Saturday, August 28, 2021

Aryadi Mellas, ”Nabi Sastra”-nya Annuqayah

Raedu Basha *
radarmadura.jawapos.com, 1/4/2019
 
Kalau Anda bertanya, siapakah salah seorang gembong sastra Indonesia di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, sehingga pesantren tersebut dikenal sebagai ”lumbung santri penyair”? Jawabannya adalah, tidak lepas dari seorang santri lelaki kelahiran Besuki, Jawa Timur, bernama Aryadi Mellas.
 
”Aryadi Mellas seumpama nabi bagi sastra dan kesenian di Pondok Pesantren Annuqayah sendiri,” jawab M. Faizi, seorang pengasuh muda Pondok Pesantren Annuqayah yang juga dikenal sebagai penyair, saat saya berkunjung ke rumahnya, 2 September 2015.
 
Aryadi Mellas adalah santri senior yang sampai saat ini masih menetap selama lebih 20 tahun sebagai santri di Pondok Pesantren Annuqayah dan belum jua berstatus alumnus. Ia pun belum juga berkeluarga. Saya menjumpai Aryadi pada malam hari tak lama setelah M. Faizi memberitahukan keberadaan Aryadi saat ini. Akhirnya kami berjumpa di sebuah ruang kesehatan pesantren. Sehari-hari Aryadi menjadi abdi dalem pengasuh pesantren sejak puluhan tahun lalu.
 
Ketika saya bertemu Aryadi dia terlihat kurang sehat, batuk-batuk, masa tua sudah menyapa, sakit-sakitan. Tidak seperti lima belas tahun lalu ketika kali pertama saya mengenalnya kendati tak sungguh kenal baik, sosok yang dingin.
 
Rambutnya kini mulai beruban dan dibiarkan memanjang dengan ditali belakang dan ditutup kopiah putih. Pria berewok itu terus melajang, entah, atau mungkin sudah tak punya lagi hasrat untuk menikah sebagaimana galibnya santri laki-laki. Dia masih nyantri di pesantren seumpama santri sejati. Kulit wajahnya yang mulai keriput dimakan usia, terlihat hitam bekas sujud di dahinya, dengan suara serak-serak khasnya, ia bercerita tentang masa lalunya, pada awal mula ia belajar mengarang sastra secara otodidak.
 
Diakuinya, menulis sejudul puisi biasa dilakukan selama berbulan-bulan. Santri yang mungkin sudah lewat usia 60 tahun ini mulanya sering memenangkan lomba tingkat sekolah daerah, sampai saat ini dia masih menulis dalam diari-diarinya yang dibiarkan menjadi rahasianya sendiri.
 
Kenapa ia demikian merahasiakan diarinya? Ada sejarahnya, katanya. Dia mengaku, sejak buku catatan hariannya yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya selama bertahun-tahun raib ketika ia tinggal di Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, selulus SMP, akibatnya dia minggat dari Nurul Jadid Paiton karena dia merasa buku tersebut adalah separo hidupnya. Dia ingin move on dan nyantri ke Guluk-Guluk pada 1986. Hanya saja toh walaupun karyanya tetap menjadi rahasia, tetapi karya anak-anak santri generasi-generasinya di pesantren dibaca oleh masyarakat.
 
Saya mengenal Aryadi sudah sejak lama, sejak saya sendiri nyantri di pesantren tempat Aryadi Mellas juga nyantri. Dia santri generasi tua di Annuqayah, tetapi walaupun saya bermukim di pesantren tersebut dari 2001 sampai 2007, saya merasa segan untuk berkomunikasi lebih intim, tak berlebihan jika sebagian orang mengatakannya sebagai ”santri misterius”.
 
Hanya setiap kali acara haflatul imtihan yang digelar setiap tahun di Pondok Pesantren Annuqayah, saya sering menonton pertunjukan baca puisinya di hadapan para kiai (dan mungkin hanya Aryadi yang diberi tempat khusus mendeklamasikan sajak-sajaknya di hadapan para kiai) sejak 1988 sampai 2007. Setelah itu ia sepertinya mengundurkan diri untuk tampil dan tidak ada gantinya sampai sekarang, meskipun santri penyair di Pesantren Annuqayah tidak dapat dihitung dengan jari.
 
Biasanya, setiap kali Aryadi selesai beraksi di panggung selalu mengundang diskusi, baik di kalangan santri dan di kalangan dewan pengasuh. Teriakan histeris melengking, terlebih dengan puisinya yang masyhur di kalangan pesantren berjudul ”Maut”. Pertunjukannya senantiasa menimbulkan gejolak dan efek bagi proses berkarya sastra bagi santri itu sendiri. Pertunjukannya yang bernuansa kritis terhadap kondisi pondok pesantren khususnya di Annuqayah membuatnya mendapatkan tempat untuk bicara tentang—kata Rendra—”derita lingkungan di pondok pesantren yang dimukiminya, Annuqayah.
 
Misalnya ketika banyak pengurus pesantren meninggalkan tanggung jawab, dia mengadakan panggung drama yang mengingatkan tentang nilai-nilai pengabdian. Juga ketika ada salah seorang kiai muda mencalonkan diri sebagai bupati, dia dengan lantang berpuisi di hadapan kiai menyampaikan kegelisahannya dengan puitis diiringi pesauan biola.
 
Bagi saya, ketika mengenang seorang Aryadi Mellas, ia seperti puisi itu sendiri dan sebaliknya, puisi adalah Aryadi. Mungkin tidak berlebihan bila saya menyebut pertemuan dengan Aryadi seperti bersua dengan Umbu Landu Paranggi. Kami mengobrol sampai larut malam tanpa minuman, tanpa makanan ringan sekalipun.
 
Aryadi mengaku dirinya yang membawa ”virus” sastra di Pesantren Annuqayah sejak dia mendapat restu untuk mendirikan sebuah komunitas seni di pesantren yang konon sangat salaf (tradisional), bernama Sanggar Shafa pada 1988, tepat pada pergantian abad kedua karena Pesantren Annuqayah didirikan Kiai Syarqawi pada 1887 M.
 
Pada mulanya Aryadi cemas, khawatir, dan waswas karena seni dan sastra adalah hal baru di pesantren. Tetapi ketika Sanggar Shafa berdiri, sekitar 200-an santri ikut bergabung. Dari itulah pertemuan rutin mingguan belajar sastra mulai puisi, cerpen, naskah lakon, dan novel berlangsung. Tak lama kemudian anggotanya mulai menggalakkan sastra di sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren di Sumenep, mengadakan pementasan, pelatihan, menerbitkan jurnal sastra dan lain semacamnya. Sehingga, sampai hari ini ”virus” kesenian terutama susastra di Sumenep menjadi bom waktu. Setiap terbitan baik majalah, jurnal, portal, surat kabar yang menayangkan halaman sastra maupun dalam perlombaan sastra, juga di panggung-panggung deklamasi, rasa-rasanya sudah tak asing dengan nama-nama sastrawan berlatar belakang pondok pesantren atau berkultur santri dan khususnya berasal dari Madura.
 
Annuqayah Guluk-Guluk sendiri menjadi barometer sastra pesantren di Indonesia. Alangkah sangat naif rasanya bila melepaskan nama seorang lelaki yang membiarkan hidupnya sebagai santri tua, dialah Aryadi Mellas, sang ”nabi sastra” Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Semoga dia diberikan kesehatan dan terus menjadi ”virus” bagi kegelisahan santri untuk menulis khususnya sastra.
 
”Saya terkadang merasa berdosa apabila melihat para santri yang berkegiatan di dunia kesenian berkelakuan nakal, suka bolos, dan sering melanggar peraturan kiai. Semoga saya diampuni,” ujar Aryadi sambil menekan dada.
 
*) Sastrawan, bidang sastra Lesbumi NU Jawa Timur.

Baca juga di Jawa Pos Radar Madura edisi cetak Minggu, 31 Maret 2019 http://sastra-indonesia.com/2021/08/aryadi-mellas-nabi-sastra-nya-annuqayah/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar