nanti dibebaskan akan segera menyusul Fatma ke kota. Ia akan minta maaf pada Fatma karena tidak bisa datang ke rumahnya. Ia yakin Fatma pasti mau memafkan dirinya. Tapi, ah, kapan aku dibebaskan? Kapan orang-orang bertopeng itu mau membiarkan aku pergi dari sini? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika melempar ingatan Hasan pada Salman yang duduk tenang disampingnya. Jika saja ia tak mengikuti ajakan Salman tentu kejadiannya tidak seperti ini.
 
Memang, tadi berkali-kali Salman sudah minta maaf pada dirinya. Dan ia memaafkan Salman. Tapi itu sebenarnya belum cukup. Yang ia inginkan saat ini adalah keluar dari tempat terkutuk ini. Lalu pulang. Ia sudah tak sabar ingin segera ketemu Ibu di rumah yang pasti gelisah, bingung mencarinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perempuan tua yang sudah sering sakit-sakitan itu harus berjalan jauh mendatangi rumah tetangga atau saudara untuk menanyakan keberadaannya. Pasti mereka juga tidak ada yang tahu. Tempat itu terlalu sepi. Ia yakin tak ada seorangpun yang melihat kejadian ketika empat orang bertopeng menculik dirinya.
 
(bersambung)
 
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-2/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar