Kompas, 28 Mei 2016
Kata benda apa yang paling anda sukai kalau nanti berumur 100 tahun? Herawati Diah yang baru merayakan ulang tahun ke-99 berbisik kepada saya, ”Art.” Baginya tidak ada kata benda yang lebih penting dari seni. Bukan uang, bukan rumah, bukan mobil, melainkan art. Mengapa? Tentu ada penjelasan psiko-analisisnya.
Biasanya kata benda yang disukai itu terkait dengan kebutuhan, keinginan, dan merespons kata sifat yang paling disukai juga. Tesaurus, menurut pengertian umum, adalah daftar sinonim dan antonim. Contoh yang paling klasik adalah Roget’s Thesaurus yang terbit pertama kali tahun 1852. Penyusunnya, Peter Mark Roget (1779–1869), seorang dokter Inggris, yang berhasil mengumpulkan 15.000 lema atau entri sejak tahun 1805.
Dua abad berikutnya, pada tahun 2006, Tesaurus Bahasa Indonesia terbit di Jakarta. Penyusunnya Eko Endarmoko, kelahiran 1959. Ia mengandangkan kata-kata yang bebas di alam liar ini sejak 1980. Hasilnya adalah buku setebal 736 halaman berisi 16.000 lema. Bandingkan dengan Kamus Indonesia–Inggris terbitan Gramedia 1992 setebal 618 halaman dengan isi 31.000 lema.
Bagi seorang biografer, tesaurus dapat dipakai sebagai indikator ”hitam-putih” kehidupan seseorang. Ada kata benda, seperti saya tanyakan kepada Herawati Diah. Ada pula kata kerja yang paling disukainya, yaitu keep moving ’terus bergerak’! Artinya apa? Hera tidak suka diam. Namun, kalau hal yang sama kita tanyakan kepada Emil Salim: ”Tidur”—jawabannya. Itu tertulis pada buku Disentuh Emil Salim yang terbit pada 2010.
Tentu pendekatan ini bukan dikhususkan untuk menyusun tesaurus, tetapi saya yakin bisa membuat tesaurus kehidupan lebih diminati orang. Mengapa? Ketika seseorang mendambakan ”tidur”, yang tebersit adalah insomnia, susah memejamkan mata, karena pikirannya tak pernah berhenti bekerja.
Persoalan yang gamblang terlihat tidak terletak pada kategorisasi dan metode pengumpulan bahan, tetapi yang mungkin paling penting adalah mendekatkan kata pada pemakai tesaurus itu. Selama ini ada kesan kata-kata lebih diserahkan kepada yang punya. Setiap benda disuruh mengusung kata-kata yang sinonim dengan dirinya sendiri. Demikian pula dengan sifat dan perbuatan.
Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Eko Endarmoko yang menjadi juru bicara semua pihak yang mendapat titipan itu. Tantangannya sekarang, bagaimana setiap orang bisa mengembangkan perbendaharaan dan tesaurusnya sendiri. Dengan pendekatan psiko-analisis penyuka kata tidur ingin menyembunyikan bangun, waspada, melek sebagai antonimnya. Itulah sesungguhnya yang perlu ditawarkan sebagai stimulan.
Almarhum kritikus sastra HB Jassin pernah berpesan, ”Kalau ada orang menulis judul ’Saya Bahagia Menjadi Bangsa Indonesia’, kita boleh menduga sebaliknya.” Saya pikir itulah awal dari diperlukannya tesaurus untuk lebih memahami bangsa (tepatnya pemakai bahasa) Indonesia. Jadi, waktu mendengar Herawati Diah menyukai kata seni, pikiran kita harus menangkap kecintaannya pada keindahan. Jangan sampai ada sendok jatuh di meja makan.
Pada waktu membaca Bambang Ismawan, tokoh swadaya masyarakat, mengungkapkan cintanya pada ”baju, pakaian, busana, dst” kita dilatih menangkap pentingnya kerapihan, dan meraja-lelanya sebuah zaman yang penuh pencitraan. Hal itu dapat dibaca dalam biografinya, Mazmur Ismawan, terbitan Jaringan Pengusaha Sejahtera, 2008.
Tesaurus pada tingkat pribadi inilah yang harus muncul, hasil dari provokasi Tesamoko—yang membuktikan Indonesia adalah bangsa yang cinta kepada bahasanya. Semoga tesaurus yang disumbangkan Eko Endarmoko bisa memperpanjang usia bahasa dan bangsa Indonesia. Selamat memperkaya kebudayaan untuk memasuki zaman-zaman selanjutnya.
*) Penyair dan Biografer Anak-anak Bangsa. http://sastra-indonesia.com/2017/08/tesaurus-kehidupan/
No comments:
Post a Comment