Saturday, August 28, 2021

KESUNYIAN SANG PUJANGGA

Kepada almarhum Suryanto Sastroatmodjo
 
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=662
 
Pujangga itu
mendiami lembah pekabutan kemanusiaan
gema suaranya memantul
ke dinding-dinding karang peradaban.
 
Ia tak kehabisan kehendak, tapi di sanalah ‘telempap’-nya
kala kita tak sanggup menjangkau kelembutan sukma.
 
Ia telanjang bagaikan batu-batu diguyur deras hujan
juga sengatan matahari kesadaran.
 
Yang melihat lelangkahnya di tengah kota sekadar wujud,
kita tiada daya bercakap, manakala anggukan membuyar.
 
Waktu selalu merawat dirinya beserta alam kelembutan
isyarat angin serupa ibunda mengamatinya penuh takjub
kala ia melantunkan kata-kata menyayat-nyayat bathin
bebatuan kerikil berserak, deru hiruk-pikuk keramaian.
 
Ia mendamba mendayung alam ke muara sentausa
sedekahnya bersandar pada gundukan batu besar,
kepala berbaring itu, mengisi nyanyian renungan
saat berdiri, bencah moyang beri restu kerelaan.
 
Tampak kepanditaan hadir tidak butuhkan apa-apa
hanya yang tercurah sedari langit dirinya tengadah
kuasa-Nya dijangkau kalbu terdekat, kasih insani.
 
Kerinduan merengkuh sesyairan lelaku nasibnya
kangen bermelodi kesegaran air mengucur. Oh…
gemerincing alunan jiwa tak henti lafalkan mantra.
 
Tetumbuhan memberi petuah
bagi ruh-ruh kepekaan
menceburkan diri
dalam belahan dada ranum menampung rahmat.
 
Jalan dilalui, dedaun menyapa bebulu sayap mengepak
membisikkan kalimah yang terdapati tak terekam indra.
 
Dan tiap denyutan darahnya bersimpan peristiwa
aliran-alirannya tampak jernih sebening hatinya.
 
Pandangannya menembus jauh tak hilang kendali,
persaksiannya menggedor tanjung-tanjung sukma
pribadinya terkandung unsur-unsur kelembutan
ulet seserat-serat pohon mewangi kehidupan.
 
Rambutnya tergerai memantulkan sinar mahkota
tiadalah terlihat mewah, tampak segar sederhana
benda serta makna, fitroh teremban hikayat-hayat.
 
Ia terima, mendapati kulit tubuhnya langsat
sentuhan halus bayu pertiwi
senafas bayi-bayi menghidupi rumput
tiupan terisi nyanyian nikmat
di kedalaman jiwamu tak tersentuh.
 
Di sanalah kita temukan diri, arah-arah terpampang
perlihatkan pribadi, kala kita mencipta kasih sayang.
 
Kala berjalan tiada dapati bayangan, dirinya tersembunyi
tertunduk santun mematung merasai cahaya rasa malu,
kekhusyukkan menyendiri dalam selubung keduniawian
terpisah dari bebauan asap dupa pujaan.
 
Ia bergegas saat orang-orang berbondong meminta
ialah bukan berlari tanggung jawab, tetapi sungguh
sungkan memantul balik dalam diri masing-masing
mendiami sunyi petuah.
 
Pantulannya seolah angkuh saat melihat penuh iri
tetapi, lagi-lagi nalar buruk terpatahkan
menyelami lelapisan persoalan.
 
Ia terbiasa mengupas jiwa-jiwa menjelma pancaran hayat
dengus suara kaki-kaki melangkah pada gumam panjang,
bathin bernafas sesama, siuman dari kemabukan bayang.
 
Yang melihatnya dimaknai menerus, ia tegur pelahan.
Oh… tubuh telanjang lebur dalam hawa sedap malam
burung-burung melihatnya terbalut sutra kehormatan
: yang tampak ialah penipuan-penipuan.
 
Tidakkah niatan jernih takkan terbodohi
merawat kebeningan sampai ujung di balik pandang.
 
Bergetarlah jiwa-jiwa jujur mendaki cahaya kesadaran
gerak terdalam berkaki pusaran, jenjang ditentukan
pekabutan tak menyilaukan mata memberi kelegaan.
 
Yang diidamkan ikhlas menerima manis-getir dilalui,
ia tak menyangkal ada memberi tempat tak berkenan.
 
Sungguh lembut memasuki lubang jarum merajut artian
tak bakal miliki sukma pendendam, nyala bukan ambisi
namun menaklukkan air mata menjelma batu permata.
 
Butiran garam diterjang ombak bathin bergelora
karang terbesar menampung ruang-ruang mungkin
hikmah tinggi cakrawala tabah berlatih kesungguhan.
 
Huruf-huruf terdiam mengeluarkan daya
sedari sarang langit mewujud pengajaran
lintang-gemintang cerlangkan mata angin.
 
Kesemangatan tentram berlabuh pengetahuan,
bukan dalam batok kepala menyimpan kekayaan,
perbendaharaan tersembunyi di dalam kalbu insan.
 
Nurani terbimbing pada keheningan kasih menghujam
kesungguhan tekad ketetapan niat cemerlangkan akal,
menilik setiap pijakan hati berkaca dibawa jernih fikiran
di balik tanda terdapat ruang-ruang menanggung makna.
 
Bukan hendak mengisi semua penuh bobot
yang berharga tergali serupa ricik-gemericik
siapa melewatinya mendapati petikan hikmah
bebuah ranum hasil kekangan musim-musim
menyuguhkan pribadi diterima lapang dada.
 
Mungkin alunan-alunan ini dikau bilang menjemukan
saat penalaran menjangkau tak berkendara kesucian
atau pencarian sungguh, namun tak didasari niatan.
 
Malam hadir, meliuk bertarian unggun penciptaan;
ia bakar kesepian, alam rindu gagasan-gagasannya.
 
Bersiaplah menempa anak-anak di kesenyapan kangen,
kadang malam larut jauhkan nyala api rindu penciptaan
diajaknya dahaga dalam kebisuan pencarian keyakinan.
 
Perenungan lelangkah hening tempaan pelaku hayati
membawanya ke selubung sunyi mewarta kelembutan,
bibir-bibir kabut mengatup dalam rongga-rongga nafas.
 
Bathin petapa mengombak di lautan kata-kata mewaktu
ia meringkuk di tepi jalan, sering di luar pintu tertutup.
Ia tak menunggu siapa-siapa, jiwanya tidak tergopoh,
hangat pencariannya menceburkan diri di telaga kasih.
 
Oh yang berendam di sendang, minumlah seteguk
mengingatkan usiamu dalam perimbangan jiwamu
kesaksian hayat, terbuhul wewarna pelita rahmat.
 
Ia tak bermaksud melukis kesenyapan nan gaib,
tapi mengangkat bertangan lembut tak tersentuh.
 
‘Lamur’ mengembun di kulit lenganmu bukan kelalaian,
keterjagaan santun antara tak pedulikan malam berbagi
kekuncup abadi, tawarkan rindumu ke peraduan hangat.
 
Sesekali menghisap batang rokok penuh tarikan terdalam
nafas-nafas ingatkan masa lalu, menggali ikhwal terlewat.
 
Pagi terbuka kekayaan, kau bertamu di kediamannya
paling muskil mencipta sunyi memberat serasa ringan,
melantunkan mungkin di kepalamu nan selalu bertanya
akan gaib kehidupan.
 
Ini percakapan meleburkan setia, yang merindu
mengajak jiwamu terbang ke tlatah ditaksirkan,
batas kebekuan memancar, tenggelamkan kenang
menggugah pendakian penciptaan.
 
Lelapisan itu menggubah kesabaran ingatan
kekisah mempercayai mimpi mengajak teridam
kepurnaan waktu lahirnya derajat kehendak sesama,
malam-siang melarut jiwamu mengikuti nafas kehadiran.
 
Ini sepantun hening memaklumatkan pergumulan,
penyatuan ruh batas alam mengangkat keluputan
menjelma sayap membimbing nafas ke peraduan.
 
Senjakala melangkahi lika-liku kesuburan, mata bathin
mengenyam gending pada lereng pesawahan Dwipa.
Berilah kesaksian jasad kalimah-kalimah ini,
menderas sealunan ditabuh waktu-waktu lalu.
 
Patahan terberi, bukan pemaksaan bathin serampangan.
Sejak keteringatan wajah-wajah hampir menyerupaimu,
ketampanan santun bersahabat, maha guru paling bijak.
 
Jiwaku ini tertambat lelangkah paling akrab,
tekad melumurkan wewaktu di masa-masa intim
teruskan limpahan berkah tak habis ditelan lelah.
 
Keringat dingin menambah puncak kesaksianmu
langit-laut hadirkan birunya gelombang ke pantai
berbulir-bulirnya garam menuju ceruk perenungan.
 
Pedesaan menanti kita, lebur pada kesaksian syahdu
gemintang di cakrawala menandaskan hayat dimaknai,
selendang menari di lengan kasihmu menarik sahabat
bagaikan sesyairan sampur para penari waktu.
 
Di kemanakan batas biru memberi keabadian tarian
jiwa-tubuh bergetar, bebulu sayap terangkat sukma
tengadah nafas berhembus menggebu menuruti lagu.
 
Bukan keinginan semua terhampar, dilewati perjanjian
melumuri tarian tinta mata pena setajam malam terjaga.
 
Ini titah pujangga, melambari kasihmu berkeyakinan
memandangi lekuk perjalanan terawat setiap penanda
terangkat pemaknaan wewaktu dipersiapkan bagimu.
 
Usiamu tertelan semangat kata menembus kebisuan
merangsek naluri pada saksi semula, kerinduan kasih.
 
Tarikan nafasmu perjelas perbedaan mengenyam ragu
merawat kesunyian berabad-abad memperbesarmu.
 
Keterpisahan tak, masa-masa dilalui tempaan abadi
manakala kegusaran merenggut perjuangan kembali,
kehendak dicitakan itu, dilakoninya bermakna titisan.
 
Wewaktu mematangkan kulit keriput pepohon Jati
tegak mengeras menerobos musim dedaun rontok
kemuncul lestari menandaskan tubuh matang jiwa
serat-serat pohon Waru dengan otot-otot terjaga
berbagi pergantian jaman menghujami makna.
 
Hujan deras menggigit, kebangkitan berulang
bayu tuah berhembus jiwamu meloloskan diri
kepada semburat jingga senjakala
yang memawarkan rindumu
dalam pelukan cakrawala.
 
Perjumpaan penalaran, mewartakan tekadmu
ditandaskan malam purnama ditarik pelayarnya
menyeberangi wengi pelik lewati nyanyian pesisir.
 
Antara nafas langgeng, kesantausaan irama imbang
melingkupi yang dihendaki pada gagasan gemilang.
 
Mata membaca kalimah berita merasai jiwa
mengeja kehausan kehendak hadir tiba-tiba
kerelaan tersiar berkembang di pedalaman.
 
Ketika arungi kesyahduan, keayuan alam bercahaya
keteguhan mengawal jiwamu; para prajurut menjaga
kala sang raja berpelesiran ke negeri jauh tanpa kuasa.
 
Ia hentikan derap kudanya, menyusuri jalan sendiri
oleh semua penglihatan buyar menjelma kepasrahan.
 
Kemiskinan itu tangga tingkatan tertinggi kehidupan,
serupa rasa demam mencapai kesaksian tak terbantah.
 
Ini peleburan kenang, terbakar sajak di tungku setia
memperbaharui wujud abu dalam tumbukan sesal,
sengaja mencari-cari butiran halus kelembutan hati.
 
Kalimah bukan penampung rupa bejana, air tak terukur
saat tak secangkir pengharapan, tapi niatmu manunggal
kata-kata lebur menguap, butirannya di dedaun kalbu
tersuling sedari keraguan ditandaskan sakit berulang.
 
Kesaksian hadir membaca alamat-alamat berkelebat
raut-raut bertengger di dedahan menanti panggilan
merunduk penuh santun berdedaun Salam gugur.
 
Kembang kemuncul ketabahan,
kiranya bebuah ranum mewangi
semua tidak kuasa tidak tengadah,
memetiknya bagi lambung kembara.
 
Keyakinan perbaharui jiwamu pada pagi kebugaran
menelusupi pori-porimu, perjalanan berulang dinilai.
 
Ditata laiknya bebatuan candi di pegunungan puja
letak peribadatan bergumul seirama para penyaksi.
 
Dan keterbatasan membetulkan lelangkahmu memilih
agar tak terbebani di persimpang bathin teridam hayat
memakmurkan sesama.
 
Manakala demam berkurang persaksianmu yakin
bergumul kalbu rindu dalam gelayutan mesra,
semisal purnama di tengah pencarian wengi.
 
Malam menjamah gurun pada kulit getarkan jiwamu
terpesona jagad hatimu oleh kesantunan sang resi
dalam menapaki tangga kekabutan menanjak
membebaskan bayang sedari tubuh keraguan.
 
Yang pantas bertengger di ubun-ubun kesenyapan abadi
tahap dilalui beserta unsur pribadi berkeagungan rasa
kepurnaan gagasan membeletat sesama, tiada terlupa
kaki-kaki tersandung batu, rerumputan terinjak menghijau.

17 Februari 2008, Lamongan, Jawa. http://sastra-indonesia.com/2008/11/kesunyian-sang-pujangga/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar