Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=662
Pujangga itu
mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah ‘telempap’-nya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
Ia telanjang bagaikan batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
Yang melihat lelangkahnya di tengah kota sekadar wujud,
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin serupa ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk-pikuk keramaian.
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar pada gundukan batu besar,
kepala berbaring itu, mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang beri restu kerelaan.
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh…
gemerincing alunan jiwa tak henti lafalkan mantra.
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmat.
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
Dan tiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
Pandangannya menembus jauh tak hilang kendali,
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet seserat-serat pohon mewangi kehidupan.
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna, fitroh teremban hikayat-hayat.
Ia terima, mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi-bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nyanyian nikmat
di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
perlihatkan pribadi, kala kita mencipta kasih sayang.
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu,
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah dari bebauan asap dupa pujaan.
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelami lelapisan persoalan.
Ia terbiasa mengupas jiwa-jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang,
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
Yang melihatnya dimaknai menerus, ia tegur pelahan.
Oh… tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan
: yang tampak ialah penipuan-penipuan.
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tak menyilaukan mata memberi kelegaan.
Yang diidamkan ikhlas menerima manis-getir dilalui,
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
Butiran garam diterjang ombak bathin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tinggi cakrawala tabah berlatih kesungguhan.
Huruf-huruf terdiam mengeluarkan daya
sedari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan,
perbendaharaan tersembunyi di dalam kalbu insan.
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat cemerlangkan akal,
menilik setiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menanggung makna.
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
Mungkin alunan-alunan ini dikau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh, namun tak didasari niatan.
Malam hadir, meliuk bertarian unggun penciptaan;
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen,
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayati
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
Bathin petapa mengombak di lautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwamu
kesaksian hayat, terbuhul wewarna pelita rahmat.
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
‘Lamur’ mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian,
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan terdalam
nafas-nafas ingatkan masa lalu, menggali ikhwal terlewat.
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertanya
akan gaib kehidupan.
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan,
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah pendakian penciptaan.
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajat kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata bathin
mengenyam gending pada lereng pesawahan Dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah-kalimah ini,
menderas sealunan ditabuh waktu-waktu lalu.
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampangan.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
Jiwaku ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekad melumurkan wewaktu di masa-masa intim
teruskan limpahan berkah tak habis ditelan lelah.
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-laut hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulirnya garam menuju ceruk perenungan.
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan sesyairan sampur para penari waktu.
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakala kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon Jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon Waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu tuah berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
yang memawarkan rindumu
dalam pelukan cakrawala.
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik lewati nyanyian pesisir.
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi yang dihendaki pada gagasan gemilang.
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar berkembang di pedalaman.
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan,
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdedaun Salam gugur.
Kembang kemuncul ketabahan,
kiranya bebuah ranum mewangi
semua tidak kuasa tidak tengadah,
memetiknya bagi lambung kembara.
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
Ditata laiknya bebatuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
Dan keterbatasan membetulkan lelangkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang bathin teridam hayat
memakmurkan sesama.
Manakala demam berkurang persaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra,
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.
17 Februari 2008, Lamongan, Jawa. http://sastra-indonesia.com/2008/11/kesunyian-sang-pujangga/
No comments:
Post a Comment