Thursday, August 12, 2021

Inilah Sosok 9 Presiden Paling Sederhana Di Dunia

Raymond Samuel
berdikarionline.com, 10 Mei 2013
 
Bagi sebagian orang di dunia, termasuk di Indonesia, kehidupan seorang Presiden identik dengan kemewahan. Banyak Presiden di dunia tinggal di rumah mewah, kemana-mana naik mobil limusin, punya banyak pengawal, fasilitas serba mewah, gaji banyak, dan bisnis keluarga yang dijalankan oleh anak dan istri.
 
Namun, tidak semua Presiden seperti itu. Di belahan dunia lain, terutama di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin yang tak beda jauh dengan kehidupan rakyatnya. Bagi mereka, menjadi Presiden adalah melayani rakyat.
 
Berikut nama-nama Presiden yang cukup sederhana di dunia:
 
1. Fernando Lugo
 
Dia mendapat julukan “pastor kaum papa”. Maklum, sebelum menjadi kandidat Presiden, Fernando Lugo adalah pastor yang sangat getol membela kaum tertindas. “Bila ada hal yang paling menyakitkan saya, maka itu adalah ketidakadilan dan terutama sekali ketidakadilan sosial,” kata Lugo.
 
Begitu dilantik menjadi Presiden tahun 2008, Lugo langsung menyatakan tidak akan menerima gajinya sebagai Presiden sebesar 4000 USD per bulan. “Saya tidak membutuhkan gaji itu, yang sebetulnya hak kaum miskin,” katanya.
 
Selama menjadi Presiden, Lugo memilih tetap tinggal di rumahnya yang sederhana. Ia juga selalu berpakaian sangat sederhana: kemeja panjang atau lengan pendek.
 
Rikard Bagun dalam laporannya berkepala “Terperangah atas Asketisme Lugo” menulis, “Setiap tamu, termasuk kami bertiga dari Indonesia (saya, Budiman, dan Martin), ikut menikmati makanan harian Lugo berupa singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah (salad), dan ikan. Jenis makanan sehari-hari rakyat biasa di Paraguay. Tidak ada yang istimewa.”
 
Rikard juga melihat, pada hari pertama di jabatannya, Lugo dan Hugo Chavez menyantap makanan rakyat Amerika Latin, seperti ubi kayu, jagung, dan pisang rebus. Sayang, 22 Juni 2012 lalu, Fernando Lugo dikudeta oleh sayap kanan melalui parlemen.
 
2. Jose ‘Pepe’ Mujica
 
Jose Mujica adalah salah satu pemimpin Gerakan Pembebasan Nasional Tupamaro (MLN-T). Ia menghabiskan 14 tahun di penjara karena aktivitas gerilya melawan kediktatoran.
 
Ia memenangkan pemilu tahun 2009 dan resmi menduduki jabatan Presiden pada Maret 2010. Sejak menjadi Presiden Uruguay, Pepe Mujica memilih tinggal di rumahnya di pinggiran kota Montevideo. Di rumahnya itu tidak ada pelayan. Hampir semua pekerjaan rumahnya, seperti memasak, dikerjakan sendiri.
 
Selama menjadi Presiden, Pepe Mujica menyumbangkan 90 persen gajinya untuk menambah anggaran sosial negerinya. Pada tahun 2010, kekayaannya pribadinya tak lebih dari 1800 AS dollar atau sekitar Rp 18 Juta. Ia juga hanya menggunakan Volkswagen Beetle keluaran 1987 sebagai kendaraan pribadinya.
 
Hidup sederhana memang filosofi hidup politisi kiri ini. Ketika ia menjadi anggota parlemen, ia memang sudah sangat sederhana. Sampai-sampai Petugas parkir gedung parlemen sangat kaget ketika melihat Mujica datang hanya mengendari motor vespa.
 
3. Hugo Chavez
 
Hugo Chavez lahir dari keluarga kelas pekerja. Ia tumbuh dalam kehidupan yang sangat miskin bersama neneknya. Begitu terpilih sebagai Presiden tahun 1998, Chavez menggunakan kekuasannya untuk memberdayakan kaum miskin.
 
Dia juga adalah sosok Presiden yang sederhana. Seperti Fernando Lugo dan Jose Mujica, Chavez juga menyumbangkan sebagian besar gajinya untuk anggaran sosial. Chavez juga dikenal Presiden yang sangat merakyat. Ketika melakukan kunjungan, Ia hanya menggunakan jeep atau menumpangi truk.
 
Ketika hujan lebat mengguyur Venezuela, yang berakibat banjir hebat di mana-mana, Chavez membuka pintu istana Kepresidenan sebagai tempat penampungan. Baginya, Istana Kepresidenan adalah rumah rakyat.
 
Chavez adalah pembebas bagi rakyat Venezuela. Ia menggunakan kekuasaannya untuk merebut kembali kontrol terhadap sumber daya dan kemudian menggunakannya untuk memberantas kemiskinan, membebaskan rakyat dari buta huruf, menggratiskan pendidikan dan kesehatan, menciptakan toko sembako murah di seantero negeri, dan uan pensiun bagi lansia.
 
4. Fidel Castro
 
Fidel Castro adalah salah satu pemimpin Revolusi Kuba tahun 1959. Sejak itu, Kuba bergerak menuju sosialisme. Tak heran, karena langkahnya yang berbeda dengan jalan imperialisme itu, Fidel Castro dan Kuba banyak didiskreditkan.
 
Yang sering terdengar, Fidel dianggap diktator dan hidup sangat mewah. Majalah Forbes, misalnya, menuding Fidel punya simpanan 900 juta USD di luar negeri. Berbekal tudingan palsu itu, media-media mainstream menempatkan Castro sebagai orang terkaya di dunia.
 
Pada kenyataannya, Castro hidup sangat sederhana. Ia tak punya limusin seperti Obama. Pada kenyataannya, hanya menerima gaji sebesar 900 peso (Peso Kuba tidak punya nilai di pasar internasional, tetapi nilai domestiknya setara kira-kira 36$ per bulan atau sekitar Rp 350 ribu). Di Indonesia, kita hampir tidak menemukan lagi ada buruh yang dibayar di bawah Rp 350 ribu per bulan. Tetapi Kuba membayar gaji Presidennya hanya Rp 350 ribu.
 
Fidel sendiri sudah membantah tudingan Forbes. Ia bahkan menantang Forebs, “Jika anda bisa membuktikan saya punya uang 1 dollar di luar negeri, saya akan mundur dari jabatan saya.”
 
Dalam wawancaranya dengan Ignacio Ramonet, seperti ditulis di buku “Fidel Castro: My Life”, sekalipun gajinya pas-pasan, ia mengaku tidak sekarat dalam kelaparan. Sudah begitu, gaji yang kecil itu harus dia sisipkan untuk menyetor iuran ke partai.
 
5. Nelson Mandela
 
Siapa yang tak kenal Nelson Mandela? Dia merupakan pemimpin terkemuka pembebasan Afrika Selatan dari kolonialisme dan apartheid. Namanya begitu termasyhur di seluruh penjuru Afrika dan dunia.
 
Meski begitu, Mandela tetap merupakan sosok yang sederhana. Begitu menjadi Presiden tahun 1994, Mandela rutin memotong gajinya untuk disumbangkan bagi anggaran sosial. Malahan, kemudian, ia menyerahkan sepertiga gajinya untuk membantu anak-anak.
 
Rumahnya di Johannesburg maupun di desa asalnya, Qunu, terbilang sederhana dan tak ubahnya dengan rumah masyarakat umum.
 
Tahun 1994, ketika negerinya didera utang warisan rejim lama, Mandela menyerukan pejabat negerinya mengencangkan ikat pinggang. Namun, sebagai langkah awal, ia memulai dengan memotong gajinya sendiri dan gaji Wakil Presiden.
 
6. Rafael Correa
 
Rafael Correa adalah ekonom bergelar PhD jebolan University of Illinois, AS. Namun, sekalipun menimbah ilmu di AS, Correa justru sangat anti-neoliberal.
 
Pada saat Luis Alfredo Palacio, Correa menjadi salah satu menterinya. Saat itu Correa berani menentang proposal IMF dan Bank Dunia. Sayang, tindakannya tidak direstui Presiden Ekuador saat itu. Correa pun mundur dari jabatannya. Namun, sejak peristiwa itu, nama Correa makin populer dan dikagumi rakyat.
 
Correa sendiri terbilang pemimpin sederhana. Tanggal 6 April lalu, ketika APBN Ekuador diancam defisit, Correa mengeluarkan dekrit untuk membekukan pembayaran gaji pejabat tinggi selama dua tahun. Itu termasuk gaji Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan pejabat tinggi lainnya.
 
Tak hanya itu, ia juga memotong gajinya dari sekitar 8000 USD menjadi 4000 USD. Memang, gaji pejabat Ekuador termasuk tertinggi di kawasan Andean. Dengan pemotongan gaji itu, Correa menyelamatkan APBN tanpa memangkas subsidi sosial rakyatnya.
 
7. Evo Morales
 
Evo Morales adalah Presiden pribumi pertama dalam sejarah Bolivia. Seperti kebanyakan pribumi Bolivia lainnya, Evo kecil sangat miskin dan menghabiskan masa kecilnya dengan menggembala domba. Karena tekanan kemiskinan itu pula, Evo tidak bisa menuntaskan pendidikannya.
 
Evo adalah seorang petani. Penderitaan yang dialami oleh petani membuat Evo tertarik bergabung dalam serikat petani koka. Pada tahun 1995, ia turut mendirikan partai gerakan sosial bernama Gerakan untuk Sosialisme (MAS).
 
Dalam pemilu 2005, Evo memenangkan pemilu Presiden. Ia resmi menempati jabatannya Januari 2006. Begitu ia menempati jabatannya, Evo mengumumkan pemotongan setengah gajinya untuk meningkatkan jumlah guru dan dokter.
 
“Kita membutuhkan 6000 guru baru dan membutuhkan uang 2.200 USD,” katanya. Ia juga menyerukan agar menterinya mengikuti langkahnya. “Bukan untuk Evo, tetapi untuk rakyat,” tambahnya.
 
Ketika Peru dilanda gempa bumi, pada tahun 2007, Evo juga mendonasikan separuh gajinya untuk korban gempa. Begitu pula ketika terjadi gempa di Haiti dan Chile, Evo juga memotong separuh gajinya dan gaji Wakil Presiden untuk disumbangkan ke rakyat Chile dan Haiti.
 
Selama menjadi Presiden, penampilan Evo tidak berubah. Ia lebih sering memakai pakaian sederhana, seperti jaket kulit atau sweater biasa. Ia juga tidak meninggalkan kebiasan kaum pribumi mengunyah daun koka.
 
8. Ahmadinejad
 
Ahmadinejad, yang pernah menjadi Walikota Teheran, Ibukota Iran, resmi menjadi Presiden tahun 2005. Saat itu, ia diminta mengumumkan kekayaannya. Ternyata, kekayaannya hanya satu rumah sederhana seluas 175 meter persegi dan mobil Peugeot putih keluaran 1977.
 
Selain itu, ketika baru menempati jabatannya, ia meminta pembantunya menggulung karpet antik peninggalan Persia di istana negara dan menggantinya dengan karpet biasa. Ia menolak kursi V.I.P di pesawat Kepresidenan.
 
Ahmadinejad selalu berusaha menggambarkan dirinya tidak berjarak dengan rakyat kebanyakan. Beberapa fotonya beredar di dunia maya memperlihatkan Ia tertidur pulas di atas karpet biasa.
 
9. Lula Da Silva
 
Lula Da Silva adalah Presiden Brazil yang berlatar-belakang aktivis buruh. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Lantaran itulah ia harus meninggalkan bangku Sekolah Dasar. Sejak usia 12 tahun, Lula kecil hidup di jalanan, jadi tukang semir sepatu dan menjual kacang.
 
Pada usia 14 tahun, Ia bekerja di pabrik pengolahan tembaga dan menempati posisi operator mesin bubut. Lima tahun kemudian, ketika ia bekerja di perusahaan otomotif, ia kehilangan jarinya karena kecelakaan kerja. Namun, kejadian itulah yang mendorong Lula mengorganisir kawan-kawannya sesama pekerja untuk membangun serikat dan memperjuangkan hak-haknya.
 
Di bawah kediktatoran, Lula tampil sebagai aktivis kiri penentang kediktatoran. Tahun 1971, Lula terpaksa menyaksikan Istrinya, Maria de Lourde, yang menderita penyakit hepatitis, meninggal karena ketiadaan uang untuk membeli obat. Tahun 1978, Ia menjadi Presiden Serikat Buruh Pabrik Baja. Ia juga terlibat dalam pendirian Partai Buruh (PT).
 
Tiga kali maju sebagai Calon Presiden, Lula akhirnya terpilih pada tahun 2002. Pertama kalinya dalam sejarah Brazil dipimpin oleh Presiden berhaluan kiri dan dari latar-belakang klas pekerja.
 
Begitu menjadi Presiden, Lula tidak mengubah kehidupannya. Ia tetap berpenampilan sederhana. William Gonçalves, seorang Professor di Universitas Negara Rio De Jeneiro, mengatakan, “Lula adalah rakyat. Ia mengerti perasaan mereka dan berbicara dengan bahasa mereka.”
 
Lula terpilih dua kali sebagai Presiden Brazil. Masa pemerintahannya dianggap sangat sukses. Tak heran, tingkat penerimaan rakyat terhadap pemerintahan Lula mencapai 80%.
***

http://sastra-indonesia.com/2014/06/inilah-sosok-9-presiden-paling-sederhana-di-dunia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar